Jalan Pagi: Tembus ke “Sekolah Timur”

0
220
Penulis (bermasker) bersama Tim Yaspensi dan "Sekolah Timur" dalam salah satu pertemuan di Kupang

Suatu sore sebelum memasuki bulan Agustus 2021, saya sedang duduk di sebuah kafe. Hari itu sedang ada jadwal pemadaman listrik di rumah, sementara tenggat waktu menyelesaikan tugas makin mepet. Saya terpaksa nongkrong di sana agar bisa mengisi daya baterai hp dan laptop, sekalian mengerjakan tugas.

Saya tinggal di RSS Baumata, dan kafe yang saya maksud itu berada di bilangan Oesapa. Tugas yang saya maksudkan itu adalah tesis. Saya sudah diperingatkan oleh Dosen Pembimbing agar segera melakukan revisi, sehingga jika memungkinkan, ujian tesis akan segera dilaksanakan.

Itulah alasan terbesar yang membuat saya rela ke mana saja demi mengakses listrik. Begitu tiba di kafe, saya langsung memesan minuman dan kudapan, lalu duduk di pojok yang sepi. Ketika larut dalam konsentrasi, hp saya bergetar di meja.

Saya mengecek layarnya, ada sebuah nama yang saya kenal baik. Saya sempat berpikir, angkat atau biarkan telponnya mati sendiri? Jari saya akhirnya mengusap tanda berwarna hijau.

Penelepon itu teman di sebuah komunitas yang saya ikuti. Kami cukup akrab. Makanya pembicaraan awal dipenuhi basa-basi. Setelah itu nada bicaranya tiba-tiba serius. Dia menjelaskan, saya mendengarkan.

Teman yang saya maksudkan itu Kae Rian Seong. Kami sudah lumayan lama saling kenal, kalau tidak salah sejak tahun 2016. Waktu itu bermula dari kegiatan diskusi di Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang.

Setelah pertemuan pertama itu, kami kayaknya satu frekuensi pemikiran dan hobi, sehingga seterusnya sering ketemu. Bagi saya, Rian Seong itu menyenangkan. Apalagi kalau ia sedang tampil sebagai pewara atau menyanyi sambil bermain gitar, panggung benar-benar menjadi miliknya.

Pendek kata, Rian Seong itu penampil yang baik. Ia sangat percaya diri, dan apa yang ditampilkannya selalu menarik untuk dinikmati. Ia memiliki banyak atribut; guru, seniman, penulis, pembicara, dan untuk menyingkat semuanya itu, ia lebih senang dikenal atau dikenang sebagai: Guru seni budaya.

“Kami berharap Om Saver bisa bergabung juga…” begitu kira-kira ajakan Rian Seong setelah menjelaskan panjang-lebar.

Sore itu, Kae Rian Seong bercerita kalau ia bersama beberapa rekannya baru saja mendirikan sebuah yayasan baru. Ketika ia menghubungi saya, legalitas yayasan itu sudah jadi, tinggal ditata dan dikelola dengan baik saja.

Saya sebenarnya agak ragu, takutnya tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka. “Saya bisa bantu apa?” Itu pertanyaan yang mengusik pikiran saya saat itu.

Kabar baiknya, jawaban iya tadi membuat percakapan telepon itu segera berakhir, dan saya kembali fokus merevisi tesis. Saya berpikir, ikut ramai saja dulu, lama-lama pasti akan mengerti dan menemukan irama kerja yang mantap.

Berapa waktu kemudian, saya menemukan sebuah unggahan menarik di FB. Sebuah foto yang menampilkan Mark Zuckerberg dengan pakaian sederhananya. Ia duduk di sebuah ruangan yang tampaknya dipenuhi oleh perangkat elektronik, hanya mesin fotokopi yang saya tahu namanya. Fotonya itu barangkali kurang penting, tapi ada tulisan yang, menurut saya, penting untuk direnungkan. Saya salin-tempel saja tulisannya di bawah ini.

“PELUANG – Alkisah 15 tahun yang lalu, Mark Zuckerberg, mengundang 5 orang ke kamarnya di Harvard. Tujuannya, untuk ngobrol tentang peluang bisnis. Hanya 2 orang yang datang menemui dan mendengarkan, serta menerima tantangan!”

“Hari ini, keduanya telah menjadi milliarder! Dustin Moskovitz dengan kekayaan lebih dari $6,5 miliar dan Eduardo Saverin dengan kekayaan lebih dari $3,4 miliar.”

“Jadi, ketika seorang teman memberi tahu Anda tentang peluang bisnis, dengarkan dan buka pikiran Anda. Anda tidak akan pernah tahu barangkali itu jalan menjadikanmu milliarder…!”

Saya merenungi tulisan itu sambil senyum-senyum. “Wah, Saya baru saja menerima tawaran baik dari seorang teman.”

***

Setelah kejadian sore itu, saya beberapa kali diundang Kae Rian Seong bersama tim lain untuk rapat daring maupun luring. Saya pun pelan-pelan mengenal yayasan yang baru dibentuk itu, termasuk dengan tujuan pendiriannya.

Yayasan Pustaka Pensi Indonesia, begitu nama yayasan tersebut. Singkatannya Yaspensi. Dari namanya, yayasan ini memang ingin fokus mengembangkan tiga bidang utama, yaitu kepustakaan, seni, dan riset dan teknologi.

Setelah beberapa kali mematangkan konsep bersama tim, akhirnya Yaspensi pun resmi diluncurkan dan diperkenalkan ke publik pada 17 Agustus 2021. Peresmian itu diberi label Malam Kemerdekaan, diisi dengan kegiatan talkshow pendidikan dan pentas seni virtual.

Meski berlangsung via Zoom dengan kualitas sinyal yang kurang baik, menurut saya kegiatan malam itu cukup meriah. Banyak tokoh penting yang ikut menjadi saksi lahirnya Yaspensi, bertepatan dengan peringatan HUT Kemerdekaan Indonesia yang ke-76.

“Menjadikan manusia Indonesia berkarakter berbasis kepustakaan, seni, riset dan teknologi,” begitu penjelasan Marianus Seong Ndewi, S.Pd.,M.M alias Rian Seong yang menjabat sebagai ketua yayasan tersebut.

Setelah malam itu, kami juga sempat melakukan pertemuan beberapa kali. Tetapi lebih banyak dilakukan secara virtual. Seingat saya, tanggal 26 Agustus 2021 merupakan pertemuan pertama yang dilakukan secara langsung, serta dihadiri sebagai besar tim pengurus.

Sore tanggal 26 Agustus itu kami berkumpul di Kafe Cokelat yang berlokasi di bilangan Liliba. Sebelum kami membicarakan program kerja dan mimpi-mimpi ke depan, Kae Rian Seong, Robby Fahik, dan El Robby Kapitan bercerita kalau cikal bakal lahirnya Yaspensi bermula dari pertemuan awal mereka di kafe tersebut.

Mula-mula hanya mereka bertiga. Saat itu mereka merasa masih banyak ketimpangan di dunia pendidikan, khususnya dalam urusan pengembangan karakter peserta didik. Sebagai jawaban atas masalah atau tantangan tersebut, mereka berpikir perlu adanya wadah alternatif, untuk berpartisipasi bersama pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut.

Setelah idenya terbentuk, mereka langsung beraksi. Urus perizinan, sekaligus mengajak teman-teman yang menurut mereka memiliki passion yang sama. Dari sana, lahirlah Yaspensi.

Sore itu, kami mematangkan rencana kerja. Kami menyusun program dan strategi pelaksanaannya, sehingga dapat mencapai visi-misi yang sudah ditetapkan.

“Kita fokus pada outcome-nya,” demikian pernyataan yang sering diulang-ulang oleh Kae Rian Seong selaku Ketua Yaspensi, “yakni pengembangan karakter anak.”

Kak Robby Fahik, menjadi Koordinator Bidang Kepustakaan. Kae Rian Seong mengurus Bidang Seni. Dan El Robby Kapitan bertanggung jawab pada Bidang Riset dan Teknologi.Kami, tim yang diajak bergabung, terbagi dalam tiga bidang utama tersebut. Saya diminta membantu Ka El Robby Kapitan dalam urusan Riset dan Teknologi.

Seperti biasa, saya jawab saja “iya”, meski belum tahu dan belum tentu mampu melakukanya. Yang penting ada kemauan saja dulu.Tidak lama setelah resmi berdiri, Yaspensi mulai dipercaya oleh lembaga pendidikan untuk kegiatan pendampingan menulis bagi guru dan siswa.

Tidak berhenti di situ, belum lama ini Yaspensi juga meluncurkan sebuah website berita yang diberi nama: sekolahtimur.com, kami yang tergabung di Yaspensi ikut dilibatkan dalam dapur redaksinya.

Beberapa hari sebelum diluncurkan, Kak Robby Fahik sebagai Pemimpin Redaksi sempat bertemu saya, kemudian ia berpesan, “Tolong kirim satu-dua tulisan dulu…”

“Tulisan seperti apa e?” Saya masih ragu.

“Jalan pagi juga bisa…”

“Tulisan yang agak resmi begitu ko, Kaka?”

“Seperti yang biasa di Facebook itu saja…”

Saya iyakan saja, lalu mengirim catatan #JalanPagi dari kegiatan komunitas sastra yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi NTT. Begitu ditayang, tulisan itu masuk kategori feature. Kemudian saya tulis lagi catatan #JalanPagi berikutnya, tentang sekolah alam Manusak. Masih terbit di rubrik feature.

Tanggal 24 November 2021 kemarin, kami berkumpul lagi di Kafe Cokelat Liliba. Saya kira hanya sekadar untuk minum kopi sambil bersenda gurau. Ternyata pengurus Yaspensi memberi kami SK resmi dengan tugas sebagai pendamping kegiatan literasi.

Sebenarnya, tanpa SK resmi seperti itu, saya tetap senang bergabung jika memang diminta. Saya terima saja SK-nya, meski belum tahu apakah nantinya bisa melakukannya dengan baik atau tidak.

Pada kesempatan itu, saya juga menyampaikan kegelisahan saya terkait catatan #JalanPagi yang dimasukkan ke rubrik feature. Bukan apa-apa, saya sangat menyadari, catatan yang biasanya ditayangkan di fanpage Facebook “Jalan Pagi Bersama Saver” ini sangat personal dan mungkin kurang pas disebut sebagai karya jurnalistik.

Kak Robby Fahik, Pemred kami yang sangat cekatan dan teliti itu rupanya paham apa yang saya gelisahkan itu. Keesokan harinya, 25 November 2021, sekolahtimur.com menambah satu sub-rubrik kecil di bawah feature dengan nama: Jalan Pagi.

Itulah sedikit riwayat bagaimana catatan #JalanPagi kita ini sampai tembus ke “Sekolah Timur”. Saya mulai senang dan tenang, sebab tulisan Jalan Pagi akan terbit rutin setiap Rabu. Hanya dengan Jalan Pagi ini, saya baru merasa sedikit berguna ada di Yaspensi. (Saverinus Suhardin/ rf-red-st)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini