
“Di sekolah kami, susah sekali untuk bikinPENSI sekolah. Kepala sekolah tidak hobi seni na,” ujar salah satu guru kesenian di Maumere.
“Sekolah kami enak mati. Setiap tahun selalu diselenggarakan PENSI. Kepala sekolah mendukung, karena ada dampaknya utuk perkembangan kepribadian kami. Tiap tahun, sekolah kami juga menjuarai berbagai lomba seni’, ungkap salah satu peserta didik dari Mberumbengus, Manggarai Timur.
“Apa pentingnya PENSI sekolah? Bikin baribut sa. Bukan mata pelajaran UN ju. Mengganggu e. Pi baribut di mana ko…”, kata seorang guru Matematika, protes di dunia maya.
Sekolah Penggerak
Di akhir tahun ini, kita melihat dan mendengar kiprah para guru penggerak, sekolah penggerak, dan juga kepala sekolah penggerak. Saya membatin, kira-kira apanya yang bergerak? Rasa-rasanya asyik bila mendengar kisah-kasih mereka. Banyak cerita filosofi pendidikan Indonesia didengungkan kembali. Lantas, apakah memang sebelum ini, arah pendidikan Indonesia sudah salah? Makanya generasi Indonesia saat ini banyak yang instan, malas, tak bersemangat ke sekolah, sampai pada data PISA yang sangat melorot. Sadis.
Dikutip dari laman sekolah penggerak, Kemendikbudristek, diungkapkan bahwa, Program Sekolah Penggerak adalah upaya untuk mewujudkan visi Pendidikan Indonesia dalam mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Program Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi (literasi dan numerasi) dan karakter, diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru).
Program Sekolah Penggerak merupakan penyempurnaan program transformasi sekolah sebelumnya. Program Sekolah Penggerak akan mengakselerasi sekolah negeri/swasta di seluruh kondisi sekolah untuk bergerak 1 – 2 tahap lebih maju. Program dilakukan bertahap dan terintegrasi dengan ekosistem hingga seluruh sekolah di Indonesia menjadi Program Sekolah Penggerak.
Menurut penjelasan Mas Menteri Nadiem, ciri sekolah penggerak, yakni; 1) memiliki kepala sekolah yang mengerti proses pembelajaran siswa, dan mampu mengembangkan guru; 2) berpihak pada anak. Sekolah mesti paham seluruh kemampuan anak, dengan model pengajaran yang berbeda, sehingga ia mengajar pada level yang tepat; 3) mampu menghasilkan profil siswa yang berakhlak mulia, independent, dan mandiri, bernalar kritis, kreatif, gotong royong, punya rasa bhineka dalam negara dan global; 4) komunitas di sekitar sekolah itu, semisal masyarakat, orang tua, pemerintah setempat, semuanya mendukung kualitas belajar siswa (kompas.com).
Fakta Lapangan
Saya banyak kali mendengar cerita, atau memang sengaja bertanya kepada beberapa guru penggerak yang saya kenal tentang apa pentingnya program ini. Salah satunya adalah ibu Hermina Laus, S. Pd., seorang guru penggerak dari SDN Bertingkat Naikoten, Kota Kupang. Beliau banyak berkisah tentang menariknya mengikuti program ini. Walau di awal hampir menyerah karena banyaknya waktu untuk zoom meeting, tugas menumpuk, namun ternyata, semakin lama semakin menemukan keindahan filosofi pendidikan Indonesia yang sebenarnya.
“Sebenarnya Ki Hajar Dewantara sudah meletakkan fondasi kokoh bagi perkembangan pendidikan Indonesia. Di awal adalah filisofi ‘’taman’’ yang memang membuat siswa mesti bahagia. Sekolah adalah taman. Harus menyenangkan. Selanjutnya, semua guru wajib mengajarkan moral, harus punya hati. Sprit ini sesuai dengan ajaran kristiani juga, bahwa karakter mesti didahulukan, pun terintegrasi dalam tiap sila pada Pancasila”.
Lebih lanjut, saya mendengar kisah dari ibu Maria Xavier Apriliany Iju, S. Pd., seorang guru Seni Budaya pada sekolah penggerak, SMA N 5 Kupang, bagaimana geliat aktivitas seni, baik pada kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, maupun ekstrakurikuler, sangat berubah. Pada tiap hajatan peringatan hari besar nasional, baik hari pendidikan, hari pancasila, hari pahlawan, ataupun peringatan penting lainnya, sekolah wajib melangsungkan PENSI terbatas, internal di lingkungan sekolah.
“Sekolah penggerak mewajibkan kegiatan-kegiatan seni turut terlibat menunjang program sekolah, tentunya untuk tujuan yang baik, mengasah kreativitas dan kemampuan siswa di bidang seni, demi masa depan mereka. Siapa tau nanti ada anak-anak tertentu yang bisa hidup dari seni, semisal jadi penari, musisi, pelukis, penyair, ataupun aktor film. Seni punya ruang yang luas di sekolah penggerak. Kami bersyukur”.
Bagaimana Peluang Seni
Jika mendengar cerita dari teman-teman guru seni budaya di seantero Nusa Tenggara Timur, seakan-akan cerita atau kisah yang sebenarnya pilu, sedih, dan butuh perhatian, tapi malah berakhir lucu, seperti kisah film Warkop DKI. Coba bayangkan, ternyata masih ada sekolah yang belum pernah menyelenggarakan PENSI sekalipun, atau sekadar mengikuti lomba seni, semisal lomba tari, lomba paduan suara, melukis, dan lainnya. Alasannya sederhana, kepala sekolah tidak mendukung. Atau alasan yang lebih unik adalah, kepala sekolah tidak punya hobi di bidang seni. Apabila jawaban seperti ini, mungkin akan lebih lucu dari film-film komedi pada umumnya. Lebih sadis dari kisah kartun Tom and Jerry.
Jika telisik lebih jauh, dua kisah cerita di atas, bahwa di sekolah penggerak, kepala sekolahnya mewajibkan atau mengharuskan program di sekolah menunjang bakat, minat, dan kreativitas siswa. Membuat lingkungan sekolah jadi menyenangkan. Karena di setiap proses dan aktivitas yang menyenangkan, banyak hal, termasuk pengembangan karakter, bisa diajarkan. Asalkan siswa bahagia dulu. Senang dulu. Agar proses pembelajaran dan tujuan pembelajaran tercapai.
Semua Akan “Penggerak” pada Waktunya
Dalam refleksi penulis, ketika menelaah program ini, rasa-rasanya, khusus untuk konteks perkembangan pelajaran seni budaya di sekolah, akan lebih geregetketika semua sekolah di Indonesia mengikuti program ini. Karena semua sekolah-sekali lagi khusus konteks pelaran seni-akan mendapat dukungan, karena akan ‘dipaksakan’ atau ‘diwajibkan’ semisal untuk PENSI, karena memang itu adalah kewajiban untuk membuat siswa merasa bahagia, menciptakan lingkungan ekolah yang menyenangkan, membangun budaya bahagia di sekolah.
Masih adakah kepala sekolah atau guru-guru yang tidak suka pada aktivitas seni?
Apabila disimpulkan, sebenarnya, ada atau tidaknya program ini, mesti semua lembaga pendidikan, baik dasar, menengah, ataupun tinggi, menempatkan budaya bahagia, sebagai sebuah perayaan seluruh proses pendidikan di Indonesia. Aktivitas seni mesti dianggap perlu dan penting oleh semua warga sekolah, karena harga diri sebuah identitas daerah itu ada pada ragam tarinya, kisah pada tiap syair lagu rakyat, pada tiap ragam gambar dan bentuk motif, warna-warni bahan tradisional pewarna kain tenun yang go internasional, ada di pangan lokal, ada di rumah adat, dan juga di seluruh kisah mitologi dan cerita rakyat, hingga permainan tradisional serta ragam teknologi tradisionalnya.
Ragam seni dan budaya, adalah marwah ajaran tiap sila pada Pancasila. Ada semua dibalik kuatnya narasi, dari Ketuhanan Yang Maha Esa, hingga Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ada makna yang mendalam di setiap karya seni itu. Semua akan tergerak untuk bergerak menuju hal-hal yang luhur; kembali ke akar, filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pergi semakin jauh ke dalam. Dalam hati, untuk bergerak.
Pelajaran Seni bukan pelajaran UN?
Ya. Betul. Dia tidak boleh disejajarkan dengan pelajaran UN. Karena sebetulnya tak perlu diujikan secara nasional-pun, martabat dan pengaruh Seni sudah jauh lebih tinggi dari apa pun. The earth without art, just eh! Masih kah menganggap pelajaran seni ataupun kegiatan seni di sekolah tak penting?
Semoga sekolah penggerak bisa menggerakkan sekolah lain untuk bergerak, dan sekolah lain bisa bergerak menggerakkan masyarakat, masyarakat bergerak menggerakkan komunitas lain, komunitas lain bergerak menggerakkan pemerintah daerah, pemerintah daerah bergerak menggerakkan saya, kamu, dia, kita, guru seni dan juga semuanya. (*)
Seribu Persen Sepakat dengan ulasannya.Om Rian, Om Ino ❤️🙏👍Faktanya demikian bila kami Mengudang sekolah2 Penggerak bergabung Dalam PENSI ATAU PAMERAN JAWABAN TAK ADA DANA ❤️🙏😂