Mobil Daihatsu Xenia yang disinggung pada catatan #JalanPagi sebelumnya, “Sebaiknya Tahu Hananu”, memasuki sebuah rumah yang berada di Betun, ibu kota Kabupaten Malaka.
Sebagai orang baru di Malaka, saya agak susah mendeskripsikan lokasi tempat kami berhenti itu. Satu hal yang paling saya ingat, tujuan perjalanan kami hari Selasa (22/02/2022) itu tidak jauh dari lapangan sepak bola Kota Betun.
“Kita sudah sampai,” kata Om Dedi yang menyopiri kami dari Kupang.
Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kami baru saja melewati gang kecil di samping rumah hijau yang cukup besar. Di depan mobil ada sumur; berarti kami ada di area belakang rumah.
Begitu turun dari mobil, saya melihat Kak El Robby Kapitan – rekan kami di Yaspensi yang datang berapa hari sebelumnya – muncul dari rumah yang menyerupai kos-kosan yang terletak di belakang rumah utama. Kami juga disambut Mama dan keluarga dari Kak Robby Fahik yang empunya rumah.
Sementara itu, dua kru Yaspensi lainnya, Kak Robby Fahik dan Yosi Bataona, hanya menyapa kami sebentar lalu keluar dengan mobil. “Kami urus surat dan koordinasi dengan protokoler bupati dulu…,” kata mereka terburu-buru.
Mamanya Kak Robby Fahik menghendaki kami langsung makan, tetapi barang; tas-tas kami cukup merepotkan kalau ditenteng terus. Kak El Robby Kapitan lantas menunjukkan kamar yang akan kami tempati.
Bangunan kos-kosan yang berada di belakang rumah utama orang tua Kak Robby Fahik itu memiliki 6 kamar. Ukuran kamarnya lumayan besar dibandingkan kos-kosan saya waktu kuliah dulu.
Kamar pertama ditempati Kak Robby, El Robby, dan Yosi; ketiganya merupakan tim Yaspensi yang datang labih awal untuk melakukan berbagai persiapan kegiatan “Hananu di Batas Negeri.”
Beberapa kamar lain sudah terisi oleh orang umum alias anak kos. Untungnya masih ada satu kamar yang belum diisi, sehingga kami – tim Yaspensi gelombang kedua – bisa menempatinya selama berada di Malaka. Kami masuk ke kamar urutan ke-4 dari depan.
Bagi saya itu kamar kos yang jembar. Di dalam sudah ada dua tempat tidur; yang satu ukurannya lebih besar (bisa untuk 3 orang) dan satunya lagi bisa untuk dua orang. Ada satu meja kerja yang ditata di depan tempat tidur.
Ruang di antara perabot utama itu pun masih cukup buat lompat-lompat atau olahraga ringan lainnya. Bahkan bisa untuk arena tinju kalau kita mau. Lalu di bagian belakang ada lorong kecil menuju kamar mandi dan WC.
Setelah menyimpan barang, kami diajak makan siang. Kami diarahkan ke rumah utama. Mamanya Kak Robby Fahik dan keluarga menyambut kami seperti anak sekolah yang baru pulang libur. Lebih-lebih Mama, ia sesekali menemani kami makan dengan cerita dan sedikit candaan. Kami mulai merasa seperti di rumah sendiri, dan tidak sungkan makan banyak.
* * *
Setelah makan siang, semua tim yang tadinya pergi sudah berkumpul di rumah. Kak Robby Fahik mengajak kami duduk santai di kuburan ayahnya, Alm. Hendrikus Fahik, B.A., yang sudah berpulang sejak 2019 silam.
Kuburan itu berada di area paling belakang; jaraknya kira-kira sepelemparan batu dari ujung bangunan kos-kosan. Tepat di belakang kos itu banyak pohon pisang, dan kuburan itu ada di sudut kanan dari tanah yang lumayan panjang itu.
Kuburan itu dibuat agak tinggi. Seluruh dindingnya dilapisi marmer berwarna abu dengan variasi bintik-bintik hitam. Terlihat sangat megah, apalagi di bagian kepala dibuat seperti candi-candi gereja. Dan yang paling mencolok, ada patung St. Mikael yang sedang menghunus pedang untuk membumihanguskan iblis pengganggu.
Di bagian atas kuburan itu ditutup dengan rumput sintetis berwarna hijau. Di tempat itulah kami duduk santai; menikmati angin sore yang sejuk; dan saling berbagi cerita banyak hal.
Kak Robby sedikit berkisah mengenai almarhum ayahnya dan riwayat keluarga. Mendiang ayahnya ternyata pernah berkuliah di STFK Ledalero, dan beliau sayang suka bernyanyi alias “hananu”.
“Sebelum meninggal, bapa meminta mama untuk menyanyikan lagu Haleluya Handel,” kenang Kak Robby. “Selanjutnya mereka menyanyi bersama…”
Lagu itu katanya menjadi lagu favorit sang ayah sejak masih kuliah di Ledalero. Waktu itu ada kunjungan spesial dari Jenderal Ahmad Yani yang kelak diketahui menjadi perjumpaan terakhir, karena setelah itu ia wafat dalam peristiwa G30S PKI.
Hal yang tidak kalah penting, almarhum juga dulunya menjadi salah satu tokoh masyarakat yang ikut berperan dalam memikirkan dan memperjuangkan Malaka sebagai kabupaten baru.
Sebagian dari rekaman perjuangan sang ayah dalam mewujudkan Kabupaten Malaka itu, telah dituangkan dalam novel trilogi – Badut Malaka, Likurai untuk Sang Mempelai, dan Seperti Benenai Cintaku Terus Mengalir untukmu – yang ditulis Kak Robby.
Dari beberapa buku yang telah dihasilkan oleh Kak Robby, saya bisa merasakan dia sangat bangga dengan sosok sang ayah. Ada satu buku kumpulan puisinya yang menggambarkan bagaimana ia begitu intim dengan ayahnya. Kita ikut terharu sebagai pembaca.
Saat itu kami juga membahas hal-hal lain yang tentunya disisipi candaan yang membuat kami sering tertawa. Dan yang lebih penting, waktu santai itu kami gunakan juga untuk menyiapkan program “Hananu di Batas Negeri.”
Tim Yaspensi yang datang pertama menjelaskan apa-apa saja persiapan yang telah mereka lakukan; apa-apa saja yang akan dilakukan selanjutnya, khususnya buat kami – tim kedua yang datang kemudian.
Setelah cukup lama mambahas ini dan itu, Kae Rian Seong – ketua yayasan kami yang masih muda itu – membatasi diskusi yang bersifat serius untuk persiapan kegiatan.
“Khusus untuk program Hananu di Batas Negeri, nanti malam baru kita diskusi ringan…,” kata Kae Rian Seong.
Kami semua setuju. Setelah makam malam, “diskusi ringan” itu dilaksanakan di kamar nomor satu. Saking ringannya, kami baru bisa tidur hampir pukul 01.00 dini hari.
Om Nong Yonson lantas mengusulkan, sebaiknya kalau diskusi lagi tidak usah yang ringan, langsung berat sekalian. Kami menyatakan sepakat dengan tertawa.
* * *
Rabu (23/02/2022), kami sudah bersiap #JalanPagi ke SMK Negeri Kobalima yang menjadi pusat kegiatan “Hananu di Batas Negeri.”
Sebelum berangkat, kami berkenalan dengan satu gadis Malaka yang sempat disinggung oleh Kak Robby pada saat diskusi ringan semalam. Namanya Esy. Laurensia Luruk, lengkapnya.
Pagi itu kami berbagi tugas. Saya, Kae Rian, Yosi, Esy, dan Nong berangkat menyiapkan ruangan acara di sekolah. Sedang Kak Robby dan El Robby melakukan koordinasi lebih lanjut dengan protokoler bupati dan memastikan undangan lainnya telah tersampaikan dengan baik.
Jarak Betun ke Kobalima cukup jauh. Kurang lebih ditempuh selama 20 menit dengan mobil. Sepanjang perjalanan itu, saya lebih banyak bertanya ke Esy sebagai orang asli Malaka.
Saya perhatikan, selain murah senyum, Kak Esy sangat bersemangat menjelaskan apa saja yang kami tanyakan. Dia memiliki semua karakter yang kami senangi dan butuhkan dalam komunitas.
Dia alumni Unwira Kupang, dan kemudian menjadi guru di salah satu SMP negeri di wilayah Malaka Tengah. Tetapi saat ini dia sedang istirahat mengajar di sekolah.
“Di sekolah kami sudah terlalu banyak guru IPA,” jelasnya, “Karena itu saya diistirahatkan dulu….”
Meski itu kabar agak sedih, tetapi mimik mukanya tetap ceria. Ternyata, meski ia tidak bekerja secara formal seperti itu, masih banyak aktivitas lain yang dia lakukan saat ini.
Dia menjadi guru privat untuk sekian banyak anak-anak orang berada di Malaka. Dia menjadi pengelola Taman Baca Learning Centre Mane Ulun (LCMU). Dia bisa menjadi pewara (MC) sekaligus penyanyi untuk acara nikah atau kegiatan lain. Dia bisa… (terlalu banyak untuk dituliskan semuanya).
“Saya senang saja, Kaka,” jawabnya ketika ditanya kenapa tidak capek mengurusi banyak hal.
Kami makin yakin, teman baru kami ini memiliki semangat yang kurang lebih sama dengan tim Yaspensi. Kae Rian Seong sering bilang, “Memang kalau ketemu teman satu server; teman se-frekuensi, semuanya jadi mudah…”
Setelah hampir tiba di SMK N Kobalima, Kak Esy meminta Om Nong yang menjadi penyetir kami hari itu agar berbelok ke kiri, kami harus menjemput salah satu teman lain yang disebut bernama Aris.
Kae Rian Seong entah sudah berapa kali menyinggung nama Aris itu. Katanya mereka berteman sejak kuliah di Jurusan Sendratasik Unwira, Kupang. Dan Kae Rian selalu memuji Aris sebagai seniman yang unik dan patut diapresiasi.
“Dulu dia suka pilih puntung rokok dan sampah lainnya,” kenang Kae Rian, “Terus puntung itu dia cuci, dan gabusnya dipakai untuk membuat tirai.”
Katanya kos-kosan mereka dulu berubah banyak selama ada Aris. Awalnya kos mereka tidak terawat dan dekat kandang ayam. Pelan-pelan Aris menata. Kemudian berubah menjadi kos yang banyak dihiasi karya seni. Tangan terampil Kak Aris bisa menyulap sampah jadi berbagai karya seni yang mewah.
Kami akhirnya tiba di depan rumah Aris. Itu rumah sederhana, tapi telah ditata sedemikian rupa sehingga menjadi tidak biasa. Di halaman terdapat berbagai jenis bunga. Dinding rumahnya dihiasi beberapa mural yang unik.
Kami turun dari mobil untuk mengangkat beberapa barang dan peralatan untuk mendekorasi ruangan kegiatan. Di dekat pintu masuk ada sebuah papan yang menerangkan kalau di situ menerima jasa dekorasi untuk berbagai urusan, mulai dari pesta hingga peristiwa dukacita.
Begitu masuk ke pintu, saya langsung terpana dengan berbagai lukisan yang telah memenuhi dinding. Selain bagus, karya-karya tersebut merupakan hasil olahan barang-barang bekas. Rumah mungil itu menjadi studio sekaligus galeri seni pribadi Kak Aris.
Setelah berkenalan dan terheran-heran dengan karya Kak Aris, kami melanjutkan perjalanan ke sekolah. Kami melewati sebuah rawa-rawa yang katanya tidak pernah kering, banyak ikan, dan dihuni buaya.
Tidak jauh dari situ, kami akhirnya tiba di sekolah yang berada di sisi kanan. Setelah melewati gerbang, saya terkesan dengan pohon-pohon rindang di halaman sekolah. Sementara itu hujan turun, meski dengan intensitas ringan.
Kedatangan kami disambut Bapak/Ibu guru, dan Ibu Natalia Nahak, S.Pd., selaku kepala sekolah. Sebelumnya Kak Robby dan tim Yaspensi lainnya telah sering berkomunikasi, hingga akhirnya semua tim menyapa beliau dengan panggilan Mama Nata atau Mama Kepsek.
Di sela-sela kami menyiapkan aula sekolah yang akan menjadi pusat kegiatan, Mama Nata bercerita sedikit mengenai sekolah. Awalnya sekolah itu hanya membuka dua jurusan pada tahun 2004, yaitu pertanian dan peternakan.
Iya, memang sejak masuk ke gerbang, kami bisa melihat ada begitu banyak tanaman sayur-sayuran di lingkungan sekolah. Ternyata itu tempat praktik jurusan pertanian.
Meski kami tidak sempat lihat secara langsung, Mama Nata menjelaskan kalau lahan praktik untuk peternakan ada di belakang sekolah. Di sana ada kandang untuk unggah dan berbagai jenis hewan berkaki empat.
Tanah sekolah itu memang sangat luas, kurang lebih 15 hektar. Hal ini menyulitkan pihak sekolah untuk menjamin keamanan aset peternakan dan pertanian tersebut, maupun untuk ketertiban di sekolah.
“Kami tidak bisa bikin pagar semua karena terlalu luas, belum ada anggaran untuk itu, ” keluh Mama Nata.
Hal itu membuat beberapa hasil produksi mereka dicuri atau dirusaki oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Anak-anak yang terlambat atau bolos juga sulit dikontrol, karena mereka bisa saja masuk lewat area belakang sekolah yang belum berpagar.
Sementara kami bercerita, Kak Aris mulai menata ruangan. Kami hanya membantu memasang spanduk, mengatur meja dan kursi. Selebihnya menjadi urusan Kak Aris.
“Sebaiknya kita jangan ganggu,” Kae Rian mengingatkan kami. “Seniman memang begitu. Kalau lagi asyik bekerja, biarkan dia dengan imajinasi dan kreativitas dulu…”
Kami ikuti saja. Kami akhirnya lebih santai dan mengisi waktu dengan berbagi cerita. Sesekali kami menoleh ke arah panggung, ada banyak perubahan yang terjadi.
Barangkali tidak sampai satu jam, panggung utama sudah dihiasi dengan kain berwarna (kombinasi hijau dan kuning) dan bunga serta pernak-pernik lainnya. Aula sekolah itu mendadak berubah seperti ruang acara di hotel mewah.
Hari itu kami juga dibantu pihak sekolah. Ada yang menyiapkan “sound sustem”, ada yang mengangkat dan menata kursi, dan persiapan lainnya. Semua antusias menyambut kegiatan yang akan diadakan esok hari, sebab akan dihadiri langsung oleh Bupati Malaka dan undangan penting lainnya.
* * *
Malam hari kami berkumpul lagi di kamar nomor satu. Selain tim Yaspensi, di sana juga ada Kak Esy dan Aris. Tetapi ada satu lagi yang baru, namanya Mega; Mega Bere.
Kami berkenalan sebentar setelah dia sibuk menyiapkan konsep acara dengan Kak Robby dan El Robby. Mega akan bertugas sebagai pewara (MC) pada acara pembukaan nanti.
Mega ternyata seorang dosen di STKIP Sinar Pancasila, Malaka. Waktu S1 dia mengambil studi Kimia di Unwira, Kupang. Setelah itu dia melanjutkan studi S2 di Udayana, Bali.
Selain cerdas secara kognitif, Mega rupanya memiliki banyak talenta. Sala satu bukti yang menguatkan hal itu, dia pernah dinobatkan sebagai Putri Karang NTT tahun 2019.
Prestasi itu membuatnya mudah diterima bekerja di Dinas Kelautan Provinsi NTT. Tetapi setelah kurang lebih dua tahun menjalaninya, dia merasa kurang nyaman. Dia merasa panggilan jiwanya bukan di situ.
Kemudian dia memutuskan berhenti dan pulang kampung ke Malaka. Dia rupanya lebih senang mengajar. Kini, dia juga dipercayakan sebagai Kaprodi PGSD di kampus tempatnya bekerja.
Tetapi, sebagaimana Kak Esy dan Aris, Mega juga banyak bisanya. Bisa jadi pewara (MC) sekaligus penyanyi. Dia terlibat dalam banyak kegiatan, mulai dari literasi; kegiatan kreatif di Dekrenasda Malaka; dunia model; bisnis; dan urusan penting lainnya.
Malam itu kami menyatukan persepsi untuk pelaksanaan kegiatan “Hananu di Batas Negeri.” Itu adalah persiapan akhir, esoknya menjadi pertaruhan bersama.
Malam itu kami diskusi berat tetapi berlangsung singkat. Pembagian tugas sudah jelas. Tidak terlalu banyak perselisihan di antara kami.
Pada saat itu, lagi-lagi Kae Rian berkata, “Inilah enaknya bekerja dengan teman sama frekuensi, semuanya menjadi lebih mudah…” Meski persiapan telah matang, saya tetap khawatir. Apakah kegiatan utama yang dilakukan keesokan harinya berjalan mulus? Tunggu kisah lanjutan pada catatan #JalanPagi mendatang. (Saverinus Suhardin/ rf-red-st)