
Kota Kupang, SEKOLAHTIMUR. COM – Paguyuban SVD menggelar bedah buku berjudul “Jalan Sambil Berjalan” karya Robert Bala, M.A., DIPL., yang terinspirasi dari kisah hidup dan karya Pater Amans Laka, SVD sebagai misionaris di Puerto Esperanza – Argentina (1995-2015). Kegiatan tersebut berlangsung pada Sabtu (07/05/2022) di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Sebagai penulis, Robert Bala mengungkapkan, buku “Jalan Sambil Berjalan” merupakan sebuah pengalaman hidup yang luar biasa, mengandung nilai-nilai yang dapat menginspirasi dan sangat khas.
“Sebuah buku yang berbeda dari yang lain. Selama tiga tahun terakhir saya dedikasikan menulis buku ‘Jalan Sambil Berjalan’, ini adalah buku yang sangat inspiratif, mengangkat kehidupan seorang misionaris yang tidak pernah menyangka bahwa namanya akan menjadi sebuah nama jalan, yang seharusnya diberikan untuk seorang pahlawan,” ungkap Robert Bala.
Menurutnya, jalan hidup Pater Amans yang sangat luar biasa tersebut, sama persis seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair dari Spanyol bahwa berjalanlah terus dalam hidup, maka jalan itu akan terbentuk dengan sendirinya. Selain itu, ia menambahkan, diplomasi yang paling efektif adalah melalui pendidikan.
“Judul ‘Jalan Sambil Berjalan’ itu inspirasi dari Antonio Machado seorang penyair dari Spanyol. Dia bilang kalau belum ada jalan, kita jalan saja, nanti jalan berulang-ulang akan terbentuklah jalan. Dan itulah yang dilakukan Pater Amans di Puerto Esperanza,” tandasnya.
“Dia mengumpulkan orang dan memberi kepercayaan kepada masing-masing, sehingga dari situ lahir karya yang sangat besar. Dua Sekolah Keluarga Pertanian hanya dalam 5 bulan dan berasrama. Lalu, 4 Sekolah Republik Indonesia. Dan Pater Amans ini, Duta Bangsa yang sangat luar biasa, karena diplomasi yang paling efektif melalui pendidikan. Dia mendapat dukungan dari Pemerintah indonesia, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar RI di Argentina,” tambahnya.
Tanggapan 3 Pembedah
Pada kesempatan tersebut Wakil Gubernur NTT, Drs. Josef A. Nae Soi, M.M., menyampaikan dari kisah “Jalan Sambil Berjalan”, orang harus menyadari betul setiap perjalanan dan langkahnya supaya bermakna bagi dirinnya sendiri dan bagi banyak orang. Selanjutnya, ia mengharapkan agar generasi muda menarasikan semua kejadian yang ada di NTT supaya generasi selanjutnya dapat membaca dan mengetahuinya.

“Kisah dalam buku ini sangat luar biasa. Menurut pendapat saya banyak dari kita jalan tapi tidak sadar bahwa kita lagi berjalan. Kita melangkah, bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, padahal itu kita sedang berjalan tapi kita tidak sadar, itu hanya dijadikan rutinitas. Tapi pesan filosofis yang saya ambil dan saya lihat dari buku ini adalah bahwa semua manusia bisa jalan, namun tidak semua manusia bisa berjalan. Mengapa saya katakan itu? Karena jalan-jalan harus ada kesadaran, bahwa saya melangkah dari satu tempat ke tempat yang lain dan di dalam setiap langkah itu harus ada output dan outcome-nya,” urainya.
Ia menambahkan, “Harus ada buku baru bisa baca, harus ada buku baru bisa tahu. Saya mengimbau kepada generasi muda, mari kita narasikan semua kejadian yang ada di NTT supaya gerenasi penerus kita bisa menindaklanjutinya.”
Di tempat kedua, Rektor Unwira Kupang, P. Dr. Philipus Tule, SVD., memaparkan beberapa hal penting yang tercermin dari buku “Jalan Sambil Berjalan” yakni menulis adalah sebuah usaha mengabadikan sesuatu, tujuan pendidikan yang moderen ialah mengasa daya kreativitas untuk menemukan hal-hal baru, dan setiap manusia merupakan buku pengetahuan yang darinya terkandung banyak pelajaran.
“Pertama, saya menghargai dan mengapresiasi bahwa tulisan ini, buku ini adalah suatu usaha atau bukti kita memenuhi pepatah Latin yang mengatakan Verba Volant, Scripta Manent, kata-kata lisan itu terbang hilang, kalau ditulis dia akan bertahan selama-lamannya. Itulah warisan dari setiap orang yang tahu literasi dan tahu menulis,” ungkapnya.
“Kedua,” lanjutnya, “Kalau kita baca bukunya, seorang pastor yang didik dengan Filsafat dan Teologi, tapi kemudian berkembang dalam karya pastoralnya lebih kepada pertanian. Dan itulah yang menjadi inspirasi untuk lembaga-lembaga pendidikan kita dari yang paling dasar sampai yang paling tinggi. Di situlah sebenarnya apa yang menjadi tujuan pendidikan sekarang, bahwa bukan saja ilmu, pengetahuan, ijazah yang dikejar, tapi sebenarnya unsur-unsur karakter, kompetensi, kreativitas dan inovasi”.
Hal ketiga, tandas Pater Philipus, yakni, dalam konsep antropologi yang dibaca itu bukan buku saja, tapi rumah dan bangunan fisik lainnya punya makna mendalam yang bisa dibaca dari sana. Nama jalan itu juga sebuah buku. Dengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa Pater Amans itu juga sebuah buku. Belajar tentang siapa dia, karya-karyanya yang bisa mengajarkan banyak hal saat membacanya.
Selanjutnya, seorang tokoh awam Katolik, Frans Skera, mengatakan kesuksesan yang diraih oleh Pater Amans Laka tidak terlepas dari peran orang tua, keluarga dan lembaga pendidikan. Menurutnya, Pater Amans telah menjadi sosok pemimpin dan maneger yang memberikan kontribusi besar bagi banyak orang, khususnya dalam karya misionarisnya.
“Sangat jarang sekarang ini, orang tua yang tiap pagi bagunkan anak-anaknya dan cepat mandi untuk pergi ke gereja. Ini menghasilkan pastor Amans. Saya sangka hari-hari ini kita susah dapat yang seperti ini. Keluarga ini terpelajar dan mendidik anaknya menjadi orang baik. keluarga yang memanusiakan manusia,” tutur Frans Skera.

“Lembaga pendidikan katolik begitu disenangi karena pembentukan karakternya. Dulu, orang tertarik masuk ke sekolah katolik karena mutunya, dedikasi gurunya dan kedisiplinanya sangat baik. Selain itu, menurut saya P. Amans ini adalah seorang pemimpin, maneger dan sekaligus problem solver. Kenapa saya bilang begitu karena di dalam buku ini, ketika ia menyelesaikan persoalan ia juga mengantongi 4C yakni curiosity (rasa ingin tahu), correct (hal yang benar), confidence (percaya diri) dan Consistent (konsisten),” pungkasnya. (Yosi Bataona/ rf-red-st)