Aku tidak pernah membayangkan kalau dalam hidupku pemimpi menjadi pemimpin. Sejak kecil aku selalu memimpikan sosok pemimpin idola yang berkepribadian baik, pintar, pemberani, dan lain sebagainya.
Namun, aku sadar. Menjadi pemimpin tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak risiko yang harus ditempuh apabila ingin menjadi pemimpin, harus melewati proses pencapaian yang panjang.
Sewaktu masih di sekolah dasar, aku selalu mengamati gaya bicara guru-guruku. Ada seorang guru pernah mengungkapkan, “Anak-anak, hari ini kalian mendapati kami bapak dan ibu gurumu berdiri di depan kelas mengajar, mendidik, dan membimbing kalian. Kelak, kami ingin mendengar bahwa kalian telah berhasil gantikan kami bapak dan ibu guru di sekolah.”
Ungkapan hati mereka berbekas dan terus tersimpan dalam file ingatan budi dan kehendak hati, menjadi insprasi bagiku tentang sosok pemimpin. Memori ini berlanjut hingga aku mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Waktu yang panjang telah mengubah sejarah hidupku. Si kecil yang dulunya menjadi pemimpi, kini telah mewujudkannya. Perdikat guru. Profesi yang baru kusandang juga berkat doa dan dukungan orang-orang terkasih yang membantu mempercepat kesampaianku pada posisi yang sekarang. Aku bangga ada bersama mereka yang bersama-sama telah mampu lewati separuh kerikil-kerikil kehidupan.
Ketika cahaya lilin doa menerangi kegelapan berpikirku, aku tersadar bahwa aku harus seperti lilin yang rela terbakar habis demi cinta. Cahaya iman, pengetahuan, dan kecakapan hidup yang ada padaku mesti diabdikan dan dibagikan di rumah pendidikan dan rumah kehidupan. Aku pemimpin di kelas kecil mata pelajaranku, yang melakukan hal kecil dengan cinta yang besar di sekolah yang menuju kebesarannya.
Pagi itu, saat berada di angkutan umum, aku bertemu dengan guruku. Ia merasa bangga karena aku juga menjadi guru seperti dirinya. Walau mulai rabun sinar matanya, ia masih mengenaliku. Tangan keriputnya menyentuh tanganku yang masih bersih dan mulus.
Dua generasi bertemu setelah setelah 15 belas tahun lalu bertemu di kelas dasar. Senyum sumringahnya dan keceriaan batinnya serta ketenangannya menjadi kegembiraan bagiku dan menguatkanku di jalan panggilan yang telah kupilih ini. Sesekali beliau memberi wejangan di saat volume musik angkutan kota dikecilkan atas permintaan penumpang yang lain.
“Sabar, terus mengabdi dalam ketulusan, jaga karakter luhur budi mulia, spirit pendidikan itu melayani seperti seorang hamba.”
Parafrase keluar dari bibir guruku tersayang. Perjumpaan yang tak disangka. Aku merekam dan mengarsipkan bahasa kasih yang keluar dari rahim budi dan batinnya dalam diary literasiku.
Terima kasih untuk guru-guruku yang pernah mengajar formal, pun orang-orang yang dijadikan guru oleh karena ketulusannya memerhatikan kemanusiaan. Sekarang aku bangga menjadi seorang guru. Karena guru, aku menjadi pemimpin di rumah pendidikan dalam bidang dan kompetensi serta kapasitasku. (*)