Bahasa Sikka merupakan salah satu dari lima bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten Sikka, yaitu bahasa Sikka, Li’o, Palu’e, Muhang, dan Tidung-Bajau. Secara dialektometris, bahasa Sikka dikelompokan menjadi dua dialek geografis: dialek Sikka dan dialek Krowe/Kangae/Tana Ai (Fernandez 1996:3). Bahasa Sikka dialek Krowe (BSDK) digunakan oleh masyarakat sebagai media komunikasi dan interaksi khususnya di bagian Timur Kabupaten Sikka.
Sudah pasti bahwa bahasa merupakan media untuk mendeskripsikan realitas. Artinya bahwa, bahasa itu ada jika adanya sesuatu (realitas). Dengan demikian, bahasa dapat dikatakan sebagai bentuk perwujudan dari segala sesuatu yang ada (di sekitarnya). Hal tersebut didukung dengan terbuktinya beberapa daerah yang tidak memiliki leksem tertentu karena wujudnya (realitas) memang tidak ada di daerah itu. Semisal, ada bahasa daerah buah nangka ‘nakat’, mangga ‘pau’, nanas ‘pedan’ tetapi tidak ada dalam bahasa Sikka nama buah-buahan seperti apel, anggur, stroberi, dst.
Selain hal-hal di atas, persoalannya adalah bagaimana dengan bahasa yang mengungkapkan sesuatu tetapi maknanya tidak merujuk pada objek yang ungkapan itu. Masyarakat NTT pada umumnya, membedakan makna kata orang dan manusia. Semua orang adalah manusia tetapi tidak semua manusia adalah orang. Karena kata orang perspektif masyarakat NTT tidak sekadar berarti manusia. Misalnya, dia sekarang sudah menjadi orang. Kata orang yang dimaksudkan pada kalimat tersebut adalah bukan manusia tetapi manusia yang sudah sukses.
Fenomena seperti ini, dalam ilmu linguistik dikenal dengan sebutan metafora. Metafora merupakan sebuah penyimpangan atau deviasi bahasa. Artinya, metafora merupakan pemberian nama yang sebetulnya milik sesuatu yang lain. Metafora termasuk salah satu dari lima puluh empat gaya bahasa (stilistika) dalam bahasa Indonesia. Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas persoalan perspektif tentang metafora melainkan karakteristik dan fungsi metafora dalam BSDK.
Masyarakat Sikka mengenal metafora dengan sebutan peleng patang. Peleng patang merupkan istilah yang merujuk pada objek yang disebutkan yang memiliki maksud lain. Misalnya, niu bura wa wauk secara literal diartikan ‘gigi putih mulut busuk’ tetapi arti yang sebenarnya adalah ‘binatang’ (khusus hanya babi).
Fokus tulisan ini adalah mengidentifikasi dan mendeskrispikan metafora (peleng patang) dalam BSDK dengan metode deskritif-kualitatif. Temuan dalam tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis bagi masyarakat akademisi yang bergelut di bidang bahasa maupun masyarakat Sikka yang senantiasa mencintai bahasa Ibunya.
Bagi masyarakat Sikka, khususnya penutur BSDK, peleng patang sering digunakan dalam ragam resmi maupun santai. Ragam resmi adalah penggunaan bahasa pada situasi seremonial (upacara adat, diskusi aparat desa, diskusi antartokoh masyarakat (Moan Watu Pitu)) dan santai merujuk pada komunikasi sehari-hari. Penggunaan peleng patang oleh penutur BSDK terdapat pada semua ranah kehidupan. Namun dalam tulisan ini, penulis membatasinya hanya pada (1) hubungan manusia dengan manusia (sesama); dan (2) manusia dengan Tuhan. Bentuk-bentuk metafora dalam BSDK adalah sebagai berikut.
Peleng Patang Manusia dengan Manusia
Dalam berbahasa, masyarakat Sikka Krowe lebih sering menggunakan peleng patang. Peleng patang tersebut digunkanan dengan tujuan tertentu. Salah satu tujuannya adalah untuk memperhalus.
- Tilu a’un e blara golo
#‘Telingaku sakit sekali’
*‘Tidak ingin mendengarkan lagi’
Secara literal, kalimat tersebut berarti ‘telingaku sakit’ tetapi ketika kalimat tersebut
merupakan respon atas pembicaraan seseorang tentang sesuatu hal, maka itu berarti ‘tidak ingin mendengarkan lagi’.
- Kenain du’a ia deri no ba
#Perempuan itu sudah duduk’
*Perempuan itu sedang hamil’
Kata deri pada data (2) di atas berarti ‘duduk’ tetapi ketika kata tersebut ditempatkan dalam formulasi kalimat itu maka, kata deri sudah sama memiliki arti yang berbeda, yaitu ’hamil’.
- Man blon le ha
#’Lidah panjang’
*’Penipu’
- Bo’ir blon golo
#’Leher panjang’
*Tukang nyontek’
- Tutur ganu wair ba
#’Bicara seperti air’
*’Pintar berbicara’
- Mitan pau roun
#’Hitam seperti daun mangga’
*’Hitam manis’
- Bura telo wagan
#’Putih seperti putih telut’
*’Kulit sangat putih’
- Moat gete
#’Orang besar’
*’Tua adat’
- Watu pitu
#’Tujuh batu’
*’Aparat tua adat’
- Selon betok
#’Lompat-lompat’
*’Tidak tenang’
Mulai data (3 – 10) di atas, penulis memberikan tanda khusus sebagai pembeda, yaitu (#) menunjukkan arti literal (terjemahan lurus) dan (*) menunjukkan arti yang dipahami oleh masyarakat Sikka Krowe. Data-data di atas merupakan segelintir data sebagai bukti faktual bahwa metafora (peleng patang) sering digunakan oleh masyarakat penutur Bahasa Sikka Dialek Krowe dalam komunikasi antarsesama.
Peleng Patang Manusia dengan Tuhan
Berikut ini ditampilkan data-data yang menunjukkan penggunaan peleng patang manusia dengan Tuhan. Selain Tuhan disebut dengan nama ‘Amapu’, Tuhan juga lebih sering diungkapkan dengan metafora yang melambangkan kemahaan Tuhan.
- Ama matan gete
#’Ayah besar mata’
*’Tuhan mahalihat’
- Ama tilun gete
#’Ayah besar telinga’
*’Tuhan mahadengar’
- Ama lero wulan
#’Ayah matahari bulan’
*Tuhan mahacahaya’
Dalam berbahasa, masyarakat Sikka Krowe lebih sering menggunakan peleng patang. Peleng patang bagi masyarakat Sikka Krowe merupakan pilihan bahasa bukan ragam bahasa. pemilihan bahasa tersebut terasa lebih santun meski ketika sedang mengungkapkan kemarahan.
Peleng patang juga digunakan sebagai media untuk menyindir dengan halus. Dari hasil pengamatan dan penulis sebagai penutur asli BSDK, peleng patang lebih sering digunakan dalam setiap situasi berbahasa. Peleng patang secara fungsional merupakan pengontrol emosi berbahasa dengan tujuan menjaga harmonisasi dan relasi meskipun seseorang dalam keadaan sedang sangat marah.
Peleng patang dalam BSDK bukan merupakan gaya bahasa tetapi pilihan berbahasa. Hampir setiap tindak tutur antarmasyarakat, peleng patang selalu menjadi bagian yang mengisi setiap formulasi kalimat yang diucapkan oleh penutur. Meski dalam ilmu linguistik, para linguis menganggap metafora merupakan penyimpangan atau deviasi bahasa, tetapi bagi masyarakat Sikka Krowe peleng patang merupakan bentuk kesantunan berbahasa. Memang peleng patang adalah suatu fenomena kebahasaan yang bersifat inkonsiten. Artinya bahwa, antara realitas dan bahasa tidak lagi dipahami sebagai ‘satu banding satu’ melainkan ‘satu berbanding tak terbatas’.
Bagi masyarakat Sikka Krowe, peleng patang adalah ciri khas bahasa dan pilihan berbahasa. Bahkan, orang-orang yang sering bermetafora (peleng patang) dikategorikan sebagai orang-orang cerdas dan pantas menjadi juru bicara adat. Jadi, bahasa metaforis adalah bentuk kesadaran penutur bahwa ketika luka tertikam lidah sampai kapan pun tak akan bisa terobati. Peleng patang adalah bukti masyarakat menjaga relasi dengan harmonisasi komunikasi. (*)
Sumber Bacaan
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Erom, Kletus. 2015. “Pengantar Teori Linguistik Kebudayaan” diterjemahkan dari Toward A Theory of Cultural Linguistics, by Palmer. Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Mboka, Idris. 2016. Penggunaan Doa Batuna’u dalam Tradisi Etnik Lio di Desa Ngalukoja Kec. Maurole Kab. Ende: Sebuah Kajian Linguistik Budaya (Sebuah Artikel). Kupang: Jurnal Ilmiah Kesastraan Pusat Bahasa NTT.
Sanda, Fransiskus. 2009. Bahasa-Bahasa di Kapupaten Sikka, Flores, NTT: Suatu Pemetaan Bahasa-Bahasa dengan Teknik Dialektrometri. Kupang: UPT Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTT.
Verhaar, J.W.M. 1990. Pengantar Linguistik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
——————–. 2010. Asas-Asas Linguistik. Cet. VII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Yonson, Emanuel Nong. 2015. Predikat Serial dalam Bahasa Sikka Dialek Krowe (Sebuah Skripsi) Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Terima kasih sudah membuka wawasan kami pembaca seputar peran
dan fungsi bahasa daerah Sika dalam konteks kehidupan budaya masyarakat…