Keistimewaan Perempuan dalam Perkawinan: Telaah Sajak-Sajak Sikka

1
1645
Oleh E. Nong Yonson, Penulis “Dosa Sang Penyair”, Presiden KSK, Fasilitator Yaspensi.

Perkawinan adat Sikka (Naruk Wain La’in Lihan Lalan) merupakan sebuah ikatan persatuan dan persaudaraan antara du’a ‘perempuan’ dengan la’i ‘pria’. Antarkedua suku dan keluarga besar. Persatuan dan persaudaraan itu terdapat dalam ungkapan “Dadi wain nora la’in, tena ue nora wari. Dadi lihan nora lalan, tena nara nora wine”. Artinya, jadilah istri dan suami dengan jalinan persatuan dan ikatan persaudaraan. Dengan demikian, dasar perkawinan adat Sikka semestinya adalah persatuan dan persaudaraan.

Menyelisik derajat perempuan Sikka, mengantarkan saya pada sebuah perjumpaan dengan Latung Lawang ‘sajak-sajak’. Latung lawang adalah tradisi lisan yang diwariskan tua adat kepada salah satu keluarganya secara turun temurun dalam bentuk sajak. Semua sajak yang mengisahkan perempuan dan pria selalu menempatkan perempuan pada posisi mendahului pria.

Contoh paling sederhana adalah sajak sapaan. Ina ama,ue wari Ibu Bapak, Kakak Adik. Ina buan, ama ga’e Ibu yang melahirkan, Ayah yang menafkahi’ Ina nian, ama lero bumi dan langit’.  Bahkan dalam sajak yang berkisah tentang manusia pertama yang lahir dari rahim bumi pun adalah perempuan. Ina ata bekor nian, ama ata blira tana Ibu terlahir dari rahim bumi, Ayah berasal dari tanah’.

Realitas ini, menempatkan posisi perempuan begitu istimewa dalam adat istiadat Sikka baik secara historikal maupun secara sosial. Tidak hanya dalam sapaan, sejarah, tetapi juga dalam perkawinan. Biasanya, perkawinan diawali dengan naruk sir ‘masa pacaran’. Masa pacaran ini selalu diwanti dengan sajak sir lopa dena de’a, ga’i lopa dena ‘lebe. Loning, du’a lora lin, la’i lora welin ‘Jangan candai hati perempuan, jangan permainkan perasaannya. Sebab, perempuan memiliki harkat dan martabat, serta pria memiliki harga diri’.

Lagi-lagi, sajak ini pun menempatkan perempuan mendahului pria meskipun dengan tujuan yang bersifat resiprokal (timbal-balik). Keduanya tetap menjaga harkat dan martabat sebagai tanda saling mencintai. Tanda itu akan dibuktikan dengan keseriusan seorang perempuan memperkenalkan pria pada orang tua dan keluarganya bukan sebaliknya.

Dalam ritual perkawinan adat Sikka, lazimnya terdapat dua fenomena, yaitu (1) tama depo wa gete ‘seorang perempuan dilamar secara baik’; dan (2) lodong depo orin buwun ‘seorang perempuan lari ikut si pria’. Penjabaran fenomena pertama agak panjang dengan melewati beberapa tahapan secara adat, maka terlebih dahulu dipaparkan fenomena kedua. Selain penjabarannya pendek, hal ini menjadi tren wai bu’an, tibo lamen ba’i murin ‘muda-mudi masa kini’.

Lodong Depo Orin Buwun ‘Perempuan Lari Ikut Si Pria’

Lodong depo orin buwun adalah sebuah ungkapan yang merujuk pada perkawinan yang melanggar norma adat Sikka. Pelanggaran itu disebabkan oleh si perempuan dan si pia lebe tilun klape matan ‘tidak mengikuti nasihat orang tua’. Keduanya bahkan memilih secara sengaja untuk sorong loni, plaha oha ‘tidur berdua sebelumnya waktunya tiba’. Jika fenomena ini terjadi, maka ada dua kemungkinan sebagai kelanjutannya, yaitu (1) keluarga perempuan mencari anaknya; dan (2) keluarga pria melapor keberadaan perempuan kepada keluarganya.

Pertanyaannya adalah: Apakah perempuan tetap istimewa? Secara adat, kadar keistimewaan itu perlu diakui bahwa sudah berkurang tetapi bukan berarti ia sama sekali tidak lagi istimewa. Sebab, pesan yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya selalu sama, yaitu tutur naha waen inga, harang lopa waen apar. Ia na, orin uma wi au deri, weru wenge ‘bersikap baiklah pada keluarga barumu, sehingga kehadiranmu adalah kebahagiaan bersama’.

Tama Depo Wa Gete ‘Seorang Perempuan Dilamar Secara Baik’

Menjadi sebuah kehormatan dan kebanggaan baik secara psikologis maupun sosial ketika anak perempuan dilamar secara baik oleh seorang pria bersama keluarganya. Selain sebagai tanda seorang pria tidak mencederai keisitimewaan perempuan, ia juga sedang memperkenalkan dan menjaga harga dirinya sebagai pria. Perkawinan atau naruk wain la’in lihan lalan seperti ini, biasa melewati beberapa tahapan secara berurutan. Tahapan-tahapan itu dijelaskan sebagai berikut.

a. Wua go’o gaging, ta’a lanan dete (Tahap Perkenalan)

Tahapan ini juga dikenal dengan istilah ‘ketuk pintu’. Sebab, secara prosedural adatnya sama. Wua go’o gaging, ta’a lanan dete berarti ‘hangatnya pinang sehangat ajakan dan melatanya sirih sebagai karpet untuk memapah kedatangan’. Pada tahapan ini, seorang pria bersama keluarganya datang dengan membawa wua ta’a bako apur ‘sirih pinang, tembakau, dan kapur’ sebagai lambang diri seorang pria.

Hal ini terungkap dalam sajak wua ta’a tena mera wiwi, bako apur tena gahu ahang yang berarti ‘sirih pinang sebagai pemerah bibir, tembakau dan kapur sebagai penghangat geraham’. Pemerah bibir mengandung makna ‘melancarkan komunikasi, menjalin persaudaraan, dan persatuan’. Sedangkan, penghangat geraham mengandung makna ‘mempererat cinta kasih’.    

b. Wua lema lepo, ta’a rawit woga (Tahap Pertunangan)

Wua lema lepo, ta’a rawit woga yang berarti ‘pinang dibawa ke dalam keluarga, sirih diserahkan ke dalam rumah tangga. Tahapan ini, biasanya disertai dengan proses adat belis yang disebut lin welin leto woter ‘kesepakatam harga’ bukan jual beli tetapi bentuk penghargaan kepada keluarga perempuan. Lin welin leto woter adalah sebuah proses saling memberi dan saling menerima. Proses itu adalah tanda terwujudnya keluarga yang akur, rukun, harmonis dalam upaya menciptakan rumah tangga yang bermartabat.

Tahapan ini juga disertai dengan pelaksanaan wu’un tali hu’at mata meten bagian belis sebagai simbol ‘pengikatan yang kuat’. Dilanjutkan dengan pati wawi dadi ‘penyerahan babi secara resmi sebagai tanda ikatan pertunangan. Pada bagian ini, wajib ada proses saling memberi sebagai bentuk saling menerima dan merestui, yaitu tua wair nora wawi pare ‘tuak, babi, dan beras’ dari pihak  Ina Ama (keluarga perempuan). Sedangkan wua ta’a, bako, apur, nora mu’u manu ‘sirih, pinang, tembakau, kapur, dan pisang, ayam’ dari pihak Me Pu (keluarga pria).      

c. Wawi api ara plangan (Tahap peresmian)

Tahapan peresmian atau Wawi api ara plangan adalah rangkaian upacara peresmian perkawinan adat Sikka. Rangkaian upacara ini diawali dengan Tung wua ta’a gete ‘Mengantar sirih pinang secara besar-besaran dengan melibatkan semua unsur keluarga pria (Me Pu) menuju keluarga perempuan (Ina Ama). Tidak semua anggota keluarga pria bisa membawa tempat berisi sirih pinang atau ‘li’u ‘lilin’. Li’u ‘lilin wua ta’a hanya bisa dilakukan oleh saudari perempuan pertama dari ayah pria yang hendak kawin itu. Hal itu melambangkan keseriusan dan kesungguhan keluarga pria.

Pada waktu itu, akan diadakan juga upacara wotik wawi waten ‘menyuap hati babi kepada pasangan itu sebagai tanda ‘telah resmi menjadi istri dan suami’. Upacara itu mutlak disertai dengan sajak Goa sai etan jajin. Dadi wain nora la’in. Etan ha, gogo lelen ‘Makanlah daging ini sebagai tanda perestuan istri dan suami, penyatuan hidup bersama’. Minu sai tua suban. Dadi lihan nora lalan. Mein ha ba gaer. ‘Minumlah tuak tanda bersumpah. Menjadi pasangan seumur hidup. Darah kesetiaanmu  berbaur menjadi satu.’

Kemudian disusul dengan acara Ro’a mu’u wua ‘upacara memotongan pohon pisang dan pinang di depan pintu masuk tenda rumah perempuan. Filosofi pisang dan pinang perpektif orang Sikka ternyata lahir dari sifat kedua tumbuhan itu. Pisang adalah tanaman basah yang tetap menghijau sepanjang tahun dan pinang adalah bangsa palma yang terus berbuah sepanjang tahun. Pisang dan pinang adalah lambang kesuburan dan kesegaran. Hal ini merupakan perwujudan doa dan harapan agar pasangan itu subur dan segar dalam kehidupan rumah tangga baru mereka.

Upacara peresmian pernikahan ini berujung pada acara Toma ola une ‘masuk kamar pengantin’. Upacara ini adalah keutuhan perestuan keluarga bagi kedua pasangan untuk memulai hidup baru sekaligus menuruti pesan nian tana ‘semesta’ pada seorang perempuan ma bua buri ganu wetan, ga’e teto hanu aton ‘beranak cuculah, penuhilah isi bumi’.             

Pada setiap upacara perkawinan selalu diberikan pesan-pesan dan juga larangan-larangan dalam bentuk sajak. Pesan-pesan itu adalah (1) naruk lepo unen woa wutun (perihal kerumahtanggaan); (2) naruk tutur nao harang lami (pendidikan); dan (3) naruk ue wari lu’ur dolor (menjalin relasi dengan keluarga dan tetangga). Larangan-larangan itu adalah (1) naruk ngejeng jujang human blaun (perampasan dan penindasan); (2) naruk tau pati tola keda (perkelahian dan pembunuhan); dan (3) naruk lin welin leto woter (harga diri dan martabat). Diakhiri dengan sajak yang sangat istimewa untuk kedua pasangan baru itu da’a ribang nopok koli tokar ‘sampai maut memisahkan, sampai takdir mengakhiri’.

Keistimewaan perempuan dalam sajak-sajak perkawinan adat Sikka ini adalah sebuah bukti bahwa orang Sikka tidak pernah menempatkan perempuan sebagai pengisi kasta kedua, melainkan memosisikannya sebagai makhluk yang sangat berharga dan bermartabat. Kini, posisi perempuan sedang dalam ombang-ambing ego sosial, ego politik, dan ego akademik.

Namun, ketiga ego itu sangat mudah dibendung dengan mengahadirkan kembali kodrat perempuan secara historikal dan secara adat. Pertanyaan refletifnya adalah: Apakah muda-mudi Sikka tahu tentang hal ini? Jawabannya sederhana: Baca dan cermati tulisan ini sebagai bentuk usahamu memahami budayamu. (*)

Sumber Bacaan

Diogo, Longginus. 2009. Kisah Kerajaan Tradisional Kangae Aradae: Nian Ratu Tawa Tanah. Kewapante: Sebuah Bunga Rampai

Susar, Paulus Nong. 2004. Mengarung Samudra Bangsa Menuju Kampung Pencerdasan Rakyat Indonesia: Studi Historis-Komparatif Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Sikka dalam Bingkai NKRI. Maumere: Yayasan Flores Sejahtera (Sanres)

Yonson, Emanuel Nong. 2022. Peleng Patang Sebagai Bentuk Harmonisasi Komunikasi Masyarakat Sikka: Sebuah Artikel. Kupang: SekolahTimur.com

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini