Dialektika Pendidikan (Literasi: Penumpukan Ilmu vs Penumpukan Uang)

0
227
Oleh Yohanes S. Bataona, S.Fil., Wartawan SekolahTimur.com, Fasilitator YASPENSI

Gembar-gembor dan alur pergerakan literasi di Indonesia, yang saat ini diprakarsai oleh Kemendikbudristek, rasa-rasanya seperti dirasuki oleh roh Ki Hajar Dewantara. Gelar Bapak Pendidikan Indonesia yang disandangnya, tentu didapatkannya dengan perjuangan yang keras, jiwa yang berkorban dan kesadaran bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk berperang melawan kejahatan penjajahan demi mencapai sebuah kebebasan yang memerdekakan.

Usaha mendirikan sekolah, mengajarkan baca-tulis dan pengetahuan serta keterampilan merupakan bentuk kecintaanya terhadap bangsa yang ia bangun dari dialog bersama kenyataan, melalui apa yang dilihat dan berdialog dengan dirinya sendiri. Dari situ muncul suatu semangat berkobar-kobar untuk menentang realitas yang telah didikte oleh dominasi kelas sosial dan keturunan bangsawan.

Semangat berkorban dan cinta yang tulus kepada tanah air inilah yang menjadikan Ki Hajar Dewantara, sosok yang digugu, ditiru dan dijadikan rujukkan oleh anak-anak bangsa sekarang dalam membangun pendidikan, meningkatkan literasi dan pengembangan karakter yang luhur.

Konsep Dialektika dan Tesis Dasar

Dalam tatanan ilmu, dialektika merupakan sebuah metode untuk mencapai sebuah kebenaran yang diyakini bersama dan bersesuaian dengan kenyataan (sintesis konseptual). Sebagai sebuah konsep, dialektika (dialog) merupakan komunikasi dua arah antara pernyataan yang saling bertentangan untuk melahirkan konsep baru yang lebih dinamis.

Georg W. F. Hegel adalah salah satu tokoh besar dalam pemikiran filsafat abad modern yang berhasil menyempurnakan konsep dialektika ini dalam triloginya (tesis, anti-tesis dan sintesis). Menurut Hegel, dialektika merupakan suatu gerak pemikiran yang berlangsung senantiasa baru dan berlawanan. Dari gerak yang berlawanan itu timbullah suatu gerak baru yang mengandung di dalamnya kedua gerak yang mendahuluinya sebagai suatu sintesis yang tarafnya lebih tinggi. Jadi, untuk menemukan suatu visi yang revolusioner diperlukan perpaduan dua pandangan yang berbeda yang kemudian didamaikan atas dasar prinsip kebenaran dan keilmuan.

Berangkat dari pemikiran Hegel di atas, perjalanan geliat literasi yang begitu semarak saat ini, boleh dikatakan selalu bertumpu dan berpangkal pada semangat yang telah diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara. Konsep tersebut dapat dipandang juga sebagai tesis dasar untuk mengembangkan literasi secara khusus dan pendidikan pada umumnya agar lebih maksimal.

Penumpukan Ilmu vs Penumpukan Uang

Pengabdian yang tulus kepada tanah air Indonesia tempat tinggal se-bangsa dan keluarga, yang di atasnya ditaruh hidup serta harapan mereka untuk bebas dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan menjadi tanda cinta Ki Hajar Dewantara kepada Nusa dan Bangsa. Melihat hal tersebut, siapakah yang tega mencederai perjuangan yang telah dipupuk dengan susah payah? Atau begitu mudahkan membangun pendidikan serta literasi tanpa sebuah proses?

Bukankah tekad dan semangat untuk mencerdaskan anak-anak bangsa itulah yang wajib diteruskan? Seperti halnya sebuah petuah, menjaga keberlangsungan hidup pendidikan harus menjadi ingatan yang selalu ada di kepala kita, daging dan darah yang ada di dalam tubuh kita serta aturan yang selalu menuntun langkah dan tingkah laku kita.

Fenomena di Indonesia akhir-akhir ini justru sangat mengkhwatirkan. Tercatat, masih saja ada aktor-aktor yang dengan sengaja menyelundup (modus operandi) ke dalam tubuh pendidikan dan jejaring-jejaring pegiat literasi untuk meraup keuntungan serta memperkaya diri sendiri. Kadangkalanya, aktor-aktor ini yang diberi posisi dan tanggung jawab oleh pemerintah untuk berdiri di garda terdepan pendidikan (mengelola dana pendidikan dan kegiatan-kegiatan pengembangan literasi), malah menyalahgunakan kesempatan tersebut dan justru menjadikannya sebagai lahan untuk menumpuk uang dan sumber mata pencaharian (Negatif Anti-tesis).

Di sisi  lain, ada hal yang sangat mengerikan kalau disadari dengan baik seperti dalam sebuah geliat literasi baca-tulis. Perihal literasi ini, kesadaran akan pentingnya sebuah proses yang harus ditanamkan di dalam diri anak bangsa, agar kemudian menjadi fondasi yang kokoh-kuat dan  mandiri dalam mengembangkan pendidikan yang lebih maju serta kreatif. Cara yang benar agar dapat menulis terlebih dahulu dibutuhkan perbendaharaan kata, yang diperoleh lewat membaca dan ketekunan dalam melatih keterampilan menulis tersebut.

Bayangkan saja, betapa mustahilnya seseorang dapat menulis atau menghasilkan karya-karya tulis yang luar bisa dalam sehari-dua hari tanpa melewati proses membaca dan latihan menulis. Sungguh sangat disayangkan kalau untuk mencapai tuntutan tertentu, target akademik dan kebutuhan perut, sajian instanisasi kemudian dengan gampangnya dipertontonkan dan seolah dilegalkan.

Kalau dipahami secara baik, tentunya hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang dimaksudkan oleh konsep Dialektika Hegel tadi. Seharusnya aktor-aktor itu terlebih dahulu membangun kesadaran dan pola pikir yang positif tentang hal-hal yang menjadi dasar dalam sebuah proses literasi sembari menciptakan metode-metode baru yang lebih kreatif-kritis, meski agak berbeda dari apa yang sudah dilakukan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara (Positif Anti-tesis). Tetapi, harus tetap pada jalur yang sama, semangat juang yang sama dan tujuan yang sama yakni menambah wawasan berpikir (menumpuk ilmu) demi kecerdasan bangsa (Sintesis).

Lantas, masih pantaskah kita membanggakan diri dan menepuk dada sambil mengatakan kalau kita ini pejuang pendidikan dan pegiat literasi? Padahal, kelakuan kita seperti penjajah di tanah sendiri yang dengan senang hati merawat kebodohan dan mewariskan kemiskinan bagi bangsa sendiri. Namun kita percaya, di tempat lain di luar sana masih ada anak-anak Indonesia yang dengan niat suci dan penuh kesadaran membangun pendidikan bangsa ini tanpa embel-embel apa pun. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini