
Perhelatan akbar Konser 1000 Sasando telah usai. Tanggal 28 September 2022 silam, Labuan Bajo, kota kenangan nan eksotik, menjadi saksi bisu akan aksi nan fenomenal. Semilir bayu senja turut menghantar 1000 pelajar ke puncak keindahan. “Ole…tah, bagus ini acara, e…”, ujar salah satu sopir taxi yang ikut nimbrung menononton acaranya.
“That’s amazing!” salah satu buleseparuh baya bergumam kepada kekasihnya yang asyik berduaan mesra di pojok Waterfront Marina. ‘’kami kurang puas…”, celetuk seorang siswa sembari menenteng Sasando, berjalan lesu membelah kesunyian malam di Kampung Ujung. Suasana di hati kecilnya bercampur aduk, antara senang pada Rekor MURI yang turut mereka ciptakan, ataukan sedih memikirkan pelayaran kembali ke Kupang yang memakan waktu dua hari dua malam lamanya.
Seperti sebuah perhelatan pada umunya, selalu menyisakan ragam kisah–kasih, ragam tafsir, ragam interpretasi, ragam catatan, ragam komentar, ragam evaluasi, ragam ide baru, ragam imajinasi, ragam gagasan, yang semuanya itu tertuju pada satu titik tolak untuk perbaikan jangka panjang, long live education; manusia adalah makluk belajar, sepanjang hayat, sepanjang masa, memperbaiki diri.
Konser dan Seni Pertunjukan
Konser, festival, ataupun pentas, masuk dalam kategorial seni pertunjukan. Ketika masuk dalam ranah seni pertunjukan, hal yang paling urgen adalah menganalisis manajemen pementasan seni secara cermat, terukur, berdaya saing, dan berdaya guna.
Dalam teori Manajemen Pementasan Seni, ada tiga (3) langkah dalam manajemen pementasan, yakni pra produksi, masa produksi, dan pasca produksi. Pra produksi adalah masa sebelum atau masa persiapan produksi dalam sebuah pertunjukan. Setidaknya, ada empat (4) hal yang perlu dilakukan dalam masa pra produksi ini antara lain; pembentukan staf produksi, penentuan tema, pembuatan schedule, penyusunan run down.
Masa Produksi adalah masa latihan dan hari pertunjukan. Dimana, ada dua (2) fase dalam masa produksi ini antara lain; pra pementasan, yakni dilaksanakan gladi bersih sebelum melakukan pementasan. Tujuannya agar para pemain dan panitia memiliki gambaran akurat tentang suasana dan situasi (kondisi yang hendak mereka lakukan pada hari pementasan. Selain itu, langkah ini perlu dilakukan untuk mengurangi kesalahan ataupun kejanggalan saat pementasan. Fase berikutnya adalah pementasan. Bagian ini adalah tahapan final. Panitia harus berkoordinasi dengan stage manajer dengan baik agar acara berjalan sesuai dengan run down. Kedisiplian timing dan juga konsep pementasan dipertaruhkan.
Pasca Produksi, yakni masa setelah semua persiapan dan penampilan telah dilaksanakan. Walaupun sudah selesai, kepanitiaan masih harus bekerja. Biasanya, dalam tahap ini akan dilaksanakan evaluasi dan pertanggungjawaban apakah semua berjalan sesuai dengan rencana awal, ataukah melenceng, bahkan gagal.
Suara 1000 Sasando & Literasi Musik NTT
Apresiasi yang tinggi penulis sampaikan kepada pihak panitia dan semua stakeholder yang menggagas dan merancang kegiatan ini; Pemerintah Provinsi NTT bersama Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE KIM) dan didukung Dekranasda NTT. Pemilihan judul kegiatannya sangat bagus; ‘’Magical Sound of Sasando for The Word”. Penulis menerjemahkan ini sebagai: suara keramat Sasando untuk dunia. Pesan-pesan keramat dari Sasando – alat musik dari pulau Rote – yang bernilai edukatif dan juga sosial.
Pemilihan lokasi pementasan yang sangat sentral nan eksotik;Waterfront Marina, semakin menambah nilai keramat nan magis. Sasando yang jauh-jauh dari pulau paling selatan NTT, Rote, bisa-bisanya ‘terdampar’’ di ujung barat NTT, pelabuhan nan eksotik, Labuan Bajo. Ini seperti membaca kisah mitologi lagu Ofalangga, pesan berantai tentang para lelaki dewasa Rote, dipaksa untuk naik ke kapal untuk dibawa oleh para penjajah melakukan romusha di luar pulau Rote.
Sementara istri-istrinya menangis tersedu di pelabuhan kapal menyaksikan suami-suaminya pergi, yang tak mungkin kembali lagi. Apakah pelayaran para lelaki dewasa itu membawa serta Sasando kemanapun mereka pergi? Entahlah. Imaji penulis, mereka membawanya, karena Sasando adalah bagian integral kehidupan para lelaki dewasa, ketika mereka selesai iris tuak (menyadap lontar), mereka akan mengambil Sasando gong untuk bernyanyi menghibur diri, mengucap syukur kepada Tuhan dan alam semesta sumber hidup. Setelah itu mereka tidak peduli siapa yang akan menghargai, atau apakah hidup mereka berharga atau tidak bagi sesamanya? Sasando memang membawa banyak ajaran evaluatif.
Menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengapa Sasando tidak dipentaskan saja di Rote, atau di Kupang, tetapi jauh-jauh mesti sampai Labuan Bajo. Beberapa simpulan berikut yang diawali beberapa catatan perjalanan dan manajemen pementasan seni yang penulis rangkum, mencoba membawa spirit edukatif pepatah Latin yang hampir punah; Non Scolae sed vitae discimus; kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup.
Suara denting 1000 Sasando bersahut-sahutan dengan suara-suara sumbang para pelajar, guru pendamping, dan orang tua, menghasilkan beberapa simpulan, yang tentu akan menjadi suara-suara magical, keramat, yang selalu berdenting, mengisi ruang evaluasi sebagi bahan edukasi untuk masuk ke ruang literasi pelajaran Seni dan Budaya di sekolah dan keperluan Muatan Lokal.
Merujuk teori Manajemen Pementasan Seni, ada beberapa ruang catatan yang muncul sejauh pendeknya pemahaman penulis, yakni; pertama, masa pra produksi, pada tahapan penyusunan schedule dan run down, belum dijadwalkan dengan baik meski grup WhatsApp sangat aktif (hidup), namun pemetaan schedule dan run down yang pasti sangat dibutuhkan untuk laporan kepada orang tua dan juga manajemen sekolah. Kedua,masa produksi, ada dua tahapan, proses latihan dan hari pementasan. Waktu latihan yang sangat lama (2 bulan) mengisahkan banyak ‘’ruang kosong’’ ketika penata musik tidak menyiapkan partitur untuk diberikan kepada para siswa atau guru pendamping. Untuk konteks pelajaran Seni Budaya (kelas X) di sekolah, pada topik materi Seni Musik; membaca notasi, para guru berkewajiban melatih siswa untuk pandai membaca notasi angka ataupun notasi balok. Agar siswa dapat membaca partitur-partitur pementasan musik dimana pun nanti mereka berkarya.
Partitur dan Literasi
Pengerjaan partitur adalah sebuah pekerjaan literasi, dimana seseorang yang akan menjadi composer, mesti memiliki pemahaman dan sekurang-kurangnya berasal dari akademisi di bidang musik. Di dalam partitur berisikan unsur-unsur musik, baik secara teoritis ataupun non teoritis. Biasanya berisikan judul karya, bagian kiri tertera tanda birama, diikuti tanda kunci, dan juga tanda dinamika, serta bila perlu ada tanda tempo.
Pada bagian pojok kanan di bawah judul karya biasanya tertera nama pencipta, arranger, ataupun asal karya music yang diciptakan. Selanjutnya partitur akan berisikan birama dan garis birama. Yang pendek biasanya 4 birama, dan yang panjang bisa 32 birama ataupun bahkan lebih. Di dalam birama berisikan simbol notasi balok, tanda dinamika, ataupun tanda tempo. Untuk konteks notasi Sasando dijelaskan notasi-notasi dari tangga nada pentatonik; do – re – mi – sol – la, yang dulu diperkirakan digunakan sejak zaman Yunani Kuno pada alat musik Kithara Yunani ataupun kecapi.
Tetapi pada teori musik kontemporer, simbol notasi balok dan unsur musik lainnya bisa diganti dengan sibol-simbol lain yang sepadan, sama seperti morse-morse pada giat Pramuka. Karena simbol-simbol tersebut adalah tanda untuk beri ruang pemahaman pada siswa agar mereka bisa mandiri dan literat.
Partitur sangat membantu panitia dan penata musik, yang kebetulan menggunakan metode drill, yakni latihan secara berulang-ulang. Partitur juga memberi bahan edukasi untuk literasi musik kepada para siswa, dan juga mereka bisa mandiri latihan di sekolah masing-masing bersama guru pendampingnya, ataupun mandiri di rumah. Ini akan membawa dampak kemajuan, agar anak-anak lebih berkarakter bertanggungjawab, dan disiplin.
Ketiga,tahapan hari pementasan. Sejauh kemasan umum, pementasan sudah berjalan dengan baik. Namun, ada satu moment yang terlewatkan dengan sadar, yakni moment gladi bersih. Semua pembawa atau pun pengisi acara tidak pernah latihan secara komplit dan bersamaan, alhasil ada pemandangan yang sedikit mengganggu ketika para pelajar ‘kecolongan’ untuk masuk area pentas, padahal belum waktunya mereka masuk.
Mereka berlari hampir 5 meter dan disuruh untuk mundur kembali. Selanjutnya, penulis melihat penataan ‘area’ pementasan belum menarik, padahal lokasi pementasan sangat exotic. Dalam imajinasi penulis, sebenarnya ‘arena pementasan’ dapat dibagi menjadi 5 bagian, yakni jalan masuk menuju Waterfront Marina, sebaiknya ditempatkan beberapa pemain Sasando, untuk mengiringi perjalanan masuk para undangan, serta undangan kehormatan, Ibu Iriana Joko Widodo. Area kedua, di depan tempat duduk para tetamu, sepanjang area walking para model dan penari, mesti dikosongkan agar ‘tulang puggung’ pementasan, yakni pelajar yang memainkan Sasando, tidak terhalang pandangan para model dan penari ketika mereka memainkan sasando.
Para model dan penari bisa masuk di area ketiga, yakni dibelakang area para pelajar 1000 Sasando, atau bila perlu di samping para pemain Sasando. Mengapa ini penting? Karena para pelajar ‘duduk melantai’, akan terhalang oleh megahnya pakaian para model (fashion show), yang berjalan dalam posisi berdiri, begitupun para penari. Secara garis pandang visualisasi, menjadi tidak menarik, apalagi para tetamu undangan kehormatan juga menonton dalam posisi duduk. Hasil akhir, para penonton yang mengikuti secara virtual live streaming pun, hanya menyaksikan lenggak lenggok para model dan penari. Area berikutnya adalah panggung ‘utama’ para artis. Memang bila merujuk pada tema, mesti tidak boleh ada satu alat musik pun di atas panggung selain Sasando.
Para artis yang bernyanyi pun mesti bernyanyi lagu daerah NTT, dan hanya diiringi oleh Sasando. Apapun alasnnya. Sasando saja. Hanya Sasando. Meski sifat musik adalah holistik, tetapi penulis yakin, tamu undangan terhormat dan juga ratusan warga Labuan Bajo, serta ribuan penonton virtrual, ingin menyaksikan bagaimanakah ansambel sejenis Sasando dikomposisi serta diaransemen dengan memperhatikan melodinya, ritmic filler-nya, melodic filler-nya, ataupun walking bass dan juga penataan aransemen homophone dan polyphone. Ketaatan seperti ini (satu jenis alat musik saja) mesti dibiasakan agar kesan para penonton bahwa itu adalah konser band lokal tidak terjadi, dan anak-anak NTT terbiasa dengan literasi musik NTT itu sendiri.
Area terakhir yakni area paduan suara, yang kelihatan diselip dan tidak punya ruang lagi. paduan suara sebenar nyabisa ditempatkan dibelakang panggung utama para artis, dengan ukuran panggung lebih tinggi dari area panggung artis. Ini akan memberikan satu garis visualisasi yang indah, sejauh penonton memandang, mulai dari jalan masuk, hingga area pertama para pemain sasando, sampai pada area terakhir panggung paduan suara.
Kurikulum Merdeka Belajar
Dalam helatan sejuta kisah tentang konser suara 1000 Sasando ini, sesungguhnya ada dua hal baik yang coba penulis petakan, yakni aspek edukasi (pendidikan) dan juga aspek sosial. Dikutip dari laman kurikulum.kemendikbud.go.id, karakteristik utama dari Kurikulum Merdeka, adalah: pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila
Projek penguatan profil pelajar Pancasila memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan, mengembangkan keterampilan, serta menguatkan pengembangan enam dimensi profil pelajar Pancasila. Melalui projek ini, peserta didik memiliki kesempatan untuk mempelajari secara mendalam tema-tema atau isu penting seperti gaya hidup berkelanjutan, toleransi, kesehatan mental, budaya, wirausaha, teknologi, dan kehidupan berdemokrasi.
Projek ini melatih peserta didik untuk melakukan aksi nyata sebagai respon terhadap isu-isu tersebut sesuai dengan perkembangan dan tahapan belajar mereka. Projek penguatan ini juga diharapkan dapat menginspirasi peserta didik untuk memberikan kontribusi dan dampak bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Bila ditelaah manfaat edukasi, sesungguhnya konser 1000 Sasando, khusus di Nusa Tenggara Timur, dapat menjadi satu sajian utama bangkitnya industri musik NTT yang memberi dampak holistic, bagi penataan kurikulum muatan lokal, pemajuan karakter, pemajuan industri kerajinan para pengrajin Sasando dan asesoris pakaian adat Rote, dan juga pemajuan literasi musik bagi pelajar dan musisi di NTT khususnya.
Dari perhelatan konser 1000 Sasando, pembentukan profil pelajar Pancasila dan spirit merdeka belajar, serta merdeka mengajar dapat terealisasi. Anak-anak Labuan Bajo pun berkesempatan untuk merdeka, dengan mencoba memainkan alat musik yang baru, yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumya. Menggunakan Ti’I langga (topi khas berantena) dan dibaluti sarung adat Rote. Begitu pun anak anak Rote dan Kupang, berkesempatan untuk berpetualang ke kota Super Premium itu. Aspek sosial lainnya terjalin ketika Kupang dan Labuan Bajo bertemu dalam satu panggung. Ada sukacita. Ada relasi, baik dengan sesama pelajar, sesama guru pendamping, sampai relasi bersama ‘orang tua asuh’, yang turut beri sejuta kenang dan ajaran untuk dibawa pulang; dari rumah yang ramah.
Apresiasi Setingginya untuk Para Penggagas Acara
Sasando, Rote, Kupang, Labuan bajo, semuanya tinggal kenang yang harus diulang dalam tiap pelajaran kehidupan, hari lepas hari. Untuk tetap menata dan menempatkan ‘hal keramat’ pada tempatnya, agar bisa memberi sejuta ruang edukasi bagi perkembangan dan proses pendidikan anak-anak Nusa Tenggara Timur, remaja harapan bangsa. (*)