Sebenarnya Natal itu sederhana saja, kala kita meninggalkan banyak teori yang menjelaskan sedemikian rupa sehingga makna Natal begitu sempit, dan hanya berputar di dalam lingkaran teori itu. Kita seperti dituntun untuk mengikuti sebuah teori, kemudian mendupainya dengan kemenyan argumentasi.
Natal itu sederhana saja, kita hanya dituntut untuk mengheningkan cipta akan kedatangan Sang Juru Selamat di Bethlehem. Kita kembali merayakan dan mengingat akan sosok Dia yang Maha Tinggi, yang rela turun ke dunia, menjadi manusia.
Proses mengheningkan cipta atau merefleksikan Natal itu sederhana saja. Marilah kita memulai dengan permenungan bahwa Ia lahir di sebuah Kandang Domba. Kandang adalah rumah untuk hewan-hewan, dan tentu kotoran dan bau kencing bertebaran ke mana-mana.
Namun, Sang Penyelamat, Raja dari segala raja, Raja yang Maha Tinggi, rela turun di tempat yang “hina” dan rendah itu. Ia tak luput dari aroma bau kotoran hewan, rumput-rumput kering; raja mana di dunia ini yang rela melakukan demikian? Atau manusia mana yang memilih dengan kehendak bebas untuk lahir di tempat yang paling hina?
Ia kemudian lahir sebagai manusia normal, sama seperti manusia; Ia marah, lapar, sedih, dan menangis. Walaupun sosok misteri tetap menjadi bagian bahwa Ia adalah Allah, namun sebagai manusia Ia sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa.
Dari kemanusiaan Yesus, kita bisa merefleksikan bahwa Ia dekat dengan kita, Ia ada di segala sisi kehidupan kita: dalam kelahiran hingga kematian, dalam kesedihan hingga Rahmat kebahagiaan, dalam katup mata saat tidur hingga kita kembali membuka mata dengan rahmat nafas yang baru. Oleh karena itu, kemanusiaan Yesus menarik kita untuk selalu dekat dengan dia karena ia ada untuk kita dalam segala sisi kehidupan kita, termasuk sisi yang sedemikian tersembunyi dan rahasia.
Begitulah Natal yang sederhana, kita hanya kembali mengingat bahwa memorial kelahiran Yesus adalah saat di mana Ia menjadi bagian dari kita, dan kita akan menjadi anak-anak dan sahabat-Nya. Sebagai sahabat, Ia rela melakukan apa pun untuk kita, asalkan kita tidak malu untuk meminta dalam bait-bait doa dan puisi jiwa.
Kelak kita akan tahu bahwa Ia rela melakukan apa pun hingga penebusan di Kayu Salib. Demi cinta kasih-Nya yang besar kepada kita, Ia rela lahir di kandang domba dengan bau kotoran hewan, dan pada akhirnya, Ia rela mati dengan cara yang paling hina, disiksa, dan diludahi.
Itu semua adalah cinta kasih-Nya yang besar kepada kita. Lantas, bagaimana cinta kasih kita kepada Dia?
𝗕𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮
Natal yang lebih sederhana adalah memaknainya bersama keluarga. Keluarga adalah tempat di mana kita bisa melewati natal begitu indah. Nikmatilah momen-momen indah itu.
Namun kala kita beranjak dewasa, situasi keluarga memang begitu pelik, ada benturan, tegangan dan pertengkaran. Keluarga yang sunyi seperti Bethlehem, menjadi luapan penuh amarah seperti Sodom dan Gomora.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa keluarga menjadi tempat baru persaingan adik-kakak memelihara ego? Mengapa perkelahian akan terus terjadi dan semakin menjadi-jadi?
Pertanyaan akan melahirkan jawaban jalan buntu: semakin kita bertanya semakin kita tidak mendapatkan jawaban. Begitulah fakta keluarga yang seolah-olah berat, terpaksa harus kita terima.
Natal yang sederhana adalah bersama keluarga. Namun apa yang terjadi kala keluarga sedang tidak baik-baik saja? Suasana seperti api yang membara?
Pada 12 Desember, 𝗣𝗮𝘂𝘀 𝗙𝗿𝗮𝗻𝘀𝗶𝘀𝗸𝘂𝘀 memberikan persiapan batin untuk Natal dari Basilika St. Petrus. “Apa yang bisa saya lakukan dengan benar?” Tanya Bapa suci kepada isi hatinya, kepada dirinya sendiri yang semakin tak berdaya oleh usia.
Bapa suci menjawab dengan lima poin. Kiranya poin tersebut bisa menjadi permenungan Natal yang sederhana.
Pertama, panggillah atau mengundang orang yang sendirian. Bisa juga kita mengunjungi mereka, memberi penghiburan. Tindakan sederhana itu adalah hiburan bagi hatinya yang kesepian.
Kedua, mengunjungi orang tua atau orang yang sakit. Natal bersama keluarga khususnya kedua orang tua adalah warna indah untuk natal. Mengunjungi orang sakti adalah kado natal; mereka akan mendapatkan kekuatan batin yang sulit dijelaskan kala kunjung kita seperti Santa Claus yang datang dengan tiba-tiba.
Ketiga, melakukan sesuatu untuk melayani orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Natal bisa menjadi momen berbagai, memberikan makanan kepada mereka yang kecil.
Keempat, mintalah pengampunan, saling memaafkan, dan bersihkanlah segala konflik atau masalah (termasuk lunasi utang). Poin ini adalah hanya dan satu-satunya jawaban untuk mengakhiri tegangan dalam keluarga. Dengan saling memaafkan, Natal akan menjadi “Kandang Domba” di rumah kita masing-masing, di dalam hati nan luhur.
Kelima, kembali dalam doa bersama Tuhan dan mintalah pengampunan atas dosa-dosa kepada-Nya.
***
Natal itu sederhana saja kala kita meninggalkan pelbagai teori, lalu sejenak merenung kata-kata Paus Fransiskus.
Saat ingin mengakhiri tulisan ini, saya baru menyadari bahwa tahun ini adalah tahun ke-7 saya tidak merayakan Natal bersama keluarga di kampung halaman, Munde Waerana.
𝐹𝑖𝑙𝑖𝑝𝑖𝑛𝑎, 𝐷𝑒𝑠𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟 2022.