Agar Hujan Tetaplah Hujan (Refleksi Hardiknas dalam Puisi “Hujan Khong Guan” Karya Joko Pinurbo)

0
117
Oleh Putra Niron, pegiat komunitas AMI Malaka, penulis buku puisi “Kami dan Perjamuan Terakhir”.

“Sesungguhnya
ia hanya takut
menjadi dewasa
sebab ketika dewasa
ia akan menafsirkan hujan
sebagai berkah
atau bencana,
padahal ia ingin
hujan tetaplah hujan.”

—Joko Pinurbo, Hujan Khong Guan (2019)

Pada setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai penghormatan atas perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan yang adil dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan yang humanis dan inklusif adalah landasan yang menjadi cita-cita Ki Hadjar, dan upaya untuk mewujudkan pendidikan seperti itu masih menjadi tantangan besar. Sebagai bagian dari refleksi kita pada hari yang penuh makna ini, mari kita menyelami makna yang terkandung dalam puisi Hujan Khong Guan karya Joko Pinurbo, yang menyentuh esensi dari pendidikan yang menghargai pengalaman dan perasaan manusia.

Pendidikan yang Menghargai Rasa: Menumbuhkan Empati dalam Proses Belajar

Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang mengembangkan budi pekerti, karakter, dan rasa empati pada setiap individu. Pendidikan seharusnya memfasilitasi perkembangan yang menyeluruh, baik dari sisi kognitif maupun emosional. Namun, dalam kenyataannya, sering kali pendidikan lebih terfokus pada hasil-hasil akademis dan keterampilan teknis yang terukur, tanpa memberikan cukup perhatian terhadap aspek-aspek psikologis dan sosial dari perkembangan anak.

Puisi Hujan Khong Guan menggambarkan ketakutan seorang anak ketika ia mulai dihadapkan pada dunia dewasa yang harus memberikan makna pada segala hal. Hujan, yang seharusnya menjadi pengalaman yang sederhana dan alami, tiba-tiba harus dipahami dalam kerangka yang lebih rumit—apakah itu berkah atau bencana? Ini adalah gambaran yang relevan dengan dunia pendidikan kita saat ini. Dunia pendidikan, yang seharusnya mampu memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan rasa dan pengalamannya, sering kali terjebak dalam pola-pola yang membebani mereka dengan berbagai pemahaman yang sudah ditentukan.

Merdeka Belajar: Upaya untuk Mengembalikan Makna pada Pendidikan

Program Merdeka Belajar yang digagas oleh Kemendikbudristek berusaha untuk mengatasi ketidakselarasan ini dengan memberikan kebebasan yang lebih besar bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Program ini berusaha menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif, menghargai keberagaman cara belajar, dan memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi potensi diri mereka.

Namun, perubahan ini tidak dapat terwujud dengan mudah. Tenaga pendidik, yang merupakan garda terdepan dalam implementasi program ini, memiliki tantangan besar dalam beradaptasi dengan paradigma baru ini. Mereka dituntut untuk tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi juga untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan lebih bebas dan kreatif. Tentu saja, ini bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat berbagai tantangan yang ada di lapangan, seperti terbatasnya fasilitas dan pelatihan yang tersedia.

Pengaruh Teknologi dalam Pendidikan: Harapan dan Tantangan

Pada era sekarang, teknologi, khususnya gawai dan internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, termasuk dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, teknologi memberikan kemudahan dalam mengakses informasi dan memperluas wawasan. Namun, di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak bijak dapat menimbulkan gangguan dan mengurangi fokus siswa terhadap pembelajaran.

Di wilayah perbatasan seperti Kabupaten Malaka, tantangan ini semakin terasa. Di daerah dengan akses internet yang terbatas, keberadaan teknologi justru bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun teknologi dapat memberikan peluang untuk pembelajaran jarak jauh, tidak semua siswa di daerah perbatasan memiliki akses yang memadai. Selain itu, kualitas jaringan yang buruk sering kali menjadi kendala besar dalam mengimplementasikan pembelajaran daring yang efektif.

Namun, teknologi juga bisa menjadi alat yang sangat berguna bagi para pendidik untuk mengembangkan metode pembelajaran yang lebih inovatif dan efektif. Pembelajaran daring, misalnya, dapat membantu mengatasi keterbatasan ruang kelas dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara mandiri. Tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan penggunaan teknologi dengan kebutuhan lokal dan memastikan bahwa semua siswa, termasuk mereka yang berada di wilayah perbatasan, bisa mendapatkan manfaat yang setara.

Pendidikan di Wilayah Perbatasan: Menjaga Keseimbangan antara Inovasi dan Tradisi

Di wilayah perbatasan seperti Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, pendidikan menghadapi tantangan unik. Ada sekolah-sekolah yang terletak jauh dari pusat pemerintahan dan minimnya akses ke sumber daya pendidikan, seperti internet dan fasilitas sekolah yang memadai, menjadikan pendidikan di daerah perbatasan sebagai tantangan besar. Namun, pendidikan di daerah ini juga memiliki potensi besar untuk menciptakan generasi yang mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai lokal sekaligus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Salah satu tantangan besar adalah bagaimana memanfaatkan teknologi untuk memperkaya proses belajar, tanpa mengabaikan pentingnya pengajaran yang berbasis pada kearifan lokal. Misalnya, mengenalkan anak-anak pada kekayaan budaya dan tradisi setempat seperti Akarbilan, makanan khas Malaka, yang sering kali terlupakan oleh generasi muda. Dengan mengintegrasikan teknologi dalam mengenalkan potensi lokal, pendidikan di daerah perbatasan bisa menjadi jembatan untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa kehilangan akar budaya.

Menghargai Peran Tenaga Pendidik dalam Proses Pembelajaran

Penting untuk diingat bahwa para pendidik adalah pihak yang memiliki peran sentral dalam menghadapi semua tantangan ini. Tenaga pendidik di daerah perbatasan, seperti di Kabupaten Malaka, harus dihadapkan pada tantangan besar, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga perbedaan budaya dan karakteristik lokal. Meskipun demikian, dedikasi mereka untuk mencerdaskan anak bangsa sangat luar biasa.

Mereka tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai agen perubahan yang membimbing anak-anak untuk dapat berkembang dalam dunia yang terus berubah. Untuk itu, pendampingan yang tepat bagi para pendidik sangat diperlukan, agar mereka dapat terus berkembang, mengadaptasi teknologi dalam pembelajaran, dan memberikan pembelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Merenung untuk Masa Depan Pendidikan yang Lebih Humanis

Hari Pendidikan Nasional adalah momen untuk merenung dan mengingatkan kita kembali pada tujuan utama pendidikan: mencerdaskan kehidupan bangsa. Puisi Hujan Khong Guan dari Joko Pinurbo memberikan kita pengingat yang indah bahwa anak-anak seharusnya bisa belajar dengan cara yang alami, penuh rasa, dan tanpa beban tafsiran yang memberatkan. Pendidikan kita harus mampu memberi ruang bagi anak-anak untuk berkembang sebagai individu yang utuh—bukan hanya dari sisi pengetahuan, tetapi juga dari sisi karakter dan rasa.

Melalui refleksi ini, mari kita semua, baik pendidik, orang tua, maupun pemerintah, bekerja sama untuk menciptakan pendidikan yang lebih humanis, yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Pendidikan yang mampu memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk merasakan dunia, mengeksplorasi potensi diri mereka, dan tetap berpegang pada nilai-nilai budaya yang memperkaya kehidupan mereka.

Referensi:

Joko Pinurbo, Perjamuan Khong Guan, 2019.

Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan, Yogyakarta: Taman Siswa, 1935.

Halaman Utama

https://www.kemdikbud.go.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini