Jalan Pagi: Menengok Rumah Belajar IMAPEL

0
266
Penulis ketika tampil dalam salah satu kegiatan IMAPEL Kupang

Sore hari pada 24 November 2021 yang lalu, hp saya berdering, ada telepon dari nomor baru. Saya tidak sempat mengangkatnya, lalu kemudian ada WA yang menjelaskan kalau dia adalah Ketua IMAPEL Kupang.

IMAPEL Kupang, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pelajar Lembor yang kuliah di Kota dan Kabupaten Kupang. Bila ada yang belum tahu, Lembor itu nama salah satu kecamatan di Manggarai Barat. Dan saya juga berasal dari tempat yang dikenal sebagai lumbung padi NTT itu.

Saya kembali teringat ketika datang pertama kali di Kupang untuk kuliah, pertengahan 2008 silam. Dalam benak saya waktu itu, kuliah hanya identik dengan urusan belajar. Selebihnya saya tidak tahu apa-apa.

Setelah berapa bulan kuliah, saya akhirnya bertemu dengan kakak kelas sewaktu SMP, dan saya biasa memanggilnya, Kae Ronal Jehadun. Waktu itu ia datang ke kos-kosan saya, menjelaskan tentang IMAPEL, lalu mengajak saya untuk bergabung. Saya yang belum paham apa-apa hanya bisa mengangguk.

“Saya pinjam ini komputer dulu ko…,” katanya kemudian, “saya mau edit proposal.”

Saya merasa kata “proposal” waktu itu sangat keren. Supaya saya bisa tahu seperti apa yang namanya proposal, maka saya nyalakan komputer untuk ketua IMAPEL Kupang itu.

Sembari ia mengentik dan mengedit, saya ikut membaca sepintas. Isinya kurang lebih meminta bantuan ke Pemprov NTT. Pada lembar rinciannya tertera ada permintaan beras, anakan pohon, permohonan menggunakan bus, dan entah apa lagi. Sebagian sudah saya lupa.

“Kae, mereka kasi betul nanti ko?” tanya saya, penasaran.

“Iya e, makanya kau harus ikut organisasi, biar tahu buat proposal,” kurang lebih seperti itu jawabannya saat itu.

Saya sangat kagum, ternyata organisasi itu penting dan proposal adalah doa yang bisa mengabulkan permohonan. Maka ketika Kae Ronal mengundang ke pertemuan organisasi IMAPEL pada minggu berikutnya, saya pastikan untuk hadir.

Kami bertemu di halaman kampus Unika Widya Mandira yang ada di bilangan Merdeka. Begitu tiba di tempat parkir, ternyata Kae Ronal dan beberapa orang sudah duduk berkumpul di pinggir pembatas lapangan basket. Di situlah apa yang disebut tempat rapat itu dilaksanakan; itulah kantor besar IMAPEL-Kupang.

Meski duduk tidak beraturan di tempat terbuka seperti itu, rapat tetap dijalankan dengan resmi. Ada agenda rapat yang dibacakan di awal, lalu meminta persetujuan pada audiens yang berjumlah 10 sampai 15 orang. Ketukan jari pemimpin rapat pada sebuah buku atau kertas menandakan apa yang dibicarakan sudah sah.

Itulah gambaran umum kondisi IMAPEL-Kupang kala itu. Tempat pertemuan kami berpindah-pindah. Selain di emperan kampus unika, kadang kami duduk di bawah pohon tuak di tepi pantai Pasir Panjang, di Gua Lourdes, di kos-kosan salah satu anggota, dan di mana saja sesuai kesepakatan.

Meski terkesan sangat sederhana, kami tetap berusaha mengikuti cara-cara orang lain menjalankan organisasi. Beragam kegiatan yang berhasil kami jalankan. Memang tidak heboh sekali, hanya kegiatan kecil, tetapi kami yakin itu tetap berdampak. Setidak-tidaknya berdampak buat kami sebagai laboratorium pembelajaran kehidupan mahasiswa dan berorganisasi.

Setelah masa kepemimpinan Kae Ronal, saya juga sempat mengikuti era kepemimpinan Kae Onsi Mato, Charles Hadi, dan Elvis Sutrisno. Setelah itu saya tamat kuliah, dan tidak pernah tahu banyak lagi dengan salah satu “rumah belajar” yang ikut memberi pengalaman dan pencerahan tentang banyak hal buat saya.

Sepanjang masa kuliah di Kupang, saya terlibat dalam organisasi mahasiswa ekstra kampus hanya di IMAPEL. Memang dalam aktivitas organisasi tersebut, saya sempat diajak mengikuti RUA (Rapat Umum Anggota) di organisasi yang jauh lebih besar, yaitu Permabar (Persatuan Mahasiswa Manggarai Barat).

Waktu itu Permabar baru saja dibentuk, dan tampaknya Kae Arie Samsung sangat bersemangat untuk menjadi ketua. Maka kami pun diundang mengikuti RUA. Sebagai mahasiswa baru yang belum tahu apa-apa tentang organisasi, saya tentu saja kaget ketika melihat suasana rapat yang begitu riuh. Peserta sangat aktif, mereka sangat lantang memberikan interupsi pada pemimpin sidang. Ramai sekali, dan tampaknya mereka tidak mau saling mendengarkan. Mereka bicara terlalu buru-buru. Ingin didengarkan, tetapi tidak sabar mendengarkan.

“Ini namanya dinamika, Adek…,” begitu penjelasan salah satu kakak senior.

Saya mengangguk, pura-pura mengerti. Semenjak itu, saya berjanji pada diri sendiri, tidak akan datang lagi pada rapat yang sepertinya tidak mau saling mendengarkan itu. Saya pun tidak punya pengalaman banyak tentang berorganisasi gara-gara memelihara pemikiran seperti itu.

Apalagi di kampus keperawatan, saya dituntut belajar banyak hal. Harus hafal anatomi fisiologi tubuh yang rumitnya minta ampun, dan tuntutan tugas kuliah yang berjibun. Karena itu, masa kuliah saya hanya berfokus pada urusan belajar secara formal, dan agak mengabaikan pembelajaran informal yang ada di organisasi mahasiswa—khususnya organisasi ekstra kampus. Kalau intra kampus, saya kira saya tidak terlalu buruk, setidaknya saya pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Akper Maranatha Kupang periode 2010/2011.

Setelah tamat kuliah, saya memang agak menyesal, kenapa dulunya kurang aktif berorganisasi. Meski begitu, saya tetap bersyukur pernah belajar di IMAPEL-Kupang. Setelah kuliah dan dianggap sebagai “Kakak Alumni”, IMAPEL pernah mengundang saya untuk mengisi salah satu acara pada kegiatan MPAB (Masa Penerimaan Anggota Baru), kalau tidak salah ingat pada tahun 2017. Waktu itu masa Asto Ance menjabat sebagai ketua IMAPEL, dan saya diminta membawakan materi tentang HIV/AIDS.

Saat itu saya dipasangkan dengan Nana Rian alias Flavianus Riantiarno. Ia teman semasa kuliah di STIKES Maranatha Kupang, dan dulu sama-sama pernah belajar di IMAPEL. Setelah itu, kami melanjutkan kuliah lagi. Nana Rian di Universitas Brawijaya, Malang dan saya di Unair Surabaya. Karena itu, selama berapa tahun terakhir, kami tidak pernah berhubungan dengan IMAPEL lagi, hingga pada sore hari 24 November 2021 yang lalu.

Penulis memberikan apresiasi berupa buku karyanya kepada salah satu peserta kegiatan IMAPEL Kupang

Setelah tahu yang telpon sebelumnya itu ketua IMAPEL, maka deringan berikutnya langsung saya angkat. Ia memperkenalkan diri sebagai ketua yang baru, namanya Iron. Iron menjelaskan kalau IMAPEL akan menyelenggarakan MPAB, dan meminta kesediaan saya untuk mengisi salah satu acaranya.

Saya langsung mengiyakan meski belum tahu akan bicara tentang apa, karena menurut saya, itu satu-satunya cara yang baik berterima kasih pada IMAPEL yang telah mengajarkan banyak hal.

Setelah pembicaraan singkat via telepon, panitia pun mengirim undangan dan informasi yang lebih detail. Awalnya saya dijadwalkan tanggal 27 November, tetapi berubah tiba-tiba, dimajukan tanggal 26 November jam 15.00. Pada waktu yang sama sebenarnya ada janjian dengan teman-teman di Komunitas Secangkir Kopi, Kupang. Tetapi saya lebih memilih hadir ke kegiatan IMAPEL.

Sebelum berangkat, saya menghubungi Nana Rian, sebab saya yakin ia juga diundang. Benar. Sebagaimana dulu pada tahun 2017, kami juga dipasangkan satu paket dalam kegiatan MPAB 2021.

Kami berencana berangkat sebelum jam 15.00, tetapi hujan tiba-tiba datang. Setelah agak reda, kami berangkat ketika waktu sudah hampir jam 16.00. Sebelum masuk ke Bimoku, hujan lebat turun lagi. Kami menepi di salah satu kios hingga jam 17 lewat.

Kami teruskan perjalanan, dan berhenti di cabang Pantai Sulamanda, titik janji bertemu dengan panitia. Dari sana kami teruskan perjalanan ke timur, kemudian belok ke kanan, lalu masuk terus ke dalam hingga tiba di sebuah tempat yang bernama Oehau.

Itu adalah perkebunan milik biara SVD. Di sana ada sebuah rumah tunggu yang dikelilingi hutan dan tanaman perkebunan. Tempat yang sunyi, tetapi sore itu diramaikan oleh adek-adek IMAPEL. Ada badan pengurus dan anggota aktif, serta calon anggota yang sedang dipersiapkan agar mengenal organisasi dengan baik.

Saya dan Nana Rian disambut ketua dan badan pengurusnya. Saya perhatikan mereka agak beda, ada topi baret di kepala. Ketua dan beberapa orang menggunakan jas hijau yang ujungnya dilapisi kain songke Manggarai, lalu di bagian dada tertulis nama IMAPEL. Mereka juga memakai, entah apa namanya, intinya mereka kalungkan benda semacam pita itu di leher.

Saya paham itu adalah aksesoris organisasi, tetapi saya kurang tahu nama dan arti dari atribut tersebut. Saya juga enggan bertanya, biar tidak terlalu kentara kalau agak buta dengan hal-hal semacam itu.  Tetapi saya kagum, IMAPEL sudah sangat maju. Selain indikator adanya aksesoris resmi tersebut, anggotanya juga terbilang sangat banyak.

“Ada 70-an orang yang mendaftar, Kae,” demikian penjelasan Nana Iron, ketua IMAPEL saat ini, “tapi yang sempat hadir ini ada 45 orang.”

Dulu, kami tidak sebanyak itu. Kalaupun sebenarnya banyak, kalau ada rapat, palingan yang hadir antara 10 – 15 orang. Tunggu ada pesta pelantikan baru ramai, tetapi kemudian sepi lagi ketika hendak menjalankan program kerja.

Dari yang direncanakan jam 15.00, saya dan Nana Rian baru diberi kesempatan berbicara menjelang pukul 19.00. Kami ditemani dua orang moderator, tetapi saya hanya mengingatkan nama moderator yang memandu sesi saya, Enu Fitri namanya. Ia mahasiswa semester 5 jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Undana.

Nana Rian diberi kesempatan pertama, ia membahas tentang manajemen konflik. Ia menjelaskan kalau dalam setiap relasi, apalagi dalam organisasi seperti IMAPEL, pasti berhadapan dengan banyak konflik. Konflik menjadi sangat lumrah, tetapi sebaiknya dikelola atau diantisipasi agar tidak membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Ketika saya diberi kesempatan, saya bilang ke calon anggota baru IMAPEL itu, bahwa Nana Rian yang barusan bicara itu ahli keperawatan jiwa. Konflik dan hal yang berkaitan dengan amarah itu sangat erat hubungannya dengan masalah kejiwaan, karena itu sangat pas kalau ia bicara topik tersebut.

Sedangkan saya, kayaknya antara topik yang diberikan dengan praktik yang saya jalankan agak berseberangan. Saya diminta berbicara tentang Kemahasiswaan dan Tanggung Jawab Sosial, tetapi, sebagaimana yang saya gambarkan di bagian awal, saya kurang aktif dalam kegiatan kemahasiswaan ketika kuliah dan agak kurang peduli dengan masalah sosial.

Tetapi karena sudah dipercayakan bicara, maka saya ceritakan saja pengalaman saya apa adanya. Setelah bercerita saya bilang, itu adalah contoh buruknya. Kamu bisa belajar dari hal buruk untuk menjadi lebih baik.

Tanggung jawab sosial mahasiswa memang selalu dikaitkan dengan perjuangan mahasiswa dulu pada saat masa reformasi 98. Mahasiswa kemudian dianggap sebagai agen perubahan; kaum intelektual yang berpihak pada masyarakat; pembela rakyat kecil; dan masih banyak sebutan lain yang menunjukkan besarnya tanggung jawab sosial mahasiswa.

Menurut saya, mahasiswa masa kini sudah mendapatkan banyak kebebasan berkat perjuangan kakak-kakak mahasiswa yang dulu. Kita bisa mengikuti cara mereka dalam memperjuangkan sesuatu, tetapi bisa juga dengan cara beda yang lebih kreatif.

Mahasiswa saat ini bisa berdampak secara sosial dengan berbagai cara. Di kampus, misalnya, sudah difasilitasi kegiatan merdeka belajar atau pengabdian masyarakat. Ada juga yang mengikuti berbagai komunitas, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) atau organisasi yang semuanya pasti bermuara pada urusan sosial masyarakat.

Tetapi, hal yang mesti disadari pula, tanggung jawab sosial itu batasannya tidak jelas. Ia bisa sangat luas, mencakup semua urusan hidup manusia. Apakah kita sebagai mahasiswa harus bisa mengatasi semuanya?

Saya menyarankan kepada mereka agar fokus saja pada isu sosial yang sesuai dengan minat dan keahlian masing-masing. Kalaupun semasa kuliah belum bisa memberi dampak apa-apa, saya kira tidak masalah. Belajar saja dulu. Saya yakin, ada masanya kepekaan sosial itu akan tumbuh dan kemudian menjadi ciri khas semua manusia.

Setelah berbicara “omong kosong” itu, kami sempat berdiskusi. Pesertanya cukup antusias. Dan untuk penanya pertama, namanya Enu Vivi, saya berikan hadiah buku pertama saya, “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat.”

Vivi dan semua anggota baru IMAPEL itu pasti memberi dampak yang besar untuk kemajuan bersama. Saya sempat bilang, “Di antara kalian, pasti ada yang akan menjadi pemimpin, Bupati Mabar, misalnya.”

Saya berani berkata begitu, sebab mereka sudah memutuskan mau menimba banyak ilmu dan pengalaman di “rumah belajar” IMAPEL Kupang. (Saverinus Suhardin/ rf-red-st)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini