Umato’os, rumah kebun, demikian arti kata yang saya pahami dalam bahasa Tetun, bahasa daerah Malaka. Desa bernama Umato’os ini berada di bagian barat Kabupaten Malaka, itulah tempat kelahiranku. Di daerah terpencil ini, kami ada bersama, tempat berkebun. Tempat darinya kami bekerja dan menikmati hasil bersama pula. Desa yang indah, meskipun hanya bersamanya selama 2 tahun. Selanjutnya, dari Umato’os pindah ke smart city, kota metropolitan. Waktu itu ayahku diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di salah satu sekolah di kota Kupang.
Kupang, sering disebut Kota Karang, juga kota multikultur dan dimeterai sebagai Kota KASIH. Di kota toleransi ini saya memulai petualangan intelektual. Mengenyam pendidikan dari TK hingga SMK di kota Kupang, bukanlah hal mudah apalagi berada sebaya dengan strata sosial. Syukurlah orang tuaku, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya, mengawal persekolahan kami enam bersaudara hingga selesai. Mereka sejoli yang luar biasa bagiku. Tegas dalam prinsip, santun dalam cara, dan tekun dalam doa. Warisan teladan yang kami peroleh.
Setelah menamatkan SMK, saya bingung dengan pilihan hidup: menikah? bekerja? kuliah? Timang menimang berkanjang dalam doa. Waktu itu saya sudah bergabung dalam organisasi kategorial Gereja kerasulan awam bernama Legio Maria. Di sini terbentuk jiwa militansi melalui kunjungan doa bersama para legioner (prajurit Maria) dan biarawan-biarawati. Rasa tertarikku pada jubah biarawati mulai tumbuh. Pada Juli 1997, aku memberanikan diri menulis lamaran ke kongregasi suster SSpS. Belum tahu sih apa itu SSpS, tapi niat hati demikian. Pilihan ini mungkin karena suster-suster SSpS adalah para pengajarku sewaktu di SMPK St. Theresia Kupang.
Setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1997, lamaranku diterima. Dengan rasa bahagia, mama bersama adik kecilku menghantar ke Halilulik, rumah induk SSpS Timor. Berada di biara terasa nyaman tenang, senang, dan bahagia, apalagi berada dalam keheningan. Tahun pertama (1997/1998) sebagai Aspiran di Besikama jumlah kami 42 orang dari berbagai daerah sedaratan Timor. Di tempat ini, kami belajar mengenal apa itu Kongregasi SSpS dan belajar hidup sesuai spiritualitas kongregasi serta aturan kongregasi. Disiplin menggunakan waktu, tekun di dalam doa, menggunakan brevir, bernyanyi, mengatur liturgi ibadat dan Ekaristi, mengatur dan mengelola rumah tangga dalam hidup membiara. Demikian kami ditempa.
Di tahun kedua masa Aspiran (1998/1999), sebagai Postulan, masih tetap di tempat yang sama, Besikama. Ada 5 saudariku yang dipulangkan karena sakit. Saat itu, Desember 1999 terjadi banjir besar di Besikama, kami harus berada dalam air beberapa hari lamanya. Kami dipindahkan ke Halilulik untuk melanjutkan pembinaan sebagai suster Novis SSpS. Sebelumnya, kami diijinkan berlibur selama 2 minggu bersama orang tua. Bahagia bisa bertemu mereka setelah 2 tahun.
Masa liburan berakhir dan kembali ke Halilulik. Masa Novisiat dijalani selama 2 tahun. Pada tahun pertama (1999/2000), masa awal sebagai suster Novis SSpS. Betapa bahagianya setelah menerima Jubah Putih itu. Sungguh menjadi mempelainya Tuhan. Masa ini menjadi masa pendalaman hidup rohani. Masa di mana hati makin menyatu dengan Tuhan di dalam doa dan keheningan. Pada tahun kedua masa Novisiatku (2000/2001), kami digabungkan bersama para frater Novisiat SVD di Nenuk dalam kegiatan lokakarya memperdalam Spiritualitas Kongregasi SVD (Societas Verbi Divini atau Serikat Sabda Allah) dan SSpS (Servarum Spiritus Sancti atau Misionaris Abdi Roh Kudus), selama 2 minggu bersama para Imam SVD.
Giat lokakarya mengajarkan bagaimana meditasi, kontemplasi, doa dan ekaristi bersama, sharing, sangat mendukung dan menguatkan hati untuk menjalani panggilan awali ini yang belum apa-apa ini. Sangat mendukung hati yang sedang terlena dalam Kasih Tuhan. Moment indah dan menyenangkan, pengalaman penuh kenangan cinta. Dua pekan masa pendalaman di mana aku sungguh mengalami kehadiran Tuhan dan kasih-Nya yang selalu ada, dalam alam ciptaan dan dalam setiap perjumpaan. Kasih-Nya adalah kekuatan untuk menjawabi panggilan-Nya. Dibahasakan oleh santo Arnoldus Janssen: “Hiduplah Allah Tritunggal dalam hati kita dan dalam hati setiap orang,” termasuk alam semesta ciptaan-Nya.
Dua minggu berlalu, kami kembali ke rumah Novisiat SSpS Halilulik. Kembali menjalankan rutinitas seperti biasanya. Saat itu ada 19 orang yang memasuki masa Novisiat tahun kedua (2001/2002). Pendalaman spiritualitas tetap berlanjut hingga pada akhirnya, pada tanggal 08 Desember 2002, aku bersama teman yang lain diterima berkaul pertama yang ditandai dengan penerimaan kalung Salib. Kami mengucapkan kaul – janji yang teguh di hadapan Tuhan unuk hidup miskin, taat, dan selibat. Selanjutnya saya ditempatkan di Timor Leste
Januari 2003, aku menuju Timor Leste, misi pertamaku. Di sanalah tempat awal aku berkarya, dalam pelayanan ibadat di stasi, bersama anak-anak dalam kegiatan SEKAMI, Orang Muda Katolik dalam kegiatan katekese, paduan suara, dan karya pelayanan kepada para jompo dan orang-orang sakit. Pelayanan ini sebagai formasi membentukku menjadi pribadi yang dewasa. Dewasa dalam berpikir, berkata dan bertindak. Kasih Tuhan yang menyanggupkanku. Kasih itu selalu menjadi tolak ukur untuk melayani di mana pun dan dalam situasi apapun. Aku menjalani rutinitas kebiaraanku sepeti biasanya hingga akhir tahun 2003.
Awal tahun 2004, aku dipanggil kembali rumah induk Halilulik dan melayani di panti jompo. Mengalami kebahagiaan bersama para suster jompo menjadi hal yang istimewa. Beberapa bulan di panti jompo, lalu dikirim ke misi kedua di Alor. Tepatnya di stasi Sidongkomang, yang sekarang telah menjadi salah satu paroki di Alor. Biara kami tepat berada di antara rumah-rumah penduduk. Jadi kedekatan dengan umat sangat menyenangkan. Doa dan Ekaristi bersama, bernyanyi bersama, melakukan aktivitas rumah bersama, hingga pelayanan orang-orang sakit. Kasih Tuhan sungguh terasa dalam kebersamaan serasa saudara. Rutinitas tetap berjalan seperti biasanya.
Pada tanggal 12 November 2004, terjadi gempa bumi di Alor dan di Sidongkomang, Gereja hancur, begitu pun rumah penduduk mengalami kerusakan. Saat itu pukul 05.26 wita. Kami sedang laudies-ibadat pagi bersama dalam komunitas. Kami kaget dan tidak bisa keluar. Sebuah bongkahan tembok jatuh tepat di atas pahaku. Sakit, menahannya dengan diam. Selama beberapa hari diobati dan mengalami perubahan. Saat itu persiapan untuk menerima kaul ketiga pada desember 2004. Provinsial SSpS Timor datang mengunjungi. Dan aku dipanggil untuk bertemu. Dalam pertemuan itu, pokok utamanya adalah aku diterima atau tidak diterima untuk membaharui kaul.
Desember 2004, aku kembali ke rumah orang tuaku, uma ita. Ada banyak hal baik yang bisa kulakukan di sini. Tuhan tidak hanya ada dalam biara. Tuhan ada dalam diri setiap orang yang dijumpai. Dan untuk dekat dengan Tuhan, ada banyak jalan. Awal 2005, aku berniat untuk kuliah. Saat itu Provinsial SSpS datang menemuiku di rumah. Aku dianjurkan untuk mengajar di sekolah Yayasan di Atambua, TKK Kuntum Bahagia. Selama setahun lebih, aku berada di sekolah itu. Berada bersama anak-anak menjadi satu kebahagiaan tersendiri. Mencintai dan berbagi dalam ketulusan, menguatkan awal langkahku untuk berkarir sebagai seorang guru dan mengarahkan langkahku kepada jalan yang Tuhan kehendaki bagiku.
Dalam pertengahan tahun 2006, dari Atambua aku izin untuk kuliah di Kupang. Awalnya ingin berkuliah di PGSD Undana, tapi pendaftaran sudah ditutup ketika itu. Akhirnya aku berlabuh di kampus STIPAS KAK. Setelah melewati tes dan wawancara, aku diterima untuk kuliah. Senangnya kegiatan pastoralku saat di biara bisa kulanjutkan lewat perkuliahan ini. Empat tahun berlalu dan diwisuda pada Desember 2010 sebagai seorang guru pendidikan agama Katolik. Dan kado wisudanya, aku bergabung dalam koor Paduan Suara Natal Nasional di Jakarta. Bahagianya menikmati berkat Tuhan yang mengalir setiap saat.
Awal tahun 2011, aku berusaha mencari tempat mengajar. Tempat pertama yang ada di hati cuma SMP Negeri 5 Kupang. Maka dengan yakin aku mendatangi sekolah ini. Alhasil, setelah bertemu kepala sekolah, aku diterima dengan baik di sekolah ini. Sekolah ini menjadi ladang karyaku berbagi kasih. Saya pengajar matapelajaran pendidikan agama katolik dan budi pekerti. Skolah ini yang bersebelahn jalan dengan kantor walikotamadya Kupang-Rumah Induknya warga kota Kupang. Semua yang kujalani ada dalam penyelenggaraan Tuhan. Aku yakini itu. Berbagi kasih kepada siapa pun yang kita jumpai dalam kehidupan kita, tanpa pilih kasih karena kita semua adalah saudara dari Bapa yang satu dan sama. Aku tetap mengasihi-Mu, sekalipun aku bukan lagi seorang suster.
Spiritualitas kongregasi dan teladan St. Arnoldus Janssen serta spritualitas panji Maria tetap hidup di hatiku. Ini disariwartakan dalam keseharianku sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam pengabdianku di sekolah bersama anak didik; sebagai aktivis Gereja-Paroki: sebagai pemazmur, pelatih dan anggota kor, katekis, sebagai legioner Maria; dan sebagai umat Allah dan masyarakat yang taat pada pemerintah setempat. Pelayanan di Gereja dan masyarakat untuk memuji dan memuliakan kebesaran kasih Tuhan.
Menutup semuanya doa terucap dari Uma Maromak – dari Rumah Tuhan, kapela kecil di sudut kota, Stasi St. Maria Fatima Perumnas: “Terima kasih Tuhan untuk anugerah terindah-Mu. Untuk keluargaku, untuk semua yang mengasihiku dengan caranya masing-masing. Untuk semuanya yang telah membentuk dan membuat aku mengerti akan kasih Tuhan. Dan pada akhirnya aku memahami apa yang Engkau inginkan dariku. Terima kasih untuk segala yang indah yang Kau buat untukku”. Kini aku bersenyawa dengan para pegiat membangun NTT melalui pastoral pendidikan dan pastoral Gereja. Inilah misiku di rumah yang baru. (Editor: Patrisius Leu, S.Fil./rf-red-st)