Hadzarmawit Netti Tekun Membaca dan Menulis di Usia 83 Tahun

0
201
A. G. Hadzarmawit Netti (berkemeja dan bertopi) dan Robertus Fahik (berkaos hitam) pose bersama usai acara “Bincang-Bincang Sastra Akhir Tahun", Sabtu (23/12/2023) di Taman Budaya Gerson Poyk, Kupang, NTT. (Foto: Yosi Bataona/SekolahTimur.com)

Kota Kupang, SEKOLAHTIMUR.COM – Lelaki berusia 83 tahun itu beranjak dari kursinya. Mengenakan kemeja lengan panjang dan topi flat cap kesukaannya, ia menuju salah satu sudut panggung utama aula Taman Budaya Gerson Poyk dan segera menyapa para hadirin. Sabtu (23/12/2023) malam itu, sejumlah komunitas sastra di Kupang menggelar sebuah acara bertajuk “Bincang-Bincang Sastra Akhir Tahun Bersama A. G. Hadzarmawit Netti, Sang Penulis yang Tetap Produktif di Usia 83 Tahun”.  

“Saya tidak tahu bahwa ada acara seperti ini. Ibu Mezra (Mezra E. Pellondou) diam saja. Dia hanya katakan, ‘jemput Opa untuk jalan-jalan ke luar’. Tahu-tahu begini, luar biasa,” ujar lelaki bernama lengkap Almodat Godlief Hadzarmawit Netti.

“Dari kekecilan, dari keterpencilan… Terima kasih banyak Tuhan. Terima kasih banyak,” lanjutnya dengan suara gemetar dan mata berkaca-kaca sambil sedikit menoleh ke arah spanduk di belakang panggung yang bertuliskan namanya.

Pria kelahiran Soe (Timor Tengah Selatan, NTT) 9 Oktober 1940 ini pun lantas berkisah perihal pendidikan dan kepenulisannya. “Saya punya pendidikan tidak betul. Tamat SR (Sekolah Rakyat) di Kefamenanu, masuk SMP Sint Xaverius Kefamenanu tahun 1954, tiga bulan dipecat dengan tidak hormat karena melawan guru,” kisah lelaki yang akrab disapa Opa Netti.

Usai pengalaman pahit itu, ia memutuskan untuk berkelana ke beberapa kota di pulau Timor hingga ke Kupang pada tahun 1956. Ia bahkan sempat ke Ende (Flores) pada tahun 1957 sebelum akhirnya kembali ke Kupang tahun 1958. Pada tahun yang sama ia melanjutkan pendidikannya di SMP Remaja Airmata Kupang dan tamat pada tahun 1959.

“Saya senang belajar sejarah, bahasa. Bahasa Inggris itu, dulu itu anak-anak bilang, ini kamus berjalan. Tanya kata-kata apa saja, saya tahu, karena hafal. Apalagi kata bahasa Indonesia,” ujar suami dari Maria Magdalena Nge menyebut bidang studi yang digemarinya.

Tamat SMP, Netti muda mengaku tergoda mengikuti seleksi Tenaga Bantuan Operasi (TBO) Kompi IV Batalion 712 Wira Buana Kupang untuk sebuah operasi menumpas pemberontakan Kahar Muzakar di Palopo, Sulawesi Selatan. Berbekal fisik dan motivasi yang kuat, ia pun lolos seleksi dan terlibat dalam operasi tersebut bersama lebih dari 20 rekannya.

“Di sejarah kan saya baca, Kahar Muzakar ini luar biasa. Saya bilang, dia punya bajingan (kehebatan) ini sampai di mana, saya mau cari tahu,” tutur Opa Netti mengenang kisah awal keterlibatannya dalam operasi militer di Palopo.

Ia mengaku, selama menjalankan operasi militer dalam kurun waktu tujuh bulan tersebut, ia selalu menyempatkan diri membaca buku-buku yang dibawanya seperti Kamus Bahasa Inggris, Tata Bahasa Indonesia, Sastra Indonesia, dan Sejarah Nasional Indonesia. Kecintaannya akan buku membuatnya menolak bergabung bersama rekan-rekannya dalam pendidikan dan pelatihan dasar militer untuk menjadi prajurit TNI-AD dan memilih melanjutkan pendidikan di bangku SMA.

“Kawan-kawan pergi di Bali untuk naik pangkat jadi tentara, saya tarik diri karena mau sekolah,” kata ayah dari Pietro T. M. Netti dan Rhymma B. Netti.

Pose bersama A. G. Hadzarmawit Netti, Kepala Taman Budaya Gerson Poyk, dan peserta kegiatan dari sejumlah komunitas di kota Kupang. (Foto: Yosi Bataona/SekolahTimur.com)

Tahun 1960 ia pun terdaftar di SMA Negeri Kupang sebagai siswa Jurusan Sastra. Prestasinya yang menonjol di bidang bahasa dan sastra Indonesia mengantarnya menjadi Ketua Persatuan Sastrawan Muda (PERSADA). Ia juga mendapat kepercayaan untuk mengajar bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan Sejarah di SMP PGRI dan SMP Taruna di kota Kupang.

Selama duduk di bangku SMA, Opa Netti mengaku mulai mengembangkan kemampuan menulisnya dengan menghasilkan tiga buah manuskrip puisi namun hilang pada tahun 1963 yang membuatnya gagal terkenal sebagai penyair. Ia juga menulis artikel dan kritik sastra yang disiarkan bersama puisi-puisinya dalam acara Serambi Sastra PERSADA SMA Negeri Kupang di RRI Stasiun Kupang selama dua kali dalam sebulan.   

Buku Perdana Tahun 1977

Tahun 1963 Opa Netti tamat dari bangku SMA. Itu sekaligus menjadi jenjang pendidikan formal terakhir bagi penatua di Jemaat Gunung Sinai Naikolan Kupang ini. Tamat SMA, ia memutuskan untuk berkelana ke Pulau Rote dan mendirikan SMP Swasta TRIKORA sambil terus mengasah kemampuan menulisnya secara autodidak. Di pulau terselatan Indonesia ini pula nama Hadzarmawit Netti muncul sebagai penulis di tingkat nasional setelah pada tahun 1977 buku perdananya berjudul Kristen dalam Sastra Indonesia diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia Jakarta.

Usai buku tersebut terbit, Opa Netti tetap tekun membaca dan menulis dari ruang sunyinya. Sejak tahun 1980-an hingga kini karya tulisnya pun kerap muncul di berbagai media cetak lokal dan nasional seperti Majalah BUSOS Surabaya, Mingguan ASAS Surabaya, Majalah BAHANA Yogyakarta, Majalah Oikumene PGI Jakarta, Buletin Akademi Leimena Jakarta, Mingguan DIAN Ende, Harian Nusa Tenggara Denpasar, Surat Kabar Harian Pos Kupang, NTT Ekspress, Timor Ekspress, dan Flores Pos serta di blog pribadinya bianglalahayyom.blogspot.com.

Selain buku Kristen dalam Sastra Indonesia, hingga kini Opa Netti telah menghasilkan sejumlah buku di antaranya, Kupang dari Masa ke Masa (1997), Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Timor Tengah Utara Memasuki Abad ke-21 (Kupang, 2010), Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (2010), Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (2011), Bilangan Super dalam Konteks Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao (2012), Natal dan Paskah dalam Kontemplasi Penyair (2013), TAO Tentang Penyelamatan oleh Allah melalui Kelahiran, Kematian, dan Kebangkitan YESUS (2014), dan Petualangan Nelayan Tradisional Indonesia ke Perairan Australia dan Pulau Pasir dari Masa ke Masa (2017). Selain itu, mantan wartawan Mingguan ASAS Surabaya dan koresponden Majalah BAHANA Yogyakarta tahun 1989 ini pun menulis sejumlah naskah buku yang belum diterbitkan.

Beberapa di antara buku karya Opa Netti sukses masuk dalam Virtual International Authority Files (VIAF) dan tersimpan di lebih dari 40 perpustakaan di luar negeri serta dikomentari dalam puluhan bahasa asing. Nama A. G. Hadzarmawit Netti pun tercatat di WorldCat.Identities dan BookerWorm.com: The Home of Great Writing bersama nama-nama besar penulis nasional dan dunia.

Konsisten Menulis dan Punya Gaya Khas

Dalam pandangan Yohanes Sehandi, pengamat sastra dari Universitas Flores Ende, Opa Netti adalah seorang pemikir sekaligus kritikus dalam bidang sastra yang menunjukkan konsistensi dalam menulis dan mempunyai gaya khas dalam setiap tulisannya.

“Seorang pemikir dalam dunia sastra sekaligus kritikus sastra. Pemikiran beliau yang kuat itu tentang unsur kristen dalam sastra Indonesia. Tahun 1977 beliau menerbitkan sebuah buku berjudul Kristen dalam Sastra Indonesia,” ujar Yohanes Sehandi dalam acara malam itu. 

Menurutnya, pemikiran Opa Netti tentang kristen dalam sastra Indonesia juga mucul dalam buku Natal dan Paskah dalam Kontemplasi Penyair. Buku ini, kata Yohanes Sehandi, adalah bentuk pertanggungjawaban Opa Netti bahwa ada unsur kristen dalam sastra Indonesia yang ditunjukkan dalam telaah atas unsur-unsur kristen dalam puisi beberapa penyair.

“Ini karya besar beliau yang saya catat dan memiliki hubungan. Dan ulasan sastra beliau itu juga khas. Dia menggunakan kontemplasi, artinya dia harus melakukan perenungan dulu sebelum dia melakukan ulasan, dan beliau menyebut jenis kritik sastranya adalah jenis kritik sastra aliran Pukuafu,” jelas Yohanes Sehandi.

Konsistensi Opa Netti dalam membaca dan menulis hingga usia senjanya adalah teladan nyata yang patut dihidupi oleh siapa saja. Seperti yang dikatakan Koordinator Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Romo Frank Amanche dalam acara tersebut bahwa kesaksian hidup dan karya Opa Netti adalah sebuah jalan kontemplatif.

“Terima kasih Opa untuk semangatnya yang luar biasa untuk kami. Opa adalah manusia kontemplatif, selain manusia kreatif. Terima kasih untuk inspirasinya. Teman-teman yang masih muda, saya ajak kita sekalian untuk seperti Opa terus bersemangat. Menulis itu adalah suatu jalan kontemplasi. Membaca itu adalah jalan kontemplasi untuk memandang kebenaran dan keindahan,” ujarnya.

Dan benarlah. Sebelum meninggalkan Taman Budaya Gerson Poyk malam itu, Opa Netti masih sempat menitipkan pesan, “Anak muda harus tekun membaca dan menulis. Itu rahasia supaya tetap sehat dan umur panjang”. (Robertus Fahik)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini