PENDIDIKAN adalah hak dasar setiap warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun di Nusa Tenggara Timur (NTT), hak ini belum sepenuhnya didapat oleh masyarakat. Di berbagai pelosok NTT, pendidikan belum mampu menjangkau semua anak dengan kualitas dan akses yang setara. Ironisnya, dalam kondisi ekonomi masyarakat yang serba terbatas, justru beban pembiayaan pendidikan dialihkan kepada mereka melalui mekanisme iuran komite sekolah.
Sebagai provinsi dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, NTT menghadapi tantangan berat dalam mewujudkan pendidikan yang adil dan gratis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT per Maret 2024, jumlah penduduk miskin di wilayah NTT mencapai 1,128 juta jiwa atau 19,48% dari total penduduk. Mayoritas dari mereka tinggal di pedesaan yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian, peternakan, atau pekerjaan informal yang tidak menentu.
Garis kemiskinan di NTT saat ini berada pada angka Rp 533.944,- per kapita per bulan. Dalam kondisi seperti ini, bahkan pengeluaran tambahan sebesar Rp 100.000,- per bulan untuk biaya sekolah dapat menjadi beban serius bagi keluarga. Maka ketika sekolah-sekolah masih menerapkan pungutan komite secara berkala, masyarakat sebenarnya sedang dipaksakan untuk membiayai layanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Hal ini memperlihatkan adanya ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan di NTT. Pemerintah belum sepenuhnya hadir sebagai penanggung jawab utama pendidikan dasar dan menengah. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan belum mampu menutup seluruh kebutuhan operasional sekolah, sehingga kepala sekolah dan komite sering kali mencari celah pembiayaan tambahan dari orang tua murid.
Sementara itu, para guru khususnya yang masih berstatus honorer terus menjalankan tugas mulia dalam kondisi yang jauh dari kata sejahtera. Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT menunjukkan bahwa terdapat 29.584 guru di jenjang SMA/SMK/SLB. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10.142 orang masih berstatus honorer, tanpa jaminan masa depan, penghasilan tetap, atau perlindungan sosial yang memadai.
Guru honorer di NTT bukan hanya menghadapi tekanan finansial, tetapi juga kerap harus mengajar dalam kondisi fasilitas terbatas, beban kerja berat, dan lingkungan yang menantang. Pengabdian mereka sangat besar, tetapi pengakuan terhadap peran strategis mereka masih sangat minim. Jika kesejahteraan guru tidak segera dibenahi, akan sulit mutu pendidikan di NTT akan mengalami peningkatan berarti.
Penghapusan iuran komite bukan hal yang sulit diwujudkan. Contohnya datang dari SMAN 3 Borong, Kabupaten Manggarai Timur. Sekolah ini membuat terobosan yang berani dengan menghapuskan iuran komite mulai tahun ajaran 2025/2026. Langkah ini diambil setelah banyak guru di sekolah tersebut yang telah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dengan status kepegawaian tetap, beban pembiayaan gaji guru dari anggaran sekolah bisa dialihkan. Dana BOS yang sebelumnya mungkin terbagi antara operasional dan honorarium, kini difokuskan pada pemenuhan kebutuhan sekolah dan pemberian honor bagi sisa guru yang belum berstatus ASN/PPPK. Hasilnya, sekolah mampu membebaskan peserta didik dari pungutan berupa Iuran Komite. Ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa reformasi status guru dapat berdampak langsung pada pembebasan biaya pendidikan bagi masyarakat khususnya masyarakat NTT yang sebagian besar tergolong miskin.
Kebijakan seperti ini seharusnya menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain di NTT, dan tentunya ini akan terwujud bila pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah tingkat kabupaten/kota maupun provinsi berpihak pada kesejahteraan guru. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi ASN/PPPK secara berkala.
Dengan kata lain, jika kita ingin menghapus pungutan komite secara menyeluruh, maka langkah pertama yang harus diambil adalah memastikan kesejahteraan guru. Guru yang sudah sejahtera tidak hanya mengajar lebih baik, tetapi juga membebaskan sekolah dari tekanan pembiayaan berbasis sumbangan orang tua. Sistem ini akan lebih adil bagi semua pihak baik guru, siswa, dan masyarakat.
Karena itu, pemerintah Provinsi NTT bersama seluruh pemangku kepentingan perlu merumuskan strategi atau kebijakan untuk mempercepat transformasi status guru. Pendidikan gratis dan berkualitas bukan mustahil, tetapi perlu keberpihakan anggaran dan komitmen politik yang kuat.
Lebih dari itu, sudah waktunya kita berhenti menormalisasi ketimpangan dalam dunia pendidikan. Masyarakat tidak boleh terus-menerus diminta berkorban, sementara negara absen dalam memenuhi mandat konstitusi yang ada. Pendidikan di NTT harus menjadi prioritas pembangunan, bukan sekadar pelengkap dokumen perencanaan.
Anak-anak di pedalaman NTT tidak kekurangan semangat belajar. Mereka berjalan jauh menuju sekolah, belajar di ruang kelas yang sederhana, dan tetap bercita-cita tinggi. Namun semangat ini butuh sistem yang adil untuk bisa tumbuh dan berkembang.
Jika kita ingin benar-benar membangun NTT dari pinggiran, maka pendidikan harus menjadi kunci. Dan kunci itu hanya akan bekerja jika dua syarat dipenuhi: guru yang sejahtera, dan pendidikan yang bebas dari beban biaya bagi masyarakat miskin. Karena pendidikan yang bermutu tidak lahir dari guru yang lapar. Dan masa depan NTT tidak akan tumbuh dari sistem yang membebani mereka yang paling lemah dan menderita. (*)
———–
Yohanes Brilian Jemadur, yang akrab disapa Ian Jemadur, adalah seorang pemuda asli dari tanah Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Surabaya dan saat ini aktif sebagai pengurus Pemuda Katolik Komisariat Daerah Jawa Timur. Ian memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap berbagai isu sosial, khususnya yang berkaitan dengan keadilan ekologis, pendidikan, hak-hak masyarakat adat, toleransi antarumat beragama, serta perkembangan hukum dan politik di Indonesia. Semangatnya dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan tercermin melalui keterlibatannya dalam berbagai kegiatan advokasi dan pengorganisasian.