“Ibu Sarlinda, tolong buatkan surat panggilan”.
Suara Bariton dari ruang kesiswaan.
“Siap!”. Jawaban singkat wali kelas XI Teknika Kapal Niaga.
“Ijin, bapak, untuk taruna siapa?” Pemilik Alto menanya.
“Agustinus Bazoka!” kata Kesiswaan. Setelah apel siang di lapangan upacara, wali kelas menyerahkan surat kepada anak walinya, dengan pesan agar esok bersama orang tuanya menghadap ke sekolah.
Pagi itu, Rabu, 14 Mei 2025, sekitar pukul 09.09 wita telah berdiri di depan ruangan biru-biru. Pintu diketuk, penghormatan diberi.
“Ijin masuk, taruna Agustinus Bazoka hadir membawa orang tua ingin menghadap ibu wali kelas”. Demikian tatacara memasuki ruangan.
“Ya, silakan duduk, Bunda Magdalena,” sahut Ibu Sarlinda. Telah hadir pula guru bimbingan konseling (BK), Ibu Cinta.
Ibu Magdalena, hadir di sekolah perihal anaknya sering bolos. Ibu Lena, demikian akrab disapa, bekerja di salah satu instansi pemerintah di Kota Kupang, suaminya kapten Kapal.
“Syalom, Salve, dan selamat siang Ibu”. Bunda Lena menyahuti wali kelas dan mulai bertutur.
“Anak saya dua orang. Anak pertama perempuan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Semarang. Dia tamat dari sekolah ini angkatan ke-9. Agustinus anak kedua. Saya pernah dipanggil oleh Ibu karena Agustinus Bazoka sering absen dan bolos. Agustinus pernah menyampaikan bahwa dia sering kurang konsentrasi pada waktu pelajaran. Guru-gurunya juga jarang masuk kelas. Nilai ujiannya kemarin kurang memuaskan. Dia pernah meminta untuk bersekolah di Semarang mengikuti kakaknya. Tetapi kami menyarankan supaya dia menamatkan SMK-nya dulu baru kuliah di sana. Dia cukup rajin ke sekolah. Tetapi lama kelamaan mulai membolos. Kalau mau dibilang, kami cukup memperhatikan dia. Dia minta motor beat sporty kami belikan. Apa yang dipinta dipenuhi. Pertanyaan saya, mengapa anak kami sering bolos? Padahal hampir semua keinginannya kami penuhi. Sekolah ini sangat disiplin, dan setiap hari ada apel pagi dan siang-ada pemeriksaan siswa. Salahnnya kami ada di mana?”.
“Baik, Ibu Lena,” jawab ibu Sarlinda. “Pertama, terima kasih karena Bunda bersedia hadir sesuai surat kami untuk menjawabi masalah anak kita ini. Sesuai buku tata tertib sekolah pada halaman 32, anak Agustinus Bazoka masuk dalam jenis pelanggaran bolos, dan ada sanksinya. Ada pembinaan mental oleh pembina OSIS/Ketarunaan; dan ada saksi kognitifnya membuat refleksi pribadi atas kesalahannya pada kertas F4 sebanyak 3 halaman. Atas kelalaiannya, point pelanggarannya 15. Jangan buat kesalahan lagi sebab point Agustinus sudah 75. Bila point bertambah akan menjadi 100 maka masuk lampu merah dan akan dikembalikan ke orangtua. Penjelasan selanjutnya akan disampaikan ibu Cinta”. Ibu Marlinda menutup pembicaraan. Ibu Cinta mulai membedah persoalan.
“Kita berusaha menemukan alasan mengapa anak Agustinus bolos. Pertama, barangkali anak ini secara terpaksa disekolahkan di sini. Kedua, bisa saja dia tidak senang dengan mata pelajaran tertentu. Ketiga, mungkin ada tekanan dari teman-temannya. Keempat, dia merasa bosan dan jenuh belajar. Kelima, ada daya tarik lain di luar sekolah. Keenam, pembolosan bisa muncul di mana orang tua sedang sibuk (bekerja) dan tidak memperhatikan situasi anak. Ketujuh, mungkin ia tidak mendapat cukup pengawasan dari orang tua dan kami dari sekolah. Membolosnya si Agustinus bisa merupakan tanda protes. Permintaan untuk disekolahkan di Semarang yang tidak terpenuhi bisa menjadi salah satunya. Beberapa alasan ini relatif. Yang tahu secara tepat adalah bunda dan Agustinus”.
“Oh, apakah seperti iku kah, anak kami? Apakah anak-anak bolos bukan karena guru tidak berjumpa mereka hadir di kelas?”. Bunda Magdalena bertanya.
Ibu Cinta melanjutkan. “Baiklah, bunda nanti berdialog dengan Bazoka dari hati ke hati. Biarkan dia mengungkapkan unek-uneknya. Usia mereka yang sedang mekar-mekarnya memang butuh didengarkan dan diperhatikan, bukan saja pada materi melainkan juga kasih sayang”.
“Tapi…” Bunda Bazoka menyela. Belum sempat melanjutkan, Ibu Cinta memberi kode tubuh untuk mendengarkan dulu penjelasan lanjutannya.
“Kita saling koordinasi, antara Bunda dengan sekolah untuk mengumpulkan informasi akurat masalah tersebut. Komunikasi antara rumah dan sekolah harus dibina lebih dekat. Buku kontrol pendidikan yang menghubungkan rumah dan sekolah sangat membantu untuk mengatasi masalah ini. Kami dari pihak sekolah juga akan berupaya mencari faktor penyebab bolosnya anak Bunda”.
Bunda Lena menyela lagi. “Bisa saja karena pagar sekolah belum ada, dan mungkin juga beberapa kegiatan ekstrakurikuler yang tidak cocok dengan pilihannya. Atau kegiatan ekstrakurikulernya ada tapi para pembina tidak kompeten, atau pendanaan dari sekolah belum maksimal mengakomodasi bakat dan talenta Agustinus dan kawan-kawannya”.
“Oh, kalau hal ini, nanti kami coba dalami dengan para pembina ekstrakurikuler dan wakasek kesiswaan serta dengan kepala sekolah. Mungkin pendapat Bunda benar, dan kami akan koordinasikan ke dalam. Saya lanjut, ya Bunda. Pada umumnya jikalau anak didengarkan dan diberi perhatian penuh, masalah dapat terselesaikan”.
Hari itu juga Agustinus Bazoka bersama ibunya membuat surat pernyataan menaati peraturan sekolah dan tidak akan membuat kesalahan lagi. Bazoka berjanji akan membuat ibunya bangga. Keduanya, ibu dan anak berpelukan, saling meneguhkan disertai air mata. Bazoka bersedia menerima konsekuensi akibat perbuatannya. Seepekan, ia dibina secara fisik mental oleh Pembina OSIS dan Ketarunaan, dan pembinaan kognitifnya oleh Pembina Literasi sekolah dalam perpusatakaan.
“Ibu Sarlinda, bagaimana Agustinus Bazoka?”.
Suara Bariton itu terdengar lagi di ruang kesiswaan.
“Siap, sudah ditangani Bapak. Dan sementara menjalani proses pembinaan karakter untuk pemulihannya,” Alto Ibu Sarlinda.
Seminggu kemudian Agustinus Bazoka, lebih percaya diri dan lebih bergiat di sekolah. Ia mulai menampakkan identitas seorang taruna yang diharapkan: disiplin, berkarakter, dan teguh. Mars sekolah menjiwai Agustinus dan taruna-taruni yang sementara ditempa. (*)
—
Penulis: Patrisius Leu, S.Fil., Guru Penulis dan Wakasek Kesiswaan SMKN 7 Kupang