Saya adalah seorang guru IPS pada SMP Negeri Satu Atap Ebo, yang berlokasi di desa Kusi, kecamatan Kuanfatu, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika pertama kali bertugas di SMP ini pada tahun 2017, saya menemukan bahwa partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran sangatlah rendah.
Partisipasi yang rendah ini saya temukan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Keberanian siswa untuk tampil di depan kelas baik untuk menjawab pertanyaan, memaparkan hasil tugas, dan bahkan keberanian untuk mempunyai inisiatif menjadi seorang pemimpin atau pembicara, sangatlah terbatas. Setiap kali siswa harus sedikit dipaksa untuk bisa tampil ke depan kelas atau siswa yang tampil di depan kelas adalah siswa yang selalu.
Permasalahan lain yang saya temukan adalah keterbatasan siswa dalam berkomunikasi di dalam kegiatan pembelajaran. Siswa selalu diam dan tidak aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, siswa sulit mengutarakan pikirannya, siswa tidak memberikan respon terhadap pertanyaan yang dilontarkan oleh guru.
Awalnya saya berpikir, apakah metode pembelajaran yang saya terapkan membosankan? Apakah media pembelajaran yang saya tampilkan tidak disukai siswa? Atau apakah pribadi, pembawaan dan penampilan saya yang tidak meyakinkan sebagai seorang guru? Dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya melakukan evaluasi diri dengan mencoba memodifikasi perangkat pembelajaran mata pelajaran IPS, dari mengatur tempat duduk siswa agar lebih fleksibel, menyusun media pembelajaran menggunakan aplikasi pembelajaran seperti Canva, memodifikasi kegiatan pembelajaran dengan menyisipkan ice breaking di sela-sela proses pembelajaran. Saya juga menjaga penampilan agar lebih profesional dan berwibawa di hadapan para siswa.
Namun, euforia siswa ternyata berlangsung sesaat karena hanya terbawa suasana. Selebihnya siswa kembali pada siatuasi awal yakni kesulitan berkomunikasi, tidak percaya diri, malu mengutarakan pendapat, dan tidak merespon pertanyaan yang dilontarkan oleh guru. Singkatnya, partisipasi aktif siswa di kelas tidak mengalami perubahan yang signifikan dan tidak berlangsung secara terus-menerus.
Hal ini pun kemudian saya konsultasikan bersama dengan rekan guru yang lain saat rapat. Saya menemukan bahwa masalah yang saya alami ternyata juga dialami oleh guru-guru mata pelajaran lainnya. Dengan kondisi siswa seperti ini, guru-guru kesulitan dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Kondisi ini mengakibatkan kegiatan pembelajaran menjadi tidak menarik, meskipun berbagai metode telah dilakukan karena rendahnya partisipasi aktif siswa.
Sebagai seorang guru, saya kira menyerah pada keadaan bukanlah pilihan yang tepat. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang saya dapatkan di bangku kuliah, dan dengan pengalaman sebagai seorang Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) selama 1 tahun di pedalaman Kalimantan, dan sebagai seorang Guru Garis Depan (GGD) Kabupaten TTS, saya berusaha melakukan perubahan kecil dalam merangsang partisipasi aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Saya mengubah cara saya dengan pendekatan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE). PSE adalah sebuah pendekatan dalam pengelolaan proses pembelajaran di sekolah yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses PSE memungkinkan murid (di semua jenjang, tingkat dan kelas) dan orang dewasa (kepala sekolah, guru dan tendik) yang ada di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dalam berbagai sikap sosial dan emosional secara positif. PSE adalah proses mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional sebagai modal anak dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar (Casel, 2012).
Pendekatan PSE tidak langsung saya terapkan dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran IPS. Saya memulainya dengan merangsang partisipasi aktif siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang menumbuhkan gairah siswa untuk berperan aktif dan berkomunikasi aktif dengan sesama siswa, juga guru-guru di sekolah. Saya menginisiasi agar sekolah secara berkala harus melaksanakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan peran aktif siswa dan guru. Dengan demikian, hubungan guru dan siswa secara emosional dapat terbangun demi menumbuhkan kemampuan berkomunikasi siswa.
Sebagai contoh, lomba cita baca puisi antar-siswa. Dalam rapat perlombaan dan dalam pelaksanaannya, para guru diwajibkan untuk melakukan pendampingan bagi siswa yang mendaftar sebagai peserta kegiatan lomba. Kegiatan perlombaan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei tahun 2019.
Selanjutnya kami mengadakan perlombaan Cerdas Cermat Alkitab. Dalam perlombaan ini pun saya mengusulkan agar guru-guru diberikan peran untuk membimbing siswa. Begitupun dalam perlombaan-perlombaan dan kegiatan ekstarakurikuler yang diselenggarakan di sekolah, saya selalu mengusulkan agar setiap guru terlibat aktif melakukan pendampingan terhadap para peserta lomba. Hal ini saya lakukan agar hubungan emosional siswa dan guru dapat terjalin melalui berbagai kegiatan.
Setelah dilakukannya pendampingan kepada peserta berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan perlombaan yang diikuti oleh siswa, perlahan namun pasti rasa kepercayaan diri dan keberanian siswa mulai muncul dan semakin nampak dalam kegiatan pembelajaran di kelas, bahkan siswa tidak takut untuk tampil di depan kelas sekedar menanggapi pernyataan maupun pertanyaan dari guru atau siswa lainnya.
Banyak siswa yang pernah mengikuti perlombaan dan kegiatan ekstrakurikuler dan yang mendapatkan pendampingan dari guru mengalami perubahan perilaku dan sikap baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam proses kegiatan pembelajaran di kelas. Hal yang saya alami secara langsung mengenai perubahan perilaku dan sikap siswa ini adalah, ketika mengakhiri pembelajaran dengan doa, saya tidak lagi meminta atau menunjukkan salah seorang siswa untuk memimpin doa. Dengan inisiatif sendiri, salah satu siswa mengajukan diri untuk memimpin doa menutup kegiatan pembelajaran di depan kelas.
Hal lain yang menjadi bukti dan meyakinkan saya bahwa pendekatan yang saya lakukan berhasil adalah ketika siswa yang saya bagi ke dalam kelompok untuk melakukan diskusi mampu berdiskusi bersama teman dan menyampaikan pendapatnya. Ada beberapa siswa yang awalnya pasif dalam kegiatan pembelajaran, ternyata berani mengajukan pertanyaan kepada saya terkait materi yang saya bagikan untuk mereka diskusikan bersama di dalam kelompok. Bahkan ada salah seorang siswi bernama Iren Nenobais, datang menemui saya untuk meminta saya mendampinginya membaca, juga memasukkan namanya ke dalam daftar siswa yang saya bimbing dalam kegiatan Pendampingan Penguatan Literasi bagi Peserta Didik. Pendampingan tersebut dilaksanakan sekolah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, dari tahun 2023 sampai tahun 2024, yang sebenarnya, menurut pendapat rekan-rekan guru dan juga guru mata Pelajaran Bahasa Indonesia, kemampuan membacanya cukup baik di antara teman-teman sekelasnya.
Pendekatan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang saya terapkan dalam meningkatkan partisipasi aktif siswa melalui pendampingan kegiatan ekstrakurikuler dan perlombaan di sekolah ternyata berdampak baik dalam mengelola sikap dan perilaku siswa dalam proses pembelajaran di kelas. Pendekatan PSE diharapkan dapat diadopsikan ke dalam proses pembelajaran di kelas agar kegiatan pembelajaran tidak menjadi hal yang formal yang mengekang kreativas guru dan murid, juga membatasi ruang gerak dalam mengeksplorasi keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Siswa adalah titipan orang tua kepada sekolah, sehingga secara tidak langsung, siswa tersebut juga menjadi anak kita di dalam lingkungan sekolah, dalam setiap proses pembelajaran di sekolah. Hubungan guru dan siswa seharusnya tidak terbatas pada hubungan pengajar dan peserta ajar atau pendidik dan peserta didik. Namun lebih dari itu, hubungan emosional perlu dibangun agar kegiatan pembelajaran di sekolah menjadi kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan untuk dilalui, untuk dijalani.
Seorang guru perlu mendalami perannya dalam membimbing, mendampingi, menuntun muridnya mencapai puncak potensi sebagai seorang manusia. Guru sebaik-baiknya adalah orang tua yang menuntun anaknya menemukan jalan hidupnya, yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Semboyan “ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” adalah jati diri guru-guru Indonesia. (*)
———————————
Fransiskus Kena Letor, lahir di Waibalun, 13 Januari 1989. Ia adalah seorang Guru Garis Depan (GGD) pada SMP Negeri Satu Atap Ebo dengan latar belakang Pendidikan Ekonomi dari Universitas Nusa Cendana Kupang. Ia memiliki tekad untuk melakukan perubahan kecil dalam setiap kesempatan dan peluang yang ada.