“Teruntuk Akar Pesan dari Leluhur”

0
138
Oleh Paulus Rezky Ardianzah Ully, Terbaik 2 Putra Duta Bahasa Provinsi NTT Tahun 2025.

Bayangkan sebuah dunia, ketika setiap orang berbicara dalam bahasa yang berbeda. Tanpa bahasa pemersatu, bagaimana pesan dapat tersampaikan dengan baik? Apakah komunikasi akan tetap berjalan tanpa hambatan? Pertanyaan ini menjadi refleksi penting, terlebih jika dikaitkan dengan kondisi nyata yang terjadi di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kabupaten Alor merupakan salah satu wilayah di NTT yang memiliki kekayaan linguistik luar biasa. Dari total 72 bahasa daerah yang ada di NTT, ada 25 bahasa daerah berasal dari Alor. Ini menjadikan Alor sebagai kawasan dengan keragaman bahasa yang tinggi. Namun, di balik kekayaan tersebut, tersembunyi ancaman serius: banyak bahasa daerah di wilayah tersebut, kini, berada dalam kondisi rentan, terancam punah, hingga berada dalam kategori kritis.

Bahasa Daerah: Lebih dari Sekadar Alat Komunikasi

Bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah identitas, warisan budaya, dan jembatan penghubung antargenerasi. Ketika seseorang kehilangan kemampuan untuk berbicara dalam bahasa ibunya, ia kehilangan sesuatu, yang bukan hanya kata-kata, tetapi juga kehilangan sejarah, nilai-nilai, dan jati diri yang membentuk siapa dirinya.

Era saat ini, gempuran arus globalisasi dan dominasi bahasa nasional atau asing, banyak penutur jati yang mulai meninggalkan bahasa daerah mereka. Entah karena dianggap kuno, tidak relevan, atau tidak memiliki nilai praktis dalam dunia modern. Itulah yang terjadi. Padahal, bahasa daerah sejatinya adalah akar dari pohon kehidupan budaya dan adat istiadat suatu masyarakat.

Bayangan Masa Tua dalam Kesunyian

Coba bayangkan ketika di masa tua, Anda tak lagi mampu berkomunikasi dengan siapa pun–bukan karena kehilangan kemampuan bicara–melainkan karena mempertahankan siapa Anda dan bahasa yang selama ini menjadi bagian dari diri Anda. Bayangkan, jika anak atau cucu Anda tak mampu memahami bahasa yang Anda ucapkan, bahasa yang seharusnya menjadi bahasa pertama mereka sejak kecil. Apa yang akan terjadi?

Kesepian semacam itu bukanlah skenario fiktif. Ini adalah realitas yang dihadapi banyak penutur jati di daerah-daerah yang bahasanya terancam punah. Mereka merasakan keterasingan di tanah kelahirannya sendiri, karena generasi muda tidak lagi mewarisi bahasa yang seharusnya menjadi pengikat antargenerasi.

Revitalisasi Bahasa Daerah: Urgensi dan Peran Bersama

Lantas, apa yang dapat kita lakukan? Apa yang genarasi muda harus giatkan? Jawabannya adalah revitalisasi bahasa daerah (RBD). Ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah atau lembaga kebudayaan, melainkan tugas bersama—oleh, dari, dan untuk para penutur jati.

Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) mencakup berbagai upaya, mulai dari dokumentasi bahasa, pengajaran kepada generasi muda, pengintegrasian dalam pendidikan formal dan nonformal, hingga pemanfaatan media digital sebagai sarana pelestarian. Generasi muda harus kembali dikenalkan dan diajak untuk mencintai bahasa daerahnya, bukan sebagai beban, tetapi sebagai kebanggaan.

Kita juga perlu menumbuhkan kesadaran bahwa mempelajari bahasa daerah tidak menghambat modernisasi. Justru, RBD dapat memperkaya identitas dan memperkuat jati diri. Tidak ada salahnya fasih berbahasa asing, tetapi akan menjadi kerugian besar jika itu harus dibayar dengan hilangnya kemampuan berbahasa ibu.

Menjaga Bahasa, Merawat Cinta Antargenerasi

Melestarikan bahasa daerah adalah bentuk penghargaan terhadap leluhur, terhadap orang-orang terkasih yang telah mewariskan kepada kita, bukan hanya darah dan nama keluarga, tetapi juga bahasa sebagai warisan paling intim dan bermakna. Kita adalah buah dari cinta mereka. Menjaga bahasa mereka adalah salah satu cara untuk terus terhubung, meski waktu dan generasi terus berganti. Dengan begitu, hari tua para penutur jati tak lagi diisi kesunyian, tetapi dengan kebahagiaan karena dapat berbicara, bercanda, dan menyampaikan kasih sayang dalam bahasa yang mereka wariskan.

Penutup

Revitalisasi bahasa daerah bukan semata soal melestarikan budaya, tetapi bagaimana sikap kita, generasi muda, untuk mencintai dan merawat identitas, memperkuat hubungan antargenerasi. Revitalisasi bahasa daerah memastikan bahwa setiap insan tetap memiliki ruang untuk menjadi dirinya sendiri di tengah dunia yang terus berubah. Karena akhirnya, siapa kita tak akan pernah lepas dari bahasa sebagai identitas diri. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini