Pendidikan di Persimpangan: Antara Target Mengajar dan Kebutuhan Belajar

0
378
Oleh Wilem Andro Benu, S.Pd., Guru SMP Negeri Oelet, Kab. TTS, Prov. NTT

Saya teringat pengalaman ketika membimbing siswa untuk mengikuti olimpiade tingkat SMP di salah satu sekolah di Timor Tengah Selatan yaitu SMP Negeri Oelet. Ada beberapa siswa yang terpilih untuk mengikuti pembimbingan, namun setidaknya hanya tiga orang di antara mereka yang mampu berbicara Bahasa Inggris meskipun sangat terbatas kosakatanya. Kondisi ini membuat saya merasa sedih karena mencerminkan masih rendahnya kualitas pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Negeri Oelet.

Permasalahan ini masih sering muncul karena banyak guru yang kesulitan menyesuaikan materi dengan kemampuan awal siswa. Di SMP Negeri Oelet, sekolah tempat saya mengajar yang terletak jauh dari pusat perkotaan, situasi ini terasa semakin nyata. Sebagian besar siswa di sana belum pernah belajar Bahasa Inggris sebelumnya dan hanya sedikit yang memiliki akses terhadap teknologi seperti telepon genggam atau internet. Kondisi tersebut membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar Bahasa Inggris secara mandiri sebelum memasuki jenjang SMP. Dengan kata lain, pengalaman pertama mereka berinteraksi dengan Bahasa Inggris dimulai ketika mereka duduk di bangku SMP, sehingga pemilihan fase pembelajaran menjadi hal yang sangat penting agar materi yang diajarkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.

Dalam Kurikulum Merdeka, pembelajaran dibagi ke dalam beberapa fase belajar yang disesuaikan dengan perkembangan usia dan kemampuan peserta didik. Setiap fase mencerminkan capaian pembelajaran yang perlu dikuasai siswa dalam periode tertentu. Untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, umumnya digunakan Fase D yang mencakup jenjang SMP kelas 7 sampai 9. Pada fase ini, siswa diharapkan mampu berkomunikasi dalam konteks sederhana, memahami teks pendek, dan mengekspresikan gagasan menggunakan Bahasa Inggris dasar yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Namun sebelum mencapai Fase D, terdapat Fase C (kelas 4–6 SD) yang seharusnya menjadi landasan awal bagi siswa dalam mengenal kosa kata, pengucapan dasar, serta pola kalimat sederhana.

Sebagai informasi, setiap fase memiliki tingkat kesulitan materi yang berbeda sesuai perkembangan siswa. Fase A (kelas 1–2 SD) berfokus pada pengenalan bahasa dan bunyi, seperti alfabet, warna, angka, dan salam sederhana. Fase B (kelas 3–6 SD) mulai memperkenalkan kalimat dasar dan topik sehari-hari, misalnya I like apples, This is my family, atau I have a cat. Fase C (kelas 4–6 SD, jika sekolah sudah mulai Bahasa Inggris lebih awal) mengajarkan kemampuan memahami teks sederhana seperti descriptive text tentang orang atau benda serta memperluas kosa kata. Sementara itu, Fase D (kelas 7–9 SMP) sudah menuntut siswa untuk memahami dan menulis berbagai jenis teks seperti procedure, recount, dan descriptive text, serta berkomunikasi dalam konteks yang lebih luas. Dari sini terlihat bahwa pemilihan fase yang tidak tepat, misalnya langsung menggunakan materi Fase D untuk siswa yang belum pernah belajar dari Fase A–C akan membuat siswa kesulitan karena mereka belum memiliki dasar bahasa yang cukup.

Sayangnya, di banyak sekolah di daerah pedesaan, termasuk di wilayah pedalaman Nusa Tenggara Timur, pembelajaran Bahasa Inggris baru dimulai ketika siswa memasuki jenjang SMP. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan yang cukup besar antara siswa di kota dan siswa di kampung. Sementara siswa di perkotaan telah memiliki dasar Bahasa Inggris sejak SD (Fase C), siswa di pedalaman harus langsung memulai dari Fase D tanpa memiliki kemampuan dasar yang memadai. Hal ini didukung oleh studi dari Kemendikbudristek pada Oktober 2023 menunjukkan bahwa siswa di NTT mengalami kesulitan dalam meningkatkan kemampuan literasi, termasuk literasi bahasa. Mereka mengalami ketertinggalan belajar di aspek literasi setara dengan 16 bulan pembelajaran.

Hal ini sebagian besar disebabkan karena banyak anak-anak usia sekolah perlu waktu tambahan untuk bisa mengejar ketertinggalan dan mencapai standar literasi yang diharapkan untuk usianya. Akibatnya, guru menghadapi kesulitan dalam menentukan titik awal pembelajaran dan materi yang sesuai dengan kemampuan nyata siswa. Jika guru langsung menggunakan perangkat ajar Fase D sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum, siswa sering kali merasa bingung dan kesulitan memahami materi yang diajarkan.

Tantangan utama bagi guru Bahasa Inggris di daerah seperti ini adalah menyesuaikan fase pembelajaran agar tetap relevan dengan kondisi siswa. Guru dituntut untuk mampu menilai kemampuan awal peserta didik dan menyesuaikan materi, meskipun secara administratif sekolah berada pada Fase D. Hal ini memerlukan kreativitas dan fleksibilitas dalam merancang pembelajaran yang tidak hanya mengejar target kurikulum, tetapi juga memperhatikan kebutuhan nyata siswa. Selain itu, keterbatasan sumber belajar, minimnya pelatihan kurikulum merdeka bagi guru di daerah, serta rendahnya paparan siswa terhadap Bahasa Inggris di luar sekolah menjadi hambatan tambahan yang membuat proses adaptasi fase semakin menantang. Oleh karena itu, guru perlu melakukan penyesuaian kurikulum yang kontekstual, dimulai dari pengenalan bahasa sederhana hingga kemampuan komunikatif yang bertahap, agar siswa dapat belajar dengan lebih bermakna dan percaya diri.

Dampak dari situasi ini sangat nyata. Banyak siswa akhirnya merasa bahwa Bahasa Inggris adalah pelajaran yang sulit dan menakutkan. Ketika mereka diperkenalkan langsung dengan materi Fase D seperti teks deskriptif atau prosedur tanpa pemahaman dasar seperti kosa kata benda, warna, atau salam sederhana, mereka mudah merasa gagal dan kehilangan motivasi untuk belajar. Padahal, seharusnya guru perlu terlebih dahulu mengenali kebutuhan belajar siswa agar fase pembelajaran yang dipilih benar-benar sesuai dengan kemampuan dan kesiapan mereka. Penyesuaian fase bukan berarti menurunkan standar kurikulum, melainkan memastikan bahwa proses belajar berlangsung secara bertahap dan bermakna. Dengan mengenali kebutuhan siswa secara mendalam, guru dapat merancang pembelajaran yang lebih kontekstual, menyenangkan, dan mendorong siswa untuk percaya bahwa Bahasa Inggris bukanlah pelajaran yang sulit, tetapi bahasa yang bisa mereka kuasai dengan cara yang tepat.

Solusi yang saya tawarkan sebenarnya tidak keluar dari tuntutan Kurikulum Merdeka, namun saya berusaha menerapkannya dengan cara yang lebih fleksibel dan kontekstual. Fleksibilitas inilah yang menjadi berkat tersendiri bagi jalannya pembelajaran Bahasa Inggris di SMP saya. Inovasi besar-besaran yang saya lakukan, dan yang jarang dilakukan oleh guru lain di daerah, adalah menciptakan silabus Bahasa Inggris inovatif yang benar-benar menyesuaikan dengan kebutuhan nyata siswa. Saya memulai dengan mengajarkan kembali materi-materi dasar yang seharusnya ada di Fase A, seperti Alphabet, Numbers, Colors, Greetings, dan sebagainya. Hal ini saya lakukan karena pada kenyataannya, sebagian besar siswa saya baru pertama kali belajar Bahasa Inggris, sehingga kemampuan mereka masih setara dengan Fase A atau B. Selain itu, keterbatasan teknologi di kampung menjadi tantangan yang saya jawab dengan kreativitas dan inovasi sederhana namun bermakna.

Pendekatan ini ternyata membawa hasil yang luar biasa. Siswa yang sebelumnya merasa takut dan menganggap Bahasa Inggris sulit, kini mulai menikmati proses belajar. Mereka merasa lebih nyaman karena materi yang diajarkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan mereka. Bahkan, beberapa siswa menunjukkan perkembangan signifikan: mereka mulai berani berbicara menggunakan kosakata sederhana, membuat karya kecil seperti poster atau lagu berBahasa Inggris, dan yang paling penting, mereka belajar karena keinginan sendiri, bukan paksaan. Inovasi ini membuktikan bahwa siswa sebenarnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; hanya saja, sering kali guru salah dalam menentukan titik awal dan fase pembelajaran.

Dengan menyesuaikan materi dan menggabungkannya dengan metode belajar visual, auditori, dan kinestetik, proses belajar menjadi lebih hidup dan menyenangkan. Inilah bentuk nyata pembelajaran berdiferensiasi yang saya terapkan yaitu pembelajaran yang menghargai kebutuhan, karakter, dan potensi setiap anak, sehingga Bahasa Inggris tidak lagi menjadi momok, melainkan jembatan menuju rasa percaya diri dan semangat belajar yang baru.

Jadi, dari pengalaman saya mengajar di daerah pedalaman, saya ingin menyampaikan satu hal penting kepada rekan-rekan guru Bahasa Inggris di manapun berada bahwa jangan terpaku sepenuhnya pada target fase dalam kurikulum tanpa melihat kebutuhan nyata siswa. Kurikulum memang menjadi panduan utama kita, tetapi pada akhirnya, kitalah yang paling mengenal kemampuan dan konteks belajar siswa di kelas. Sering kali, guru terlalu fokus mengejar capaian Fase D karena itu yang tertulis dalam dokumen resmi, padahal siswa yang mereka hadapi baru pertama kali mengenal Bahasa Inggris. Ketidaksesuaian ini justru membuat siswa kesulitan memahami pelajaran dan kehilangan minat belajar.

Saran saya, cobalah melihat fase bukan sebagai batas, tetapi sebagai arah. Kita boleh berada di Fase D secara administratif, tetapi jika kemampuan siswa masih berada di Fase A atau B, maka tugas kitalah untuk menyesuaikan titik awalnya. Tidak ada salahnya memulai dari hal yang paling dasar seperti alfabet, angka, atau salam sederhana, karena dari situlah rasa percaya diri siswa tumbuh. Ingatlah bahwa keberhasilan belajar bukan diukur dari seberapa cepat siswa mencapai target kurikulum, melainkan dari seberapa besar perubahan positif yang mereka rasakan selama proses belajar.

Ketika guru merasa kesulitan menentukan fase yang tepat bagi siswanya, maka pembelajaran berdiferensiasi adalah solusi yang paling penting. Melalui pendekatan ini, guru dapat menyesuaikan isi, proses, dan produk pembelajaran berdasarkan kebutuhan, kemampuan, serta minat siswa. Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan siswa belajar sesuai dengan ritme mereka sendiri, tanpa merasa tertinggal atau terbebani oleh tuntutan kurikulum. Guru dapat mengajarkan satu topik dengan berbagai cara, misalnya melalui gambar bagi siswa visual, lagu bagi siswa auditori, dan permainan bagi siswa kinestetik, sehingga semua siswa tetap bisa memahami materi sesuai gaya belajarnya.

Selain itu, saya juga mendorong guru-guru untuk lebih berani berinovasi. Inovasi tidak harus selalu berbasis teknologi canggih. Dalam keterbatasan sekalipun, guru bisa menciptakan pembelajaran yang menarik dengan media sederhana seperti kartu kata, lagu, permainan, atau aktivitas berbasis gerak. Yang terpenting adalah bagaimana kita memahami karakter belajar siswa dan menjadikan mereka subjek utama dalam proses belajar. Dengan menggabungkan semangat inovasi dan pembelajaran berdiferensiasi, kita tidak hanya mengajarkan Bahasa Inggris, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan diri, rasa ingin tahu, dan kecintaan siswa terhadap bahasa itu sendiri.

Kesimpulannya, sebagai guru di daerah pedalaman, saya percaya bahwa perubahan besar dalam dunia pendidikan tidak selalu datang dari fasilitas yang lengkap atau teknologi yang canggih, tetapi dari niat tulus dan keberanian guru untuk beradaptasi dengan kebutuhan siswanya. Mengajar Bahasa Inggris di kampung membuat saya belajar bahwa setiap anak memiliki potensi besar, hanya saja mereka membutuhkan cara belajar yang sesuai dengan dunia mereka. Dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan berani berinovasi dalam materi, saya melihat bahwa siswa-siswa yang dulu takut kini mulai berani berbicara, bertanya, bahkan bercita-cita menggunakan Bahasa Inggris di masa depan. Itulah bukti bahwa ketika guru mampu menyesuaikan fase belajar dengan kebutuhan nyata siswa, pendidikan tidak hanya berjalan sesuai kurikulum, tetapi juga menyentuh hati dan membentuk masa depan yang lebih baik. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini