PENI SI GADIS CANTIK DARI DALAM BAMBU (Asal-Usul Orang Lamalera-Lembata)

0
249
Ilustrasi (google/AI)

HARI ITU, langit di atas gunung Labalekang di pulau Lembata tampak sangat cerah. Banyak pohon bambu yang tumbuh subur di sana, sehingga tempat itu diberi nama Kampung Bambu. Seperti biasanya, seorang pemuda dengan sebilah tombak di tangannya berjalan menyusuri gunung itu untuk berburu. Pemuda itu bernama Blawa. Blawa hidup bersama ayahnya yang bernama Beda Lera Gere dan kedua saudarinya yang bernama Java Lepa dan Peduli Key. Karena sudah cukup dewasa, Blawa memilih tinggal sendiri di sebuah podok kecil di atas gunung. Sementara ayah dan kedua saudarinya tinggal di dalam gua.

Selain hebat dalam berburu babi hutan dan rusa, Blawa juga dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi atau orang sakti. Saat pergi berburu, Blawa selalu membawa kedua anjingnya. Kedua anjing itu bukan anjing biasa, melainkan juga memiliki kemampuannya masing-masing (anjing sakti). Kedua anjing itu diberi nama Bade Ile Gole yang berarti hewan yang menguasai seluruh gunung Labalekang itu. Dan anjing yang satunya lagi bernama Kfaka Take yang berarti hewan yang tidak berilmu tinggi, tetapi memiliki kemampuan yang luar biasa dalam berburu.

Sudah hampir setengah hari Blawa melakukan perburuannya, namun dia belum mendapatkan hasil apa pun. Tubuhnya yang tegap dan gagah mulai kelelahan. Semangat yang mulanya membara, perlahan-lahan makin redup. Blawa jatuh ke dalam keputusasaan. Berbeda dengan kedua anjingnya. Mereka tetap berada di depan Blawa sambil sesekali melihat ke kiri dan ke kanan untuk memastikan ada hewan lain yang berkeliaran di situ. Tiba-tiba, Blawa kaget melihat kedua anjingnya berlari begitu cepat. Blawa merasa penasaran. Tanpa berpikir lagi, Blawa juga berlari mengikuti kedua anjingnya sembari berharap ada hewan yang bisa diburunya.

Blawa akhirnya bisa mengejar kedua anjingnya. Di situ, dia hanya menemukan sebuah pohon bambu yang tumbuh sendiri. Ukurannya sangat besar dan menjulang tinggi ke langit. Tidak ada hewan yang bisa diburu. Dia heran melihat tingkah kedua anjingnya yang sejak tadi menggonggong mengelilingi pohon bambu itu. Meskipun sempat putus asa, tetapi Blawa tetap berusaha memahami ulah kedua anjingnya itu. Dia masih terus berharap bisa mendapatkan hasil buruan di hari itu. Karena merasa lelah, Blawa memutuskan untuk beristirahat di situ.

Hari mulai gelap dan malam pun akan tiba. Sudah saatnya Blawa harus kembali ke pondoknya. Dia sudah cukup lama beristirahat di tempat itu. Ketika hendak pulang, Blawa justru menyaksikan kedua anjingnya yang menggonggong, makin menjadi-jadi. Perasaan Blawa bercampur aduk. Dia makin heran, sekaligus tambah penasaran. “Kenapa dari tadi mereka menggonggong di situ,” tanya Blawa dalam hatinya. Meskipun dengan begitu banyak pertanyaan yang masih terlintas di kepalanya, Blawa tetap memutuskan untuk bergegas pulang.

Keesokan harinya, Blawa berangkat pagi sekali untuk berburu. Kedua anjingnya selalu setia menemaninya. Herannya, hari itu sama seperti kemarin. kedua anjingnya buru-buru ke tempat pohon bambu yang besar itu. Mereka menggonggong sejadi-jadinya. Itu hari kedua Blawa berburu. Hari ketiga pun sama dan begitu pun seterusnya sampai hari ketujuh. Mereka tetap menunjukkan perilaku yang sama terhadap pohon bambu itu.

Rasa penasaran Blawa sudah tidak tertahankan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memotong bambu itu. Ketika hendak memotong bagian bawah batang pohon bambu itu, tiba-tiba terdengarlah suara dari dalam pohon bambu, “Tolong, jangan potong kaki saya”. Blawa kaget mendengar suara itu. Dia yakin ada sesuatu yang aneh dengan pohon bambu itu. Meskipun dengan ragu-ragu, dia tetap memberanikan diri untuk memotong bambunya. Kali ini, dia bergeser ke ruas paling bawah bambu itu. Setelah selesai memotong, Blawa ingin memotong juga bagian atasnya agar mudah dibawa pulang. Dia coba menghitung sampai ruas ketujuh bagian atas pohon bambu itu. Saat dia ingin memotong, terdengar lagi suara, “Hati-hati, di situ ada rambut saya”. Blawa sempat kaget lagi. Sekali lagi dia menggeser ke ruas yang kedelapan, lalu memotong bambunya. Blawa coba menunggu beberapa saat. Pikirnya, mungkin saja dia bisa mendengar suara itu lagi. Malam pun hampir tiba. Sudah saatnya Blawa pulang. Dia membawa pohon bambu yang sudah dipotong itu dan kembali ke pondoknya.

Hari masih pagi, Blawa tidak pergi berburu. Dia sedang duduk santai sambil memandangi bambu yang dipotongnya kemarin. Bambu itu ditaruh di depan halaman pondoknya. Seingatnya hari ini, ayah dan kedua saudarinya akan mengunjunginya. Tak lama kemudian terdengar suara, “Kreek, Kreek, Kreek”. Ternyata bambu yang tepat di depanya mulai pecah menjadi dua bagian. Blawa terkejut sekali. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dari dalam bambu itu ke luar seorang gadis cantik. Kulitnya putih mulus dan rambutnya hitam terurai panjang. Parasnya bagaikan bidadari yang turun dari kayangan. Pesonannya membuat Blawa sampai tertegun dan mulutnya tak mampu berkata-kata.

Blawa berlari menghampiri gadis itu. “Namamu, siapa?,” tanya Blawa kepada gadis cantik itu. Sayangnya, gadis itu tidak menjawab. Dia hanya diam sambil memandangi wajah Blawa. Blawa akhirnya sadar kalau gadis itu bukan manusia biasa seperti dirinya. Gadis cantik itu pasti berasal dari alam lain (dunia gaib). Blawa ingat apa yang pernah diceritakan oleh ayahnya. Bahwa, benar ada manusia yang hidup di dunia gaib. Setelah menyadari hal itu, Blawa pun memutuskan untuk memberinya nama Peni Ile Ari yang berarti Peni si gadis cantik dari alam gaib. Tak lama kemudian, Blawa dengan cepat menggenggam tangan Peni dan membawanya ke dalam pondok. Blawa takut kalau ayah dan kedua saudarinya melihat Peni. Blawa sengaja menyembunyikan Peni.

“Blawa, Blawa, Blawa,” pangil ayah dari luar pondoknya. Dalam kepanikan, Blawa bergegas cepat menemui ayah dan kedua saudarinya. Melihat wajah Blawa yang aneh, ayah bertanya, “Ada apa Blawa, apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan?”. “Tidak ada, ayah,” balas Blawa dengan cepat. Blawa sangat takut kalau Peni sampai ketahuan oleh ayahnya. Blawa berusaha mengalihkan pembicaraan mereka, agar ayah melupakan hal yang ditanyakannya tadi. Setelah lama berbincang, ayah dan kedua saudarinya memutuskan untuk kembali ke tempat mereka. Blawa akhirnya berhasil menyembunyikan keberadaan Peni.

Sebagai seorang laki-laki dewasa, sudah saatnya Blawa memiliki seorang pendamping. Apalagi, dilihat dari kemampuannya, Blawa sudah bisa menafkahi keluarganya. Dia pun mengambil Peni sebagai istrinya. Setelah menikah, mereka memiliki seorang anak laki-laki dan mereka menamainya Ado Key. Blawa dan Peni juga menghasilkan banyak keturunan. Semua keturunan mereka berkulit putih mulus seperti Peni. Karena semua keturunan perwatakannya mirip seperti Peni, Blawa lalu memberi nama suku mereka itu sebagai Ata Key yang artinya orang-orang yang berkulit putih mulus seperti orang Cina.

Ado Key juga tumbuh menjadi seorang laki-laki dewasa yang gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap, serta berkulit putih. Ado dan Blawa bersama keluarganya memilih untuk pindah ke tempat lain yang bernama Batar. Mereka juga membawa serta ayah Blawa dan kedua saudarinya beserta seluruh kerabatnya. Batar adalah sebuah kampung yang berada di dekat kaki gunung Labalekang. Di Batar inilah yang sekarang menjadi tempat untuk melaksanakan ritual penangkapan ikan paus (Hongo Dongot) bagi orang Lamalera.

Ado Key sangat suka berkarang atau kegiatan mengangkat batu-batu yang ada di laut ketika airnya surut untuk mencari kerang, siput, dan ikan-ikan kecil. Karena hobinya itu, Ado Key setiap hari selalu pergi ke laut. Bahkan, Ado Key selalu membuat beberapa tempat khusus untuk dia beristirahat ketika hendak pergi ke laut. Ada tempat yang pintunya khusus menghadap ke arah bagian timur (Bavalofe) maupun ke bagian barat laut (Ado Bavalofe). Ada juga tempat khusus untuk menaruh tongkat atau stik yang terbuat dari batang bambu kecil, yang dipakainya untuk memancing ikan. Ado Key juga menyediakan tempat khusus untuk membuang kulit kerang laut. Sebab menurut kepercayaan mereka, apabila kulit kerang dibuang di sembarang tempat, maka akan menyebabkan gelombang laut yang besar. Setelah menetap di pantai Lamalera, dia mengubah namanya menjadi Ado Tapoona.

Sebuah perahu kayu terdampar di pantai Lamalera. Mereka adalah orang-orang dari pulau Lepan Batan yang biasanya berburu ikan paus. Konon katanya, orang-orang dari pulau Lepan Batan merupakan penduduk asli pulau Lembata. Dari kejauhan, terlihat kepulan asap hitam yang membubung tinggi ke langit. “Pasti ada orang di tempat ini,” kata salah seorang dari mereka. Mereka lalu bersama-sama pergi ke tempat asap hitam itu berasal. Ternyata di sana ada Ado Tapoona yang sedang memasak hasil tangkapannya hari ini. “Bolehkah kami tinggal di tempat ini?,” tanya mereka kepada Ado Tapoona. “Boleh saja, tetapi saya harus bertanya kepada keluarga saya,” jawab Ado Tapoona. Lalu, dia membawa mereka menemui keluarganya yang tinggal di Batar.

Selama perjalanan, Ado Tapoona sangat takut dan juga khawatir. Dia berpikir, kalau nanti bertemu saudari ayahnya dan kerabatnya, mereka bisa jadi mati dimakan. Kerabat Ado Tapoona adalah keturunan kanibal atau orang-orang yang senang memakan daging hewan maupun manusia. Sebelumnya mereka tinggal di dalam gua, namun dibawa oleh ayahnya untuk tinggal bersama di Batar. Sesampainya di sana, mereka meminta persetujuan keluarga Ado Tapoona untuk menempati daerah di sekitar pantai Lamalera. Mereka berjanji untuk memberikan sebagian dari hasil tangkapan mereka berupa kepala ikan paus sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga Ado Tapoona. Dalam tradisi penangkap ikan paus orang Lamalera, kepala ikan paus adalah bagian khusus yang diberikan hanya kepada tuan tanah. Ajaibnya mereka tidak dimangsa, justru mereka diberikan wilayah di sekitar pantai untuk ditinggali sekaligus mendapat perlindungan dari keluarga Ado Tapoona. Bahkan, orang-orang dari pulau Lepan Batan itu diizinkan untuk mengambil keluarga Ado Tapoona sebagai istri mereka. Dari situlah, tradisi penangkapan ikan paus hidup hingga saat ini dan menjadi ciri khas masyarakat di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selain itu, tempat-tempat yang pernah ditinggali oleh Beda, Blawa, dan Ado dari atas gunung Labalekang sampai ke pantai Desa Lamalera, itulah yang sekarang menjadi tempat persinggahan bagi masyarakat Lamalera saat melakukan ritual penangkapan ikan paus. Ritual ini biasanya dilakukan setiap tahunnya, secara khusus pada akhir bulan April.

Pesan moral yang dapat diambil dari cerita ini, yakni tanah yang manusia tempati di bumi ini dari dulu sampai sekarang bukan milik sebagian atau sekelompok orang, melainkan milik Tuhan Yang Mahakuasa. Sebab, Tuhanlah yang menciptakan bumi ini dan segala isi di dalamnya, termasuk juga manusia. Oleh karena itu, sudah seharusnya manusia sebagai ciptaan Tuhan untuk selalu hidup rukun dan damai serta menjunjung tinggi sikap saling menghargai diantara sesamanya. (Yohanes Sangaria Bataona/rf-red-st)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini