Dalam lima tahun terakhir Gemini, ChatGPT, dan berbagai platform AI lainnya telah mengguncang dunia pendidikan. Apakah sekolah dan guru masih relevan? Survey UNESCO (2024) menunjukkan 60% pelajar Indonesia menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas. Bagaimana epistemologi (sumber pengetahuan) berubah ketika jawaban seolah hanya seujung jari?
Mendiang Jujun S. Suriasumantri, seorang dosen filsafat ilmu dan berpikir sistem di Universitas Negeri Jakarta, mendefinisikan epistemologi sebagai cara berpikir manusia dalam menentukan dan juga mendapatkan ilmu dengan menggunakan berbagai kemampuan yang tertanam di dalam diri seseorang, misalnya kemampuan indera, intuisi, dan juga rasio. Jika kita kaitkan dengan perkembangan dalam dunia pendidikan dapat dipahami dengan contoh, ada masanya pada jaman dahulu, siswa memperoleh pengetahuan dari guru atau buku. Namun saat ini, sejak pandemi Covid-19, dunia pendidikan seolah dipaksa berubah dan tidak dapat dipisahkan lagi dari pemanfaatan teknologi untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hitungan detik pengetahuan dapat diperoleh melalui berbagai platform AI. Namun, kemampuan indera, intuisi dan juga rasio dalam ranah pemanfaatan AI ini masih memerlukan keterampilan dan perhatian serius. Secara alami peran guru menjadi bergeser dari sumber pengetahuan menjadi pemandu literasi digital.
Adopsi teknologi dalam berbagai bidang memang sudah menjadi keharusan yang tidak dapat dihindari. Sekolah pun tidak luput dari adopsi teknologi yang melonjak sehingga literasi digital menjadi aspek yang krusial. Tanpa kemampuan literasi digital, baik siswa maupun guru hanya akan menjadi konsumen yang pasif tanpa mampu mengolah dan mengkritisi banjir informasi yang diterima dari berbagai platform AI. Tanpa literasi digital dan etika pemanfaatannya, banyak masalah akan timbul akibat penggunaan AI yang tidak bijak seperti plagiasi, bias, keterampilan analisa mendalam yang hilang, kreativitas terancam punah bahkan ruang diskusi yang hilang.
Dunia pendidikan tengah mengalami perubahan yang sangat nyata akibat disrupsi digital terutama berkembangnya berbagai platfrom AI yang seolah memberikan sumber pengetahuan instan. Pernahkan terlintas di benak Anda, jika pengetahuan semudah itu diperoleh dengan AI, lalu apa relevansi sekolah saat ini? Hal ini harus dicermati dengan kritis. Keberadaan AI tidak serta merta mengeliminasi kebutuhan manusia akan lembaga pendidikan terkhusus sekolah. Sekolah justru memiliki peran yang sangat penting di era AI ini. Sekolah mungkin tidak lagi berperan sebagai gudang ilmu, namun sekolah perlu mendefinsikan kembali keberadaannya sebagai pusat pembentukan manusia yang kritis, adaptif dan beretika.
Sebagai pusat pembentukan manusia yang kritis, adaptif dan beretika, sekolah melalui guru kini harus mulai memposisikan diri sebagai fasilitator literasi digital yang mengajarkan siswa cara membuat prompt yang tepat dan mampu mengkritisi informasi yang diberikan oleh AI serta memverifikasi kebenaran informasi tersebut. Dari sisi etika, guru perlu mengajarkan etika digital penggunaan AI yang bertanggung jawab, di dalamnya termasuk menghidari plagiarisme dan menjaga privasi data. Selain itu, ada peran sekolah dan guru yang tidak dapat digantikan oleh AI yaitu perannya dalam mengembangkan interaksi sosial dan emosional siswa. Kolaborasi, diskusi, debat, mempresentasikan ide secara kreatif hanya dapat difasilitasi oleh peran sekolah dan guru. Inovasi dan kreativitas yang otentik tidak dapat dihasilkan oleh mesin. Empati dan kecerdasan emosional tidak bisa diperoleh dari AI tetapi melalui interaksi tatap muka di sekolah. Bagaimana mendorong siswa menikmati proses belajar, menghadapi kegagalan, terus mengembangkan diri, hanya dapat dilakukan di sekolah oleh guru dan lingkungan sekolah.
Untuk menjaga marwah pendidikan, AI sebaiknya diposisikan sebagai alat bantu atau asisten bukan sebagai sumber utama pengetahuan. Guru perlu untuk menyelami integrasi AI dalam pembelajaran dan mengajarkan siswa bagaimana caranya memanfaatkan teknologi tersebut dalam batasan etika dan pemikiran kritis. Untuk merespon kebutuhan tersebut Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah melakukan percepatan dengan pelatihan Koding dan Kecerdasan Artifisial untuk seluruh guru di Indonesia. Masih banyak pro dan kontra dalam pelaksanaan pelatihan tersebut namun jika tidak segera dimulai maka pendidikan akan terus terseret dalam euforia AI tanpa mampu memfilter arus banjir informasi.
Dalam suatu wawancara yang dipublikasikan pada rubrik detikedu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti menekankan pentingnya AI yang harus dibarengi dengan etika pemanfaatannya. Pentingnya etika pemanfaatan AI ini yang akan menjaga perolehan pengetahuan tetap pada jalan yang benar dan bermanfaat tanpa menodai maruah pendidikan itu sendiri. (*)


