Generasi Z lahir di tengah cahaya layar yang tak pernah padam, ibarat sebuah sungai digital yang mengalir deras, penuh warna, dan tak mengenal jeda. Bagi mereka, ponsel bukan sekadar alat, tetapi rumah, kompas, dan cermin yang memantulkan jati diri. Seemiller & Grace dalam Generation Z: A Century in the Making (2019) menegaskan bahwa generasi ini hidup di dua dunia sekaligus: realitas nyata dan realitas virtual yang batasnya kian kabur. Ilmu tidak lagi dihayati sebagai perjalanan jauh menuju perpustakaan, melainkan sebagai kilatan pengetahuan yang muncul dalam satu sentuhan, saat video menjadi guru dan algoritma menjadi ruang kelas.
Berhadapan dengan arus digital tersebut, berdirilah seorang guru masa kolonial sebagaimana digambarkan Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1993) sebagi sosok yang membangun pembelajaran dengan kapur, kesabaran, dan kesunyian. Mereka tak memiliki game yang menarik, proyektor, atau visual yang memukau; hanya suara, moralitas, dan keteguhan batin. Ketika dua zaman ini bertemu di ruang segi empat bernama kelas, sering yang muncul bukan dialog, melainkan kegaduhan: murid cepat gelisah, mudah lelah, dan kehilangan fokus. Yu & Zhao dalam The Digital Natives in Education (2021) menegaskan bahwa pembelajar digital memang membutuhkan pengalaman multisensori dan dinamis; tanpa itu, kelas menjadi padang gersang bagi pikiran mereka yang bergerak cepat.
Digitalisasi bukan hanya mengubah cara belajar, tetapi juga menjadi penyembuh bagi bumi yang terluka. Produksi kertas dunia mencapai 400–420 juta ton setiap tahun (Statista, 2023), sementara industri pulp dan kertas menyerap 33–40% kayu industri global (EEB, 2023). Bahkan, 3,8–4,0 miliar pohon ditebang tiap tahun demi memenuhi permintaan kertas dunia (Economy Insights, 2024). Setiap lembar kertas sejatinya adalah sehelai daun yang hilang dari tubuh bumi; sebab itu, peralihan menuju sistem digital seperti ujian daring, arsip elektronik, administrasi tanpa cetak ini bukan hanya efisiensi, melainkan tindakan ekologis yang menjaga pohon tetap hidup, menahan tanah dari longsor dan banjir, serta mempertahankan keseimbangan iklim yang semakin rapuh.
Di tengah bisingnya zaman, kita kembali mendengar nasihat Ki Hajar Dewantara dalam Bagian Pertama Pendidikan (1936): tugas guru bukan sekadar mengajar, melainkan menuntun. Teknologi mampu menyalakan pikiran, tetapi hanya guru yang mampu menerangi jiwa. Karena itu, digitalisasi dan guru bukanlah dua kutub yang berseberangan, melainkan dua cahaya yang saling melengkapi dalam menjaga masa depan. Ketika ujian daring menghemat ribuan hingga jutaan lembar kertas, ketika pengarsipan digital mengurangi penebangan pohon, dan ketika sistem online menghemat anggaran serta tenaga, pendidikan bukan hanya mencerdaskan tetapi juga merawat hutan di bumi.
Rangkullah teknologi sebagai sahabat perjalanan dan biarkan layar-layar kecil menjaga hutan-hutan besar, sementara guru menjaga cahaya dalam hati murid. Ketika kapur tua, cahaya layar, dan dedaunan hutan akhirnya bersalaman, barulah kita memahami bahwa pertemuan kapur, cahaya, dan hutan dalam ruang segi empat bernama kelas harus di rawat masa kini dan terus di bawa ke masa depan. Sehingga esok bukan hanya guru dan murid yang bersahabat tetapi pada alam pun kita berjanji, “engkau sahabatku”. (Editor: Patrisius Leu, S.Fil./rf-rd-st)


