Ditinggalkan Sebatang Kara
Namaku Joy, nama yang tidak diberikan oleh orang tuaku. Lahir dari keluarga petani, dan hidup seadanya di kampung yang tidak jauh dari pusat kabupaten. Dalam kesederhaan itu, kami membangun hidup dengan saling mencintai dan menyayangi. Sejak dilahirkan sembilan belas tahun yang lalu, aku merupakan anak perempuan satu-satunya di keluargaku, dan karenanya orang tuaku sangat mencintaiku, manjakanku, memenuhi yang kubutuhkan. Aku tahu mereka melakukan semuanya itu dalam keterbatasan demi kecintaan padaku, tak membiarkan kemauanku terurung.
Kasih sayang yang sama juga dari kakak laki-laki. Ia memperlakukanku istimewa dan membawakan oleh-oleh ketika masuk rumah. Bagiku, kakakku adalah penyalur berkat. Aku beruntung memiliki keluarga seromantis ini. Di hati, selalu berdoa semoga semuanya abadi.
Ketika aku mulai mengerti apa artinya perjuangan untuk mendapatkan sesuap rejeki, aku mendengar desas-desus tetangga, menceritakan keadaan keluargaku. Aku mendengar kalau ayahku sering pajak-palak orang di jalan, mabuk-mabukan, dan pernah membongkar pagar sawah orang yang padinya sementara menguning. Sementara kakakku mirip ayah, suka mabuk dan biang pekelahian di kampungku. Ia masuk Daftar Pencarian Orang polisi dan mendekam di penjara. Hatiku teriris mendengar cerita itu dan menyaksikan kakak yang dipenjara. Tapi apa yang bisa kubuat? Aku masih kecil saat itu. Aku hanya berdoa Tuhan berkenan luruskanlah jalan hidup keluargaku. Aku mau kasih sayang yang sejak kecilku aku rasakan tak jauh pergi.
Suatu ketika, sekitar sepuluh tahun usiaku, saat aku sedang bermain, kudengar bunyi telepon genggam ayah berdering. Ayah bergegas menjawab. Aku mendekat, siapa gerangan yang menelepon dan apa maksudnya. Jawabannya halus, “Oke, terima kasih”. Lalu pembicaraan ditutup. Ayah pergi mendekati ibu yang duduk tidak jauh dari diriku. Tanpa basa-basi, berbisik “Besok pagi jam sembilan”. Apa maksudnya? Ibu tahu kalau aku mau bertanya. Ia mengusap kepalaku dan mengatakan besok pagi jam sembilan kakakmu akan dibawa pulang ke rumah. Saya menduga kalau tadi yang menelepon ayah adalah pegawai pengadilan. Rupanya dia mau mengundang orang tuaku mengikuti proses persidangan kakakku. Aku diam dan menunggu yang terbaik untuk kami.
Aku bangun kesiangan, semalam mete belajar untuk ujian semester ganjil dan tinggal beberapa hari lagi akan merayakan natal. Ayah dan ibu sibuk menyiapkan diri. Dalam kondisi setengah sadar aku teringat kalau kemarinnya ayahku diundang ke pengadilan. Aku masi bermalasan di pembaringan dan kubiarkan mereka pergi tanpa ciuman dan pelukanku. Tak terbayangkan olehku kalau pagi itulah yang terakhir sesungguhnya aku tak dapat memeluk dan mencium mereka. Suatu pelukan yang tak pernah kulakukan lagi. Kepergian mereka ke persidangan menjadi mimpi buruk keluarga seumur hidupku.
Kisah hidup keluargaku berubah begitu cepat. Bagai disambar petir. Aku masih ingat, hari itu, enam belas desember, ketika aku masih larut dalam permainan dengan seumuran di halaman belakang rumah. Tiba-tiba tetanggaku datang dan memelukku erat-erat tanpa suara. Aku terhipit dalam pelukannya. Tak lama berselang, tetangga lain bermunculan. Apa arti semuanya ini? Pikirku kalau-kalau ayah dan ibukku sudah hampir tiba dan membawa pulang kakakku dari penjara.
Mereka yang di sekitar mulai menitikkan air mata sambil membelai rambutku. Bahkan mulai berteriak histeris. Nama ayah dan ibuku disebut. Oh, ternyata ayah dan ibuku tertabrak mati dalam kecelakaan pada perjalanan pulang dari pengadilan ke rumahku. Barulah aku tahu kalau kedua orang tua telah tiada. Pangeran maut alias kecelakaan lalulintas telah menjemput mereka pergi.
Aku tidak mampu melewati hari-hariku tanpa kehadiran mereka, apalagi natal sudah di depan mata. Hati siapa yang tidak akan hancur, melihat ayah dan ibu terbujur kaku dalam sekejab. Natal sudah direncanakan bersama tapi ternyata hanya kurayakan sebatang kara. Air mata kesedihan kering dalam kehampaan. Aku dalam ketiadaaan. Aku sakit hati karena kakakku harus mendekam di penjara, tetapi aku tetap kuat karena masih ada kedua orang tuaku. Kini, ketika aku masih menantikan pembebasan bagi kakakku, aku semakin terluka karena kedua penyanggah kehidupanku telah ‘rubuh’. Seluruh kekuatanku telah pergi. Aku tinggal seorang diri dalam kelumpuhan, tak berdaya, sebatang kara. Masa kecilku harus diakhiri dengan kisah pilu ini, hidup tanpa ayah dan bunda, dan jauh dari kakak tersayang.
Akankah semuanya ini berlalu? Yah pasti saja berlalu, tetapi kelukaan hati dan ketersayatan jiwa membayangi kalbu perziarahan hidupku. Bak orang bijak mengatakan bahwa setelah hari mendung pasti akan akan ada hari cerah, setelah kekelaman pasti ada cahaya yang bersinar. Mungkin ini sekedar pelipur lara, tapi terus berharap semoga terang yang kunantikan bercahaya dalam hidupku.
Terus Berjuang Walau Tanpa Harapan
Pada hari-hari kedukaan itu, banyak pihak menaruh simpati. Selain karena memang aku sudah hidup tanpa kedua orang tua terkasih, juga terbilang sangat belia. Berbagai tawaran bantuan datang atas diriku. Ada banyak pihak yang menawarkan baik jasa baiknya untuk mengasuhku. Tetapi aku tidak serta merta memutuskan hal yang seesensial itu. Ada yang menawarkan sejumlah uang dan material lainnya. Ada yang iba dengan keadaan diriku, ada yang menaruh simpati dengan aku, tapi ada juga yang memberikan komentar miring, yang setidaknya membuat telingaku menolak mendengarnya. Ada suara sumbang yang mengatakan kalau nasib yang dialami oleh kedua orang tuaku merupakan balasan atas perilaku ayahku yang kurang beradab. Kehilangan kedua orang tua tidak bisa tergantikan oleh apa dan siapapun.
Aku termenung dalam kesendirian. Apakah memang benar komentar miring yang kudengar itu pantas untuk diberikan kepada ayahku? Aku masih kecil, aku tidak mengerti hal itu dengan baik. Aku hanya mau ayah dan ibuku bahagia di kejauhan sana melihat aku bangkit seorang diri. Perlahan-lahan aku mengarahkan pandangan ke depan. Aku terus berjuang walau mungkin tanpa harapan. Aku mau membangun hari depanku dengan kasih yang sama seperti ketika aku masih dalam keluarga kecilku dulu. Aku mulai berjalan. Perlahan aku belajar dari tetanggaku yang bahagia karena selalu ada dengan orang -orang kekasih mereka, dan yang kian hari kian menderita.
Aku teringat kembali komentar miring yang pernah orang lontarkan kepada kedua orang tuaku, yang mangatakan kalau kepergian orang tuaku karena perlakuan buruk ayahku. Lalu aku bertanya, apakah memang orang yang susah ini juga merupakan akibat dari perbuatan buruk mereka? Aku tahu bahwa tanpa ayah dan ibu pasti sulit, tapi aku selalu yakin dari kejauhan ayah dan ibuku pasti memelihara aku. Aku mulai meniti kehidupanku dengan orang-orang kesayangan yang ayah dan ibu tinggalkan bagiku. Orang tua dari ayah dan ibuku semuanya masih lengkap. Merekalah tumpuan dan curahan jiwa.
Sebresit Harapan di Tengah Kekelaman
Selepas menamatkan jenjang sekolah dasar, aku ditawari para donatur, yang dulu hadir saat pemakaman, untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Mungkin ini jalan Tuhan, dalam ketakpastian hidup masih saja ada orang yang mau menolong. Aku menerima tawaran itu dan mendaftarkan diri pada sekolah lanjutan pertama di desaku. Walau ada tawaran untuk belajar di kota. Mengingat ayah dan ibuku dimakamkan di samping rumahku, aku tidak mau jauh dari mereka, supaya ketika aku rindu, aku bisa duduk di kuburan mereka.
Singkat cerita, aku menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama. Aku terus dibiayai ke tingkat yang lebih tinggi. Aku mendaftar ke sekolah menengah atas yang ada di ibu kota kecamatan. Dan puji Tuhan, aku dapat menyelesaikannya tanpa hambatan. Di sini aku mulai melihat sebesit harapan dalam kekelaman hidupku. Aku mulai menyusun rencana di masa depan dan bertekad memanfaatkan setiap kesempatan yang ada dalam hidupku. Satu-satunya harapanku adalah meraih kembali kebahagian seperti masa kecilku, yang telah direnggut maut bersama kepergian ayah dan ibuku.
Menapaki Mimpi Menuju Kemenangan Atas Nostalgia Masa Lalu
Kebahagiaan masa kecilku menjadi suatu mimpi besar dalam hidupku. Akankah hal itu terjadi sementara ayah dan ibuku telah tiada? Yah, mungkin tidak persis seperti itu, tapi setidaknya esensi kebahagian itu tetap menjadi pusat perjuanganku. Lalu apa yang harus buat? Bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi setingkat universitas atau sekolah tinggi dengan bersandarkan pada donasi kaum yang murah hati itu? Ataukah harus harus bekerja untuk dapat menghasilkan sesuatu bagi diriku? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain.
Aku takut seperti kebanyakan orang yang sarjana tapi tak bermoral. Apalagi aku ingat dulu kalau orang yang menabrak orang tua adalah sebuah mobil dinas di kabupatenku. Dan sampai kini tak satu pun yang datang mengaku kalau dialah pelakunya. Dulu memang ayahku pernah berpesan kalau perilaku itu merupakan cerminan kepribadian yang paling dalam. Tapi sayang, ia dilabeli tukang pajak di jalan dan pemabuk. Kalau saja ayahku melakukan apa yang ia pernahkan katakan itu kepadaku, pasti orang tidak pernah menceritakan yang bukan-bukan tentang dirinya. Bisa dimengerti karena mungkin keadaan keluargakulah yang mendorong dia berbuat demikian. Mungkin ayah dulu tidak mau kalau putri semata wayang-nya menderita lantaran derajat ekonomi. Aku sungguh menyadari kalau memang keadaan keluarga sangat terbatas saat itu, tetapi ayah enjoy. Ternyata cara ayah tidak halal dalam mencari rezeki buat aku, ibu dan kakakku.
Dalam Kemenangan Aku Berkisah
Hari ini dan di sini aku harus memulai yang baru. Aku bukan lagi Joy yang suka menangis, rapuh dan tak berdaya. Sekarang aku seorang remaja putri, yang tahu apa yang bisa dan tidak bisa aku katakan atau lakukan. Aku hanya mau hidup sebagai seorang yang bebas, yang tidak terbeban oleh apa dan siapapun juga, apalagi masa laluku. Aku mau hidup sebagai seorang pemenang yang bisa berbagi tentang caraku keluar dari kekelaman hidup. Di atas bukit kemenangan ini, aku mau mengisahkan perjuanganku. Bahwa sesungguhnya tidak ada yang tidak mungkin, sejauh terus mencari solusi, semua soal pasti teratasi.
Di akhir kisah ini, aku mengutip catatan harian sahabatku: Berjuang sampai batas kemampuan kemanusiaan, perjuangan itu berpengharapan, sebab yang terdalam dari semuanya itu adalah cinta yang tak terbatas dari Allah. Salam Damai Natal 2025 dan Bahagia Tahun Baru 2026 buat teman-teman Joy di mana saja. Semoga Natal mendatangkan ketenangan jiwa bagimu dan Tahun Baru membangkitkan semangat hidup baru. (Editor: Patrisius Leu, S.Fil./rf-red-st)


