“Sekolah Puisi” Umbu Landu Paranggi

0
129
Umbu Landu Paranggi (CakNun.com)

Salah satu “warisan” penting penyair Umbu Landu Paranggi (1943 – 2021) yang menarik untuk ditelaah adalah “sekolah puisi” yang ia hidupkan, baik selama di Yogyakarta maupun ketika di Bali hingga akhir hayatnya. “Sekolah puisi” yang dimaksud tentu bukan sekolah dalam arti formal melainkan ruang ekspresi kreativitas yang dihadirkan dan diasuh oleh Umbu khususnya kepada generasi muda untuk menggali potensi diri sekaligus belajar mematangkan diri sebagai manusia melalui puisi.

Ruang itu adalah rubrik sastra (khususnya puisi) di Pelopor Yogya (saat Umbu di Yogyakarta) dan Bali Post (saat Umbu di Bali). Hal yang menarik yakni sebagai redaktur sastra, Umbu tidak hanya duduk diam menunggu kiriman naskah dari para penulis. Lebih dari itu, Umbu aktif membangun komunikasi (bahkan kedekatan) khususnya dengan generasi muda di zamannya, membangkitkan semangat bersastra dalam diri mereka, dan memberi motivasi kepada mereka untuk menulis dan mengirimkan puisi-puisi terbaiknya. Komunikasi itu dilakukan Umbu antara lain melalui catatan atau komentar atas puisi (baik yang dimuat mapupun yang belum dimuat di koran) yang ia sisipkan pada rubrik sastra yang diasuhnya, juga komunikasi langsung (tatap muka) atau melalui telepon ke masing-masing penulis yang dianggapnya potensial. Komunikasi lainnya yakni melalui kegiatan diskusi ataupun apresiasi puisi, juga lewat percakapan (kebersamaan) di komunitas-komunitas sastra seperti Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta, dan Sanggar Minum Kopi (SMK) di Bali, serta komunitas sastra lainnya, baik yang berbasis di masyarakat maupun di sekolah-sekolah.

Selain keaktifan Umbu untuk selalu menyalakan api sastra (khususnya puisi) dalam diri generasi muda sebagaimana tergambarkan di atas, salah satu hal yang unik sekaligus menarik untuk disimak adalah “kelas-kelas” yang dihadirkan Umbu di “sekolah puisi”-nya. “Kelas” yang dimaksud adalah pengklasifikasian puisi yang dimuat Umbu pada rubrik sastra yang diasuhnya. Misalnya, di Pelopor Yogya, teradapat kolom Persada dan Sabana. Dalam majalah Horison edisi XXXXI/2006 (rubrik Kaki Langit Nomor 117/2006), Korrie Layun Rampan menjelaskan bahwa ruang “Persada” merupakan wadah kompetisi para pemula, sementara “Sabana” diperuntukkan bagi para penulis yang telah dianggap “jadi”. Para penulis pemula digodok lewat ruang “Persada”, sampai karya mereka dianggap cukup dewasa, barulah karya-karya mereka diangkat ke ruang “Sabana”. Ruang “Sabana” ini dapat disamakan dengan Horison, Budaya Jaya, dan Basis ketika itu, karena umumnya nama-nama yang sempat bertengger di ruang “Sabana” muncul pula di majalah sastra budaya yang merupakan barometer sastra saat itu.

Sementara itu di Bali Post, khususnya dalam rubrik Apresiasi yang diasuhnya, Umbu mengklasifikasikan puisi-puisi yang dimuatnya ke dalam empat “kelas” sebagaimana dikisahkan Wayan Jengki Sunarta dalam buku Metiyem: Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi (2019). Ada kelas “Pawai” bagi pemula yang baru belajar menulis puisi, kelas “Kompetisi” bagi para penyair yang cukup gigih mengirim puisinya, kelas “Kompro” atau “Kompetisi Promosi” bagi penyair yang telah lolos dalam sejumlah kelas kompetisi, dan kelas “Posbud” atau “Pos Budaya” bagi penyair yang telah dianggap handal. Wayan Jengki Sunarta menambahkan, Umbu juga memunculkan kelas “Solo Run” bagi penyair yang karyanya ditampilkan tunggal dalam satu halaman penuh (koran). Selain itu, Umbu juga kerap memberikan apresiasi dalam bentuk penyematan nama khusus kepada beberapa penulis yang puisinya dimuat secara bersamaan dalam satu edisi terbitan. Misalnya, Umbu memberi slogan “Sajak-Sajak Trisula” saat memuat puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta, Raudal Tanjung Banua, dan Riki Dhamparan Putra. Tiga penyair itu dijuluki Umbu sebagai “Trisula”.

Itulah “sekolah puisi” Umbu Landu Paranggi. Sebagai guru, Umbu tidak hanya berpangku tangan di dalam “ruang kelas”-nya, melainkan dengan sabar dan setia mendatangi murid-muridnya dalam aneka cara, mengajak mereka untuk ber-“sekolah”. Sebagai guru, Umbu tidak sekadar mengejar “hasil” melainkan juga menanamkan “proses” di “sekolah puisi”-nya.

Mengapa demikian? Sebab, bagi Umbu, pembelajaran di “sekolah puisi”-nya, tidak semata-mata untuk melahirkan barisan sastrawan atau penyair-penyair handal, namun untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai kehidupan, apapun profesinya nanti. “Umbu itu bukan tipe yang mencetak barisan sastrawan. Bahwa seseorang menjadi penyair atau tidak, itu pilihan hidup masing-masing orang, tapi Umbu selalu berharap bahwa setiap orang apapun profesinya, mau dia dokter, mau dia hakim, mau dia insinyur, paling tidak orang itu pernah bersentuhan dengan puisi, pernah bersentuhan dengan apresiasi puisi, sehingga memberi wawasan, kepekaan batin pada profesi-profesi ini. Itu harapan Umbu, bukan mencetak barisan penyair. Soal menjadi penyair, itu pilihan masing-masing orang,” kata Wayan Jengki Sunarta dalam sebuah wawancara yang diunggah pada akun YouTube Netizen Indonesia pada tanggal 21 November 2021.

Sebelumnya dalam wawancara dengan majalah Balairung pada tahun 1999, Umbu menekankan perlunya menghayati sastra dan seni sebagai sesuatu yang personal, dekat, dan menumbuh. Menjadi penikmat yang apresiatif sudah memadai, tanpa harus menjadi sastrawan atau pekerja seni. “Masukilah dunia sastra dan seni sebagai orang yang bebas dan mau membebaskan diri, tanpa pretensi apa-apa. Ada sesuatu yang menawarkan kepenuhan di dalam sastra dan seni,” kata Umbu dalam wawancara tersebut sebagaimana dipublikasikan (ulang) pada laman balairungpress.com pada tanggal 31 Oktober 2018. (Robertus Fahik)

—————

*Mengenang hari lahir penyair Umbu Landu Paranggi (Kananggar, Sumba Timur, NTT, 10 Agustus 1943)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini