Periode Pembentukan: Bergulat di Bawah Langit Nita
Fase awal novisiat terasa seperti meninggalkan hiruk pikuk dunia untuk memasuki sebuah kedisiplinan total. Penyesuaian terbesar bukan pada pekerjaan fisik, melainkan pada keheningan. Keheningan yang mutlak itu memaksa saya bertemu dengan ‘suara-suara bising’ dalam diri. Ketakutan terbesar saya adalah keraguan akan kelayakan diri, rasa takut tidak bisa bertahan di tempat ini, dan ego yang selalu menuntut pengakuan.
Rutinitas harian menjadi medan tempur pertama. Kesulitan disiplin yang paling menantang adalah melawan dinginnya udara Nita saat bangun pukul 04.30 pagi untuk meditasi, atau perjuangan menahan kantuk saat lectio divina di siang hari. Rutinitas kerja dan doa tak henti, pagi- siang-sore-hingga malam, menguji batas fisik dan mental. Namun, tantangan terbesar dari semuanya adalah belajar hidup berkomunitas bersama dua belas rekan novis dari latar belakang dan budaya yang berbeda-beda. Di situlah kesabaran dan toleransi saya dilatih, diuji, dan ditempa.
Momen Epifani: Cahaya dari Gunung Keli Ke’o
Titik balik yang menguatkan panggilan saya terjadi di Retret Agung tahun pertama sebagai biarawan novisiat karmel Maumere. Kami menjadikannya di Gunung Keli Ke’o sebagai tempat pertapaan dan padang gurun kesunyian, meneladani kebermaknaan spiritualitas kenabian Elia. Selama hari-hari keheningan itu, saya bergumul hebat. Rasa tidak layak dan kegagalan terus menghantui. Puncaknya, pada malam Sabtu Kliwon, sebagai malam puncak Adorasi dan Ibadat Taize yang dipimpin langsung oleh Romo Zakarias Dena, O.Carm. Saya menerima nasihat yang sederhana namun menghunjam dari Pembimbing Novis. Katanya, “Panggilanmu bukan tentang seberapa hebat kamu bekerja, tetapi seberapa besar kamu membiarkan Tuhan mencintaimu dalam kerapuhanmu.”
Nasihat itu mengubah segalanya. Saya menyadari bahwa selama ini saya berusaha membeli panggilan saya dengan kesempurnaan dan kerja keras yang dipaksakan. Momen itu mengajarkan bahwa panggilan adalah anugerah, sebuah undangan untuk menerima diri sendiri dengan segala kerapuhan dan keterbatasan sebagai bejana yang dipilih. Sejak saat itu, setiap rutinitas tidak lagi menjadi beban disiplin, melainkan sebuah respons cinta yang tulus.
Hubungan Komunitas: Cermin yang Mengasah dan Menghangatkan
Komunitas Novisiat Weruoret-Nita menjadi laboratorium relasi yang paling berharga. Kami dipersatukan oleh satu cita-cita, tetapi dipisahkan oleh banyak perbedaan karakter. Saya belajar bahwa karakter rekan yang paling kontras dengan saya. Misalnya, Fr Boba dengan gaya bicara cepat yang meledak-ledak, sangat kontras dengan sifat pendiam saya. Kontras ini seringkali menjadi guru terbaik. Konflik dan gesekan yang muncul mengajarkan kami tentang pentingnya dialog yang tulus dan berani, menegaskan bahwa persaudaraan sejati tidak berarti ketiadaan konflik, melainkan komitmen untuk selalu mencari titik temu.
Dukungan persaudaraan juga hadir di momen yang paling sederhana. Saya paling mengenang kehangatan bersama Fr. Patris, Fr. Goris, dan Fr. Feliks. Kami saling berbagi teh panas dan ubi rebus di sore hari setelah doa, dan momen tawa terbahak-bahak saat bekerja bersama di kebun belakang. Momen-momen ini memperlihatkan bahwa komitmen pada Tuhan harus diwujudkan melalui komitmen tulus pada orang yang berada di sebelah kita.
Visi Masa Depan: Membawa Keheningan ke Dalam Pelayanan
Setelah dua tahun yang intensif, saya keluar dari Novisiat dengan fondasi spiritual dan karakter yang lebih matang. Ada nilai-nilai inti yang akan dan saya bawa ke masa depan pelayanan. Pertama, Hormat pada Proses: Menghargai keheningan dan refleksi harian sebagai sumber energi dan pertumbuhan spiritual, bukan sekadar kewajiban. Kedua, Otentisitas Komunal: Pelayanan harus selalu berangkat dari semangat “kita” dan dibangun di atas kejujuran dan dialog, bukan formalitas belaka. Dan ketiga, Kasih dalam Keterbatasan: Pelayanan yang paling mendalam lahir dari pengakuan dan penerimaan atas kerapuhan diri dan kerapuhan orang lain.
Penutup
Masa Novisiat di Weruoret-Nita (2005 – 2007) telah berakhir, tetapi cahaya yang saya temukan di keheningan akan terus menerangi langkah dan pelayanan saya ke depan. Sebagai penutup dari dua tahun intensif di Novisiat Santa Theresia Lisieux, Weruoret-Nita, bagi saya adalah laboratorium sejati bagi jiwa. Ini adalah periode peleburan yang mengubah keraguan awal menjadi keyakinan yang berakar.
Saya meninggalkan Weruoret-Nita bukan dengan jawaban yang lengkap, tetapi dengan kompas batin yang jelas. Nilai-nilai inti dari hormat pada proses, otentisitas komunal, dan kasih dalam keterbatasan inilah yang akan terus saya bawa dan tanamkan dalam pelayanan di masa depan. Dua tahun ini mungkin telah berakhir, namun proses pematangan diri yang berawal dari keheningan adalah sebuah perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Saya Karmelit Awam yang sekarang mengabdi sebagai Guru dengan mempraktikkan spiritualitas Karmel di lingkungan sekitar. Salam dan bahagia. (Editor: Patrisius Leu, S.Fil./rf-red-st)


