Pentas Seni Pelajar: Vaksin atau Virus Baru Dunia Pendidikan?

0
232
Oleh Marianus Seong Ndewi, S.Pd., Gr., M.M., Guru Seni Budaya SMAN 4 Kupang, Ketua Yayasan Pustaka Pensi Indonesia (YASPENSI)

“Kami bersyukur selalu mendapatkan kesempatan untuk tampil. Hampir tiap tahun. Ini kesempatan emas untuk mehasah kreativitas”, ungkap salah satu ibu guru SMA di Kota Kupang.

“Setiap tahun, pementasannya itu-itu saja. Selalu orang yang sama. Kurang menantang,” ujar salah satu penonton setia yang selalu berkomentar.

Auuuiii…ada lagu tik-tok di atas panggung? Mau jadi apa anak-anak itu?”, ungkap salah satu sopir bemo, ketika tak sengaja menonton story WA salah satu penonton.

Pentas Seni (Pensi)

Dalam giat tahunannya, UPTD Taman Budaya Gerson Poyk NTT, selalu menawarkan beragam konsep sajian pementasan. Hampir kompleks. Ada sajian seni music, rupa, tari, drama-teater, pun sastra. Para artis juga berasal dari lintas generasi, lintas profesi, dan juga litas budaya.

Ini tentunya bertujuan agar seni dan budaya dikenal dan dikenang oleh semua masyarakat yang berusaha mencintai budaya lebih jauh dan lebih kompleks. Cinta kepada budaya, tentunya tidak setengah-setengah, atau sebatas euforia dan fatamorgana semata.

Di penghujung November 2021, ada ruang bagi pelajar NTT untuk berkreasi dan memanfaatkan kemampuan terbaik mereka. Pentas Seni (Pensi) pelajar dengan tema, ‘’Gelar Karya Seni Pelajar Tahun 2021”, dan subtema, “Gelaran Kolaborasi Seni Pelajar Menyatu Dalam Identitas Budaya”, sejatinya sudah menyuguhkan dua ruang perspektif yang muncul bersamaan. Gelaran kolaborasi sudah dimaknai terlalu jauh oleh para seniman panggung, yang dalam hal ini diwakili oleh para pelajar di Kota Kupang (saja).

Pensi yang awalnya menjadi ‘’larangan’’ sementara di masa pandemi ini, di sini, menjadi satu sajian menarik. Perjuangan antara gelaran mempertahankan tradisi dan bangga luar biasa ketika menampilkan modernisasi, bak kisah buah simalakama; maju kena, mundur kena. Atau memang ini yang dinamakan kolaborasi?

Manajemen Pentas Seni PDCA

Rasa-rasanya sebuah pagelaran, otomatis di-manage sesuai sebaran praksis dan teori yang ada. Bahwa secara sederhana mesti ada yang mengatur, dan juga ada yang menilai, sampai pada mengevaluasi. Apakah ini benar-benar berjalan pada sebuah tatanan pementasan seni? Atau memang seni dimaknai sebagai hiburan semata, bukan sebagai ilmu pengetahuan yang akan menunjang SDM dan juga karakter para seniman?

Siklus manajemen plan, do, check, act (PDCA) adalah model manajemen yang diperkenalkan oleh W. Edwars Deming, yang bertujuan untuk perbaikan proses dan juga perbaikan individu secara berkelanjutan. Hal yang ditekankan dalam perspektif ini adalah fokus pada perbaikan proses, bukan perbaikan hasil. Apabila proses diterjemahkan dan diinterpretasikan secara baik dan benar, maka harapan akan perbaikan individu secara berkelanjutan (outcome) akan terjadi.

Pada tahapan plan, adalah tahapan identifikasi masalah. Bisa gunakan teknik sederhana analisis SWOT, agar mampu mengidentifikasi masalah dengan baik. Bahwa, memang sesungguhnya, Pensi yang diselenggarakan berulang-ulang, mestinya bisa terhindar dari kecolongan mementaskan konsep pementasan yang menimbulkan masalah baru.

Tahapan do, yakni menjalankan apa yang telah direncanakan. Masalah bisa saja ada pada tahapan ini, tetapi diminimalisir, kemungkinan muncul pada human error saja. Konsep pementasan sebaiknya mulus, karena sudah direncanakan dengan baik.

Tahap check, menurut Kanbanize, adalah fase yang paling penting, guna memperbaiki rencana, terhindar dari kesalahan berulang, dan lebih teliti. Perlu ditelusuri (diaudit) apakah bermanfaat. Permasalahan yang terjadi di tahapan do, mesti dievaluasi dan dieliminasi. Proses do and check, dilakukan berulang, hingga hasilnya, atau outcome yang diharapkan terwujud.

Tahapan terakhir adalah act, yakni menerjemahkan perbaikan dari fase do and check, yang mengidentifikasi masalah dalam implementasi rencana. Fase ini adalah terakhir, tetapi prosesnya akan berulang secara berkelanjutan. Setelah tahap PDCA ini, dimungkinkan akan menjadi standar baru sebuah projet pementasan.

Sebuah Catatan Pembelajaran

Dalam refleksi penulis, maraknya (banyaknya) program pementasan, banyaknya sebuah perlombaan karya seni, maraknya pagelaran festival seni, justru menurunkan esensi atau makna dari karya seni tersebut. Mengapa demikian? Karena jawaban atas pertanyaan ini, dapat berupa pertanyaan baru; sejauh mana itu menjadi penting? Setelah pementasan, apa yang dipelajari? Makna apa yang terkandung pada setiap gelaran yang rasa-rasanya massif dan lost control?

Catatan pembelajaran ini dibatasi pada gelaran Pentas Seni Pelajar 2021. Ada beberapa pikiran yang bisa dijadikan bahan diskusi, ataupun proses pembelajaran. Pertama, pagelaran ini mesti juga melibatkan siswa dalam struktur kepanitiaan. Minimal menjadi anggota dalam divisi atau seksi tertentu. Ini dapat menjadi sebuah ‘pemandangan’ yang menarik, bila para siswa terlibat di sebuah pagelaran besar, selevel hajatan propinsi. Di sini literasi tentang PDCA akan direkam dengan baik.

Kedua, karena nomenklaturnya Pentas Seni Pelajar, sebaiknya yang menjadi kepanitian kecil juga mesti siswa, semisal menjadi master of ceremony (MC), ataupun yang lebih besar menjadi even organizer (EO), atau mengurusi lighting, atau menjadi fotographer, videographe. Bukankah anak-anak NTT sudah hebat? Banyak yang menjadi duta atau menjuarai pidato level nasional, bisa dijadikan MC, ada SMK yang membidangi audio-visual, ada pun materi pelajaran seni budaya yang khusus membahas event organizer. Anak-anak SMA/SMP pasti punya kemampuan.

Ketiga, perlu penafsiran PDCA yang intens dalam pagelaran ini, agar outcome benar-benar didapatkan. Semisal masih ada kecolongan bergoyang plus music a la tik-tok bercampur satu konsep dengan tarian tradisonal.Apakah memang implementasi kolaborasi? Sebaiknya tidak. Kelihatan anak-anak (pementas) lebih bersemangat bergoyang tik-tok di panggung, daripada berlenggok menarikan bonet atau pado’a. Fungsi PDCA mesti intens untuk menangani ini. Jika tidak, ini akan jadi satu model konsep pementasan baru yang akan disuguhkan terus menerus. Taman budaya jangan sampai namanya diganti dengan taman lainnya. Budaya, ya budaya. Fokus. Pasti menarik.

Keempat, perlu diedukasi penonton-penonton di NTT, agar bisa membedakan menonton pagelaran seni, menonton konser musik, dengan menonton permainan sepak bola, atau menonton acara dab’ba (sabung ayam) di Sabu – NTT. Masing-masing punya cara mengekpresikannya. Semuanya tidak teriak dari awal hingga akhir. Teriakan yang hanya dari mulut, bukan dari otak. Merusak suasana keindahan dan suasana kesucian di panggung pementasan budaya. Ini mesti dimaknai dengan baik, agar masyarakat NTT benar-benar literat; karena harga diri NTT itu ada di tarian lokal tradisi, ada di makanan lokal, rumah adat, motif kain tenun, pernak-pernik, cerita rakyat, maupun tradisi dan teknologi tradisional yang berlaku di seluruh NTT.

Terima kasih Taman Budaya Gerson Poyk NTT untuk serangkaian program dan suguhan. Semoga tetap mempertahankan budaya dengan sistim PDCA yang lebih baik lagi, agar budaya NTT semakin dicintai sepenuh hati oleh pelajar NTT. Dapat salam dari daerah, kapan hajatan Pentas Seni Pelajar dibuat di daerah? Pasti bisa. Bergeser sedikit dari Kupang. PDCA bisa dijadikan vaksin ampuh, untuk melenyapkan virus modernisasi di dunia Pendidikan. Salam Budaya. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini