Susi adalah seorang gadis berusia 16 tahun. Ia dikenal memiliki kepribadian yang baik, cerdas dan lemah lembut. Ciri khas yang dimiliki membuatnya ia dipilih menjadi ketua kelas.
Gadis itu menyadari bahwa menjadi pemimpin bukanlah hal yang mudah dimana ada begitu banyak hal yang harus ia lakukan dalam memimpin seperti mengatur, mengontrol, dan menciptakan suasana aman, tertib dan bersahabat. Dengan bekal keyakinan yang kuat ia mampu memimpin teman-temannya dengan baik.
Pagi itu cerah namun tak begitu cerah bagi Ma’e dan Pe’u. Sebelum jam pelajaran dimulai kedua sahabat itu sedang berkelahi. Ketika Susi mengetahui bahwa terjadi perkelahian di dalam kelas, ia segera bergegas menemui mereka dan menghentikan perkelahian yang terjadi.
“Hentikan perkelahian ini,” Susi angkat bicara.
“Jangan ikut campur urusan kami. Urus saja urusanmu sendiri,” jawab Ma’e.
“Kenapa kalian berkelahi? Apakah dengan berkelahi dapat menyelesaikan masalah?”
“Aku tak terima kalau Ma’e menghina namaku?” jawab Pe’u.
“Sudahlah Ma’e, mendingan kamu jujur saja kalau kamu sudah menghina Pe’u. Sebagus atau sejelek apapun nama kita, itulah nama pemberian orang tua kita. Jadi, janganlah saling menghina. Saat ini juga kamu minta maaf sama Pe’u.”
“Aku tak mampu minta maaf sama dia. Kenapa kamu membela Pe’u?”
“Aku tak membela siapa pun. Aku hanya mengingatkan saja.”
“Bilang saja kamu membela dia. Oh… karena kalian berteman makanya saling membela?”
“Bukan begitu maksudku,“ jawab Susi.
Sebagai pemimpin, Susi harus lebih banyak menunjukkan kesabaran. Ia mengalah tetapi bukan berarti kalah. Ia tidak ingin menunjukkan integritas kepemimpinan yang salah di hadapan teman-temannya.
Menjadi pemimpin harus siap menerima segala risiko. Melihat sikap Susi yang luar biasa membuat Ma’e menyadari kesalahan yang diperbuatnya dan ia meminta maaf kepada Susi dan Pe’u.
“Susi, maafkan aku ya, atas sikapku yang kasar,” Ma’e menyesal.
“Iya, tidak apa-apa, yang terpenting kamu sudah menyadari akan kesalahanmu.”
“Aku bangga sama kamu, Susi. Meskipun aku sudah bicara kasar tapi kamu tidak marah sama aku. Aku berjanji kalau aku akan meminta maaf sama Pe’u.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Keesokan harinya Ma’e meminta maaf kepada Pe’u karena ia sudah menyadari bahwa sikapnya sudah menyakiti hati Pe’u.
“Pe’u, aku mau minta maaf sama kamu.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Aku sudah menghina kamu. Aku baru sadar bahwa tidak seharusnya aku menghina nama kamu.”
“Aku sudah memaafkanmu. Tapi lain kali jangan lagi kamu menghina aku.”
“Iya, aku janji.”
Susi berhasil mengubah sikap Ma’e. Dengan jiwa kepemimpinannya kedua sahabat itu yang semula berkelahi kini telah berdamai dan kembali bersahabat. (*)
Penulis: Erliana M. M. Tjiputra, S.Pd. – Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 7 Kupang