Membendung Anggapan PTK itu Sulit

0
249
Oleh E. Nong Yonson, Penulis “Dosa Sang Penyair”, Presiden KSK, Fasilitator Yaspensi.

Sanggupkah seorang guru melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK? Pertanyaan ini memosisikan guru sebagai sasaran dan tuntutan. Sebagai sasaran, seorang guru dipaksa dengan regulasi kenaikan pangkat. Sedangkan sebagai tuntutan, seorang guru diharuskan karena bertanggung jawab penuh atas hasil belajar peserta didik di kelas. Keberhasilan peserta didik menjadi indikator kualitas seorang guru yang sebagian besar justru tidak diberikan ‘tepuk tangan’ sebagai pengasuh mata pelajaran tertentu yang sukses.

Sasaran dan tuntutan ini, seperti membetangkan karpet merah bagi seorang guru untuk sesekali menjadi pemeran utama dalam sandiwara alasan-alasan. Entah alasanannya, disibukan dengan perangkat pembelajaran atau pun diperas keringatnya dengan tugas fungsional lainnya. Itu adalah sandiwara alasan untuk meluputkan diri dari sasaran dan tuntutan (PTK) itu.

Penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru di kelas. Jenis penelitian ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan peneltian deskriptif ataupun eksperimen. Apabila penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan apa yang terjadi dalam objek yang diteliti dan penelitian eksperimen memaparkan sebab-akibat terjadinya sesuatu dan adanya perlakuan, maka PTK merupakan gabungan keduanya. Artinya, selain menggambarkan apa yang terjadi, peneliti juga harus memaparkan sebab-akibat, dan seperti apa perlakuannya.

Ada tiga kata kunci yang wajib dipahami seorang guru sebagai tanda ia akan sanggup melakukan PTK, yaitu (1) penelitian; (2) tindakan, dan (3) kelas. Penelitian merujuk pada suatu kegiatan mencermati objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh  data atau informasi yang bermanfaat sebagai upaya meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting pagi peneliti.

Tindakan merujuk pada suatu gerak  kegiatan yang dengan sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Dalam hal ini, gerak kegiatan adalah adanya siklus yang terjadi secara berulang-ulang untuk peserta didik yang dikenai suatu tindakan. Sementara  kelas, dalam hal ini sudah diwanti oleh Johan Amos Comenius, seorang tokoh pendidik abad ke-18, tidak merujuk pada ruang atau tempat pembelajaran melainkan sekelompok peserta didik yang dalam waktu yang sama, belajar hal yang sama dari satuan pendidikan yang sama pula (Arikunto, dkk, 2015: 2).

Fenomena unik yang terjadi adalah secara konseptual seorang guru berperan sebagai fasilitator tetapi secara faktual justru menjadi teacher center (pembejalaran berpusat padanya). Dalam pembelajaran misalnya, guru masih menggunakan metode ceramah, yaitu menyampaikan materi ajar hanya dengan melisankan terus-menerus. Peserta didik dipaksa mendengarkan kisahan itu. Banyak peserta didik tidak tertarik dengan kebiasaan itu dan kisahan-kisahan itu justru ‘meninabobokan’ peserta didik.

Dalam pembelajaran melalui penelitian tindakan, guru tidak membiarkan peserta didik hanya mendengarkan dalam keadaan pasif, tetapi menciptakan stimulus agar peserta didik mampu memberikan tanggapan sehingga suasana kelas menjadi aktif-kompetitif. Selain peserta didik menanggapi, mereka juga saling bersaing mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan tanggapannya.

Kemudian, peserta didik diajak berpikir kritis, berpendapat solutif, menuliskan hasil diskusi secara kreatif, bahkan menyimpulkan secara inovatif, yaitu dengan diagram dan tabel. Inilah yang dimaksudkan dengan tindakan. Nama tindakannya adalah mengaktifkan kreatifitas dengan merekonstruksi pemikiran kritis dan solutif menjadi simpulan berupa diagram, tabel, dan sejenisnya secara inovatif.

Penelitian tindakan didasarkan atas sebuah filosofi bahwa setiap manusia tidak suka hal-hal yang bersifat statis, tetapi menginginkan sesuatu yang lebih baik dan berbeda. Sehingga pembelajaran yang monoton dan kaku tidak dapat menempatkan guru sebagai ‘fasilitator’ tetapi ‘koruptor hak peserta didik’. Sebab guru itu secara sadar merampas waktu berkualitas peserta didik. 

Fokus penelitian ini terdapat dalam sebuah verba yang menunjukkan kegiatan, yaitu tindakan. Memang dalam penelitian jenis ini mutlak ada tindakan. Namun, masih banyak juga yang mengartikan ‘tindakan’ adalah perlakukan seorang guru terhadap peserta didik di dalam sebuah kelas. Berarti, semua mata pelajaran dapat disebut tindakan? Anggapan inilah yang menempatkan guru merasa belum sanggup melakukan PTK.

Mari luruskan persepsi itu. Makna ‘tindakan’ dalam PTK tidak menjelaskan bahwa yang melakukan tindakan itu adalah guru, tetapi subjek tindakan yang akan ditingkatkan adalah kemampuan dan hasilnya. Bisa jadi, anggapan PTK itu sulit karena guru telanjur membaptis dirinya sebagai satu-satunya pelaku tindakan.

Misalnya, guru melakukan PTK, maka yang melakukan tindakan adalah peserta didik. Kepala sekolah melakukan PTS, maka yang melakukan tindakan adalah guru atau staf tata usaha. Pengawas melakukan PTSW, maka yang melakukan tindakan adalah guru atau kepala sekolah. Dengan demikian, peserta didik, guru, kepala sekolah yang sedang aktif mengikuti penelitian tindakan kelas adalah ‘subjek tindakan’.

Pertanyaan yang muncul adalah, “Seperti apa bentuk tindakan yang dimaksud?” Peserta didik yang berposisi sebagai subjek tindakan melakukan kegiatan yang diberikan oleh guru. Tujuannya tentu untuk keberhasilan peserta didik dalam sebuah proses pembelajaran. Untuk memberikan gambaran secara baik tentang pengertian tindakan, penulis menyajikan contoh sebagai berikut.

Seorang guru bahasa menemukan masalah dalam keterampilan menulis peserta didik. Masalah itu terletak pada ketidakpaduan (kohesi) penulisan karangan eksposisi. Tindakan apa yang harus dilakukan oleh guru? Pertama, mendata jumlah peserta didik di dalam kelas. Kemudian, membuat presentasi tingkat kemampuan penulisan. Mulai dari yang paling buruk kepaduan (tidak ada kesinambungan antarkalimat dalam paragraf) sampai pada yang sedang (sedikit ada kesinambungan).

Dari data itu, seorang guru wajib menyelisik, metode penulisan seperti apa yang ia berikan sebelumnya sehingga peserta didik belum mampu menuliskan karangan eksposisi secara kohesif? Situsasi seperti apa yang peserta didik inginkan dalam menulis? Jika yang bermasalah adalah metodologis dan psikoligis, maka yang perlu diberikan tindakan adalah kedua aspek itu.

Dalam konsep menulis karangan apa pun termasuk eksposisi, kepaduan menjadi salah satu persayaratan penting. Tindakan paling sederhana untuk melatih kepaduan adalah dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik menuliskan secara bebas sebuah kalimat yang berciri eksposisi.

Misalnya, salah satu peserta didik menulis kalimat pertama “Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa”. Setelah itu, guru memberikan lagi kesempatan kepada peserta didik untuk menuliskan dua kalimat setelahnya yang harus berkaitan dengan kalimat pertama. Lalu, guru memberikan tugas lagi untuk menambahkan tulisan itu menjadi enam kalimat, seterusnya menjadi tiga paragraf. Jika tahapan-tahapan itu dilakukan secara benar maka persoalan ketidakpaduan penulisan karangan eksposisi otomatis bisa diatasi.

Secara metodologis sudah bisa diatasi tetapi bagaimana dengan psikologis peserta didik. Rata-rata persoalan psikolgis peserta didik terbentuk dari ketidakakraban guru dengan peserta didik. Ketidakraban itu yang menciptakan jarak. Jarak menghadirkan kecanggungan dan ketidaknyamanan. Sebagai fasilitator, seorang guru harus berada dalam ruangan kelas dalam tindakan itu.

Tidak boleh memberikan tugas, kemudian meninggalkan kelas. Ia harus mendampingi peserta didik, memberikan arahan, dan juga memberikan stimulus berupa contoh agar peserta didik mendapatkan gambaran. Kedekatan emosional seperti itulah yang menciptakan situasi psikologis yang damai.

Pada dasarnya, anggapan bahwa sebuah penelitian itu terasa sulit dilakukan disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) masalah yang diteliti sangat berat; dan (2) tempat penelitian jauh. Kedua hal ini, tidak masuk dalam PTK. Sebab, masalahnya merupakan rutinitas seorang guru dan tempatnya merupakan rumahnya. Apa lagi yang perlu diperdebatkan? Ubahlah anggapan itu dengan sebuah tindakan. Buktikan bahwa yang dekat dengan masalah bisa menyelesaikannya secara ilmiah. (*)

Sumber Bacaan

Arikunto, dkk, 2015. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara

Dalman, H. 2014. Keterampilan Menulis. Jakarta: Rajawali Pers

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press

Suhendi. 2014. Cara Dasyat Menulis Artikel. Bekasi: Gramata Publishing

Tokan, P. Ratu Ile. Manajemen Penelitian Guru untuk Pendidikan Bermutu: Panduang Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi, Karya Ilmiah Guru-Dosen, dan Kebijakan Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo                           

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini