KAMU YANG DISEBUT ISTIMEWA
–
Tapak kakimu terlalu mudah untuk dikenali
Hujan di wajahmu terlalu deras untuk dinikmati
Bahkan sorot matamu mengisyaratkan pilu dirundung patah
Senyuman palsu telah jadi makanan sehari-hari
–
Tak ada bahu bersandar untuk sekadar berbagi keluh
Misalnya mereka yang mengaku mengenalmu sejak kau tumbuh
Setumpuk derita yang kau pikul telah merebut kilauan senja yang berharga
Sementara hati bergumam di mana arah cahaya pagi?
–
Temanku, sebenarnya aku tahu sedalam apa lukamu menganga
Sesakit apa kisah yang kau sulam rapi dengan senyuman gelisah tak berujung
Aku pernah tinggal di sana dalam waktu yang tak singkat
Menangis meringkih antara menyerah atau terus merangkak di antara sudut cahaya terpilih
–
Dengar, biar ku beritahu kau sesuatu… Tak ada yang kebetulan di semesta ini
Jangan dulu menyerah, teruslah memapah kaki kecilmu
Karena Tuhan ada di arena mendukungmu hingga permainan selesai
Perihal itulah mengapa kamu disebut ISTIMEWA
***
MEMINJAM TELINGA TUHAN
–
Setiap hari aku terbangun menyaksikan dunia yang semakin terluka parah
Semuanya berdarah tanpa terkecuali
Entah itu pelaku atau korbanya yang mencoba kuat padahal patah di lengan subuh
Mereka seperti orang asing bagi dirinya sendiri
Membungkam luka robek yang tak kunjung mengatup di kepalanya
–
Dunia membantai mereka tanpa malu dan gusar
Mencampakkan dengan kejam lalu memahat derita baru untuk para pemula
Sedang alumninya masih merangkak sambil bercerita perihal derita yang telah menjadi guru
–
Ketika ujung sabar telah mengangkat tangan menyerah tanda jeda
Ingin rasanya kupinjam Telinga Tuhan yang mungkin hampir jengah
Mencatat jiwa-jiwa yang terhilang meringkih di kaki waktu
Mereka yang terengah-engah merebah takdir yang menampar dengan sadis
–
Jantungku sekarat mendengar harapan mereka yang melarat karena si bodoh yang disebut hidup
Banyak selokan kotor menjadi rumah baru bagi malaikat kecil tak berdosa
Para pencari kardus lusuh dan kaleng bekas di tepi jalanan besar yang sebagiannya mati kelelahan
Bahkan tuan berdasi yang menutup kaca mobil terhadap suara bocah penjual koran
Semuanya demi sesuap nasi hari ini
Mirisnya negeri yang katanya tanah surga nyatanya hanya rumah untuk bermuram durja
–
Lalu di mana para pemimpin yang berposter sejuta janji
Yang kemarin berkoar-koar laksana panji?
Padahal omong kosong setengah mati
Sedang rakyat kecil hanya termakan janji sebagai syarat kotak pemilu
Coba sekali ini… Kau pinjamlah Telinga Tuhan
Dan rasakan bagaimana terisak atau terkapar tewas di jalanan
Karena harapannya telah tercuri celengan tuan besar
***
KOTA PUISI
–
Sore itu si penyair pulang melancong dari masa lalu
Dibawanya seransel penuh berisi rasa dan rindu dari jalan setapak
Dikumpulkan kembali warasnya yang pulang pergi terbawa angin
Tak sadar sudah sembilan tahun ia menjaga senja yang kini makin memerah di kota puisi
–
Kini dia menyeduh kopi hitam lalu minum di beranda
Mungkin menunggu senja berlalu di sebuah kolom percakapan
Tapi senja malah bepergian ke ujung kota, hilang menjadi temaram
Dia bungkam, dia keluh dan kopi sudah tidak pahit lagi
–
Pagi masih remang, gerimis terasa manis
Bus-bus kota ricuh mempertanyakan seorang gadis
Di mana gadis cantik yang kemarin mencuri hati tuan kami?
Dia sedang pergi mencari ikan di tepi laut untuk makan malam kedua orang tuanya
Tapi dia tak pernah pulang sebab senja telah menelannya di ujung lautan
Sahut seorang sopir bus tua yang juga diperdaya senja
–
Penyair kini menyadari senja itu terlalu indah lagi terlalu tinggi
Sia-sia ia memetik senar gitar menunggu malam minggu
Karena sepertinya kini watak senja sulit ditebak apalagi hatinya
Semoga berbahagia
Ku kirimkan kau secarik rindu dan segenggam canda
Dalam dinginnya kota puisi
***
DIA
–
Tadi malam kulihat dia tertawa
Tadi pagi kulihat dia tersenyum biru
Mengapa sore ini tiba-tiba dia menangis?
Sepertinya cuaca sedang tidak baik
–
Adalah sebuah rasa kalau dapat dirasa
Adalah sebuah ruang kalau dapat diisi
Tapi jika ruangnya rumpang dia mati rasa
Dia berduka saat kosong dan sepi
–
Toko buku menjadi bilik tidur ketika dia sedang gundah
Sementara apotek adalah tempat singgah untuk ngemil
Sesekali menikmati teh di sebuah cafe dekat penjara
Berharap ayah dapat remisi dan pulang lebih cepat
–
Kadang dia lembur sampai babak belur
Bukan apa-apa biar mereka tahu dia juga manusia
Hentikan omong kosong tentang bahagia
Kalau kita hanya akan berakhir sebagai manusia bermasalah
***
REGESTI SALOMI BAUANA, lahir di Olafulihaa pada 29 Agustus 1995 dan sekarang menetap di Rote Ba’a, Nusa Tenggara Timur. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Olafulihaa pada tahun 2004, melanjutkan pendidikan ke SMPN 1 Pantai Baru selesai pada tahun 2010, SMAN 1 Pantai Baru selesai pada tahun 2013 dan pada akhirnya menamatkan studi Sarjana di Universitas Nusa Lontar Rote pada tahun 2019.
Memiliki hobi membaca karya fiksi membawanya mencintai dunia puisi, sebab baginya puisi itu bernilai magis seperti isi hati dan isi kepala penulisnya. Ia menulis beberapa puisi untuk mengisi waktu luang, diikutkan ke beberapa lomba puisi dan pernah masuk dalam 50 karya terbaik yang dibukukan dalam buku “Kata-Kata Kita” (Akalanka Team). Beberapa puisinya juga dibacakan melalui platform youtube dengan nama channel Regesti Salomi.