
Kota Kupang, SEKOLAHTIMUR.COM – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pemajuan Kebudayaan Daerah. Perda ini lahir dari pengalaman bahwa sebagian budaya kita diklaim oleh bangsa lain. Salah satu objek dalam perda tersebut yakni bahasa (pasal 20).
Demikian disampaikan Sekretaris Komisi V DPRD Provinsi NTT Jan Pieter Windy, S.H., M.H., ketika menjadi pembicara dalam diskusi panel sesi pertama pada Rakor Pelindungan Bahasa Daerah di NTT Tahun 2023, Senin (27/03/2023) di Hotel Neo Kupang. Menurutnya, pemerintah daerah perlu terlibat dalam pemajuan budaya daerah, salah satunya bahasa.
Bahasa, lanjutnya, menjadi salah satu aspek penting dalam sebuah peradaban. Ia mengakui, banyak pengetahuan yang hilang karena bahasa.
“NTT memiliki budaya tutur, budaya lisan yang kuat, dan kita kehilangan banyak pengetahuan karena bahasa,” ungkapnya.
Dirinya pun mengapresiasi Kantor Bahasa Provinsi NTT yang telah menginisiasi program Revitalisasi Bahaa Daerah di NTT. Ia berharap program tersebut dapat didukung oleh semua pihak terkait sebagai bagian dari upaya menjaga dan memajukan kebudayaan daerah di NTT.
Sementara itu pemateri lainnya pada sesi yang sama, Wakil Bupati Rote Ndao Stefanus M. Saek, S.E., M.Si., mengungkapkan, Rote Ndao merupakan salah satu kabupaten yang kaya akan budaya dan tradisi. Berbagai tradisi lisan yang menghiasi tindak tutur sosial masyarakat seperti syair (helo), cerita-cerita (tutuik), bahasa-bahasa tetua (dede’a lasik). Terdapat kurang lebih 52 jenis bunyi gong dan tarian yang dikenal masyarakat Rote seperti foti, kebalai, taibenu, te’orenda, batu matia, dan lain-lain.
“Berbagai alat budaya diciptakan untuk menjadi warisan nasional, salah satunya adalah alat musik SASANDO. Berdasarkan data DPK (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan) Kabupaten Rote Ndao tahun 2018, masyarakat Rote Ndao mengenal kurang lebih 2.342 cerita rakyat mulai dari cerita dongeng, fabel, sampai cerita sejarah, dan religi dan masih banyak budaya yang menghiasi kehidupan sosial politik masyarakat Rote,” ungkapnya.
“Beberapa unsur kebudayaan masyarakat Rote yang sudah hilang atau terancam punah adalah tuturan-tuturan dan syair-syair, cerita rakyat, beberapa tarian, bahkan bahasa Rote juga masuk dalam salah satu unsur kebudayaan yang hampir punah. Hal ini dipengaruhi oleh berkurangnya penutur bahasa Rote bagi penutur produktif yaitu anak yang berusia di bawah 20 tahun sudah tidak dapat lagi berbicara bahasa Rote,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam menanggapi kepunahan berbagai unsur kebudayaan di Rote Ndao, pemerintah daerah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pelestarian Bahasa dan Budaya di Kabupaten Rote Ndao.
Dari Perda tersebut, jelas Setefanus, terdapat beberapa poin yang mendukung pelestarian bahasa daerah Rote yakni, (1) bahasa Rote dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran Muatan Lokal di sekolah, (2) pembiasaan berbahasa Rote setiap hari Jumat kepada setiap ASN di Kabupaten Rote Ndao, dan (3) pelaksanaan berbagai festival dan perlombaan tentang literasi berbahasa Rote.
“Pemerintah Rote Ndao mengharapkan dukungan dari Badan Bahasa melalui Kantor Bahasa NTT untuk revitalisasi bahasa Rote. Pemerintah Kabupaten Rote Ndao menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah RI khususnya Kemendikbudristek melalui Badan Bahasa yang telah menetapkan Kabupaten Rote Ndao sebagai salah satu Kabupaten Revitalisasi Bahasa Daerah dalam program Merdeka Belajar Episode-17,” pungkasnya. (*RF/rf-red-st)