Tahan Uji di Masa Studi

0
162
Ilustrasi. (iStock)

Medio Juli 2020, di sudut kamar yang remang-remang bercahaya kuning keemasan, sosok lelaki seumuran tujuh belas tahun sedang bergelut hebat. Rupanya pencahayaan kamar dan syair lagu “…hati senang walaupun tak punya uang” dari HP Samsung A-100 mendukung gejolak batinnya mengenai masa depannya.

Kepala seperti mau pecah, keringat, napas terengah dan kerongkongan serasa sesak. Ia sudah beberapa kali menghubungi keluarga dan sahabat kerabat dan keluarga besarnya untuk membantunya. Dua jam berlalu, belum ada jawaban balik untuk menyelesaikan pergumulannya. Mungkinkah ia harus berhenti sekolah, mengubur masa depannya di SMK Bahari Nusantara, salah satu Sekolah Pelayaran terbaik yang ada di kotanya?

Petrus, demikian sapaannya, tinggal seatap dengan walinya, Bapak Yosef dan Maria istrinya. Mereka berhimpitan menempati rumah semi permanen berukuran 6m x 6m, dihuni 6 jiwa di bilangan kelurahan Penkase Oeleta atau lebih dikenal dengan daerah Osmok.

Pergulatannya dimulai sejak ia menempati kelas XI Jurusan Teknika Kapal Niaga. Padahal semasa duduk di kelas X, semua baik-baik saja. Waktu itu, Petrus diminta pulang oleh pihak sekolah lantaran belum melunasi iuran Komite Sekolah yang tertunggak 4 bulan di awal semester pada kelas XI.

Ia merasa kesal dengan perlakuan sekolah yang menurutnya tidak punya kebijakan baginya. Mau mengeluh, entah kepada siapa? Walinya juga tidak mungkin membantu bila telah mendengarkan keluhannya. Ada tanggung jawab buat ketiga anaknya yang berada di bangku pendidikan. Urusan keluarga juga sering ditalangi walinya. Jadi Petrus tidak mau merepotkan. Mau mengeluh ke orang tua, ia malah kasihan pada kondisi ekonomi di kampung yang sangat pilu setelah dilanda wabah Corona Virus dan berlanjut badai Seroja yang menyeluruh.

Dalam kesendirian di kamar berukuran 2m x 3m yang dihuni Petrus bersama dua anak walinya itu, terlintas ide yang sudah dianggapnya cocok dari sekian ide yang melintasi pikiran galaunya. Ia menimang dan memutuskan untuk berkerja sebagai buruh bagunan, sambil sekolah. Mumpung waktu itu pemberlakuan jam belajar peserta didik disesuaikan dengan laju mundurnya Corona. Sekolahnya memberlakukan pembelajaran shift. Ini kesempatan bagi Petrus. Ia memanfaatkan pagi hari untuk berkerja dan siangnya ia pergunakan untuk belajar luring dan online.

Penghasilan yang didapatkannya dari buruh bangunan digunakannya untuk membeli paket data internet dan membayar uang komite sekolahnya, fotokopi lembar kerja siswa/modul ajar dari guru, serta membeli beberapa kebutuhan pokok di rumah. Memang tidak banyak tetapi setidaknya ia bisa berbagi. Perjalanan hidup pada titik ini stabil menuju kelas XII. Petrus bisa sedikit bernapas lega.

Setelah menyelesaikan berbagai administrasi sekolah yang berhubungan dengan tuntutan untuk mengikuti ujian semester dan kelengkapan kelengkapan atribut sebagai seorang siswa, Petrus akhirnya dinyatakan naik kelas XII. Ia heran saja, bagaimana mungkin soal-soal ujian yang disajikan para guru matapelajaran dalam bentuk soal HOTS bisa diselesaikannya bahkan nilainya tinggi.

Keheranannya berlanjut, bagaimana mungkin beberapa temannya yang tidak pernah hadir virtual dan hadir tatap muka selama satu semester penuh tapi kok bisa naik kelas? Tanyanya membatin. Bahkan jadi perguncingan di antara mereka dalam kelas. Perguncingan berlanjut ke ranah dewan guru. Tetapi putusan naik kelas tak dapat dibantah Petrus sebab itu hak para pengatur sekolah. Daripada memikirkan nasib orang lain dan urusan kenaikan kelas yang dirancangkan para guru, lebih baik memikirkan nasibnya yang sudah berada di kelas XII, demikian Petrus memilih jarak aman.

Berada pada kelas XII biasanya disebut sebagai senior untuk adik-adiknya. Senior, sebutan yang biasa disandangkan kepada kakak kelas. Senior juga berarti karena mereka telah memiliki sejumlah ilmu dan kompetensi tertentu di bidangnya, menunjukkan sikap dan keteladanan dalam berbagai disiplin ketarunaan, dan karena diberi tanggungjawab tertentu selama masa pendidikan dan pembinaan di sekolah. Karenanya, mereka disebut senior.

Petrus tidak peduli penyebutan dan pengenaan gelar senior pada dirinya dan teman-teman kelas XII. Ia lebih berpikir untuk bagaimana menguasai materi ajar, mengumpulkan tugas tepat waktu dengan nilai yang cukup, dan ada kesempatan berkerja untuk membayar sumbangan pendidikan dalam bentuk iuran Komite sekolahnya.

Sementara bertualang dengan pikiran segar telah berada di kelas XII, di puncak tertinggi petualangan intelektual karena sebentar lagi akan lulus, justru Petrus dikagetkan dengan sepucuk surat dari sekolah. Isi surat menyatakan bahwa ia dipulangkan ke rumah orang tuanya lantaran dua alasan.

Pertama, ia tidak bisa mengikuti ujian semester karena 3 bulan menunggak keuangan komitenya; dan alasan kedua ia tidak diikutsertakan dalam praktek kerja lapangan (PKL) di kapal lantaran belum melunasi uang makan untuk praktek di kapal. Ia harus bersabar dengan perlakuan ini walaupun sangat kesal dengan perlakuan ibu bapak gurunya. Baginya pihak sekolah tidak paham dan bertindak semena-mena.

“Petrus, sudahlah. Tidak usah digurbris. Toh mereka tidak paham urus sekolah.”

“Maksud kamu apa, Ahmad?”

“Lihat nih, kiriman Om saya yang bekerja sebagai Wartawan pendidikan di daerah”.

“Apa sih isinya?”

“Pasal 52 PP Nomor 48/2008 tentang pendanaan pendidikan menyebutkan bahwa pungutan pendidikan tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan”.

Ahmad menbacakan isi undang-undang dengan serius. Uraian penjelasan Ahmad sangat dipahami Petrus tetapi tidak dipahami oleh para pelayan dan pendidik di sekolah mereka. Atau mungkin juga mereka tidak tahu. Sebab ketika keduanya menyinggung soal undang-undang ini, tidak direspons gurunya. Malah dibentak dan disuruh pulang.

Pikirannya bertambah kacau. Sesampainya di tempat kerja, ia dikeluarkan dari tempat kerjanya, karena diketahui statusnya masih bersekolah.

“Adik, mulai hari ini, adik berhenti bekerja di sini. Tuntutlah ilmu dulu di kelas, jangan buang waktumu ikut om-om yang tidak sekolah di proyek ini,” kata-kata ini menghentak Petrus.

“Tapi, pak, saya kerja untuk bayar uang sekolah saya,” Petrus menyela.

“Sudah. Ambil sedikit pemberian ini dan honor harianmu. Pergi dan kejar cita-citamu. Anak sekolah tidak boleh putus sekolah. Biarlah itu pengalaman pahit kami, kalian yang muda-muda di era modern ini harus lebih baik.” Nasihat yang menggetarkan kalbu.

Hari itu juga Petrus pulang. Menjadi juru parkir pilihannya. Sedikit-demi sedikit uang dikumpulkannya. Setelah uang terkumpul, pergilah ia ke sekolah untuk membayar tunggakan komitenya. Tetapi Petrus belum diijinkan mengikuti parktek layar, karena belum membayar uang makan di kapal. Uang itu ditaksir sekitar ratusan ribu rupiah perbulannya. Bila dijumlahkan nominalnya bisa jutaan rupiah untuk tiga sampai 6 bulan.

Petrus bergelut lagi membatin mengeluh: “Mengapa sekolah tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan kapal dan pemerintah supaya uang makan kami di kapal diringankan? Atau kalau bisa tidak ada uang makan saja? Terlalu mahal untuk menjadi siswa pelayaran, tuntutan terlalu banyak”.

Persoalan uang makan siswa sering dipertanyakan dan dipersoalkan para orang tua saat rapat. Dalam rapat itu kesepakatan mungkin didapat, tetapi setelah anak berpraktik di kapal bisa saja berubah: ada yang uang makannya makin mahal tanpa penjelasan komperhensif dari pihak sekolah dan perusahaan, tetapi ada juga uang makannya juga diringankan, bahkan ada juga kapal yang membebaskan biaya uang makan. Butuh tim penjajakan PKL yang handal dalam hal ini.

Batin Petrus bergelombang seperti dihantam arus pada kapal. Ia berpikir untuk mencari tambahan penghasilan dari tempat lain. Beban ini harus ia tuntaskan sendiri.

“Kalau minta orang tua dan keluarga itu mustahil dapat. Kalau tidak kerja, uang tidak cukup. Kalau mau kerja, tapi kerja apa yang bisa dapat uang cepat. Mau berhenti sekolah, ini sudah di akhir perjuangan”.

Ia pun menggunakan bakat dan kompetensinya untuk bekerja paruh waktu di bengkel motor yang ada di sekitar kelurahan Penkase Oeleta hingga Namosain. Memang jangkauan ilmu mesin di darat dan mesin di laut agak jauh tapi setidaknya, ada hal-hal yang sama pada kedua kompetensi ini. Sambil mencari-cari kerja, ia juga sempatkan berdoa di kamarnya dan kadang-kadang tengah malam pergi ke gua Maria dan masuk dalam Gereja. Ia berdoa minta pertolongan kepada Tuhan.

“Ya Tuhan, jika memang ini ujian yang Kau berikan kepadaku, aku siap untuk menerimanya. Tuhan, di saat ini anak-Mu ini memohon, agar memberikan jalan keluar, agar anakmu ini bisa mengikuti segala kegiatan yang akan anak-Mu ini lakukan, sesuai program sekolah.”

Beberapa saat berlalu, orang tuanya dari kampung datang membayar separuh uang makan praktik layarnya di sekolh. Ia juga dibantu walinya, walupun sedikit. Penghasilan dari bekerja tanpa pengalaman di bengkel motor juga ada tambahan penghasilan. Dan ada beberapa gurunya yang dengan sepakat memberi beberapa lembar kertas daun merah dan berwarna biru dalam nominal rupaiah. Ia sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan, karena telah mendengarkan doanya.

Tibalah harinya ia akan melakukan PKL di kapal bernama KMP. Bintang Laut Express. Awal menjalani PKL, semuanya terasa baik dan berjalan lancar. Semua crew kapal kagum padanya kerena kerja kerasnya. Bekerja rajin, bekerja sesuai prosedur dalam cadet recordbook mesin, mengisi jurnal harian kerja di kapal sesuai kompetensi yang dipraktikannya, melakukan wawancara dan diskusi ringan dengan para perwira kapal dan Cadet (pelaut muda) serta sesama siswa PKL dari sekolah lainnya yang berpraktik bersama di kapal. Semua dilakoninya guna mensandingkan pembelajaran di kelas dengan kenyataan di kapal praktiknya. Semuanya sesuai arahan gurunya dan penjelasan tentang kurikulum SMK yang diperolehnya sewaktu berada di kelas X saat mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS).

Di kapal paraktiknya itu, ada juga seorang taruni (sebutan siswi pelayaran) dari sekolah lain yang melakukan PKL. Cantik, anggun, dan menarik, sopan dan rajin adalah karakter awal yang diamati Petrus dan para penghuni kapal pada taruni itu. Sebut saja namanya, Diana. Diana menjadi sorotan mata dari beberapa rekan seusianya di kapal. Petrus menaruh hati pada Diana. Keduanya pun berpacaran kuncing-kucingan. Beberapa saat lamanya, Petrus baru sadar kalau Diana pernah menjalin hubungan dengannya lewat dunia maya. Dan di kapal mereka inilah keduanya bertemu di saat PKL.

Setelah melewati 2 minggu kisah pacaran, bagian perut Diana sering terasa sakit. Petrus setia mengurusnya di kala waktu luang di kapal. Sampai suatu ketika Diana mengaku jujur pada pacarnya Petrus, kalo ia sedang hamil. Diana telah hamil selama 3 bulan. Sontak, si petrus ini kaget.

“Kamu hamilnya sama siapa?

“Sama pacarku.”

“Siapa dia?”

“Pacarku bernama Dedy”.

Petrus kecewa dan sempat mengeluarkan banyak kata kotor dari mulutnya sebagai doa buat Diana. Seakan ia tidak ingat lagi kalung Rosario yang menggantun di lehernya. Tidak butu waktu lama, berita ini tersebar ke seluruh kapal ASDP, bahkan ke telinga guru. Para awak kapal berkesimpulan dan menuduh kalau Diana dihamili Petrus. Berita ini heboh.

Pihak kapal mengabari hal ini kepada sekolah. Pihak Kapal dan sekolah bersepakat untuk memberhentikan kedua pasangan ini dari kegiatan PKL.

Dalam waktu yang singkat dan cepat kedua sekolah mengutus guru pembimbing PKL dari sekolah masing-masing untuk menjemput kedua kedua pasangan ini di Pelabuhan saat kapal labuh jangkar. Sebelum turun dari kapal, sempat ada insiden kekerasan kecil dari guru Deswinta terhadap Petrus. Tamparan dan tendanagan mendarat di tubuhnya. Tapi Petrus diam, tak bersuara dan tak membalas. Ia cuma bisa bersuara batin: “ini salahku, aku pantas menerima semuanya”.

Ia seakan tidak punya kesempatan untuk menjelaskan “kebenaran” ketika dituduhkan seperti apa yang terlihat oleh awasan mata dari orang-orang kapal. Ia juga tidak marah kepada pihak kapal apalagi ke sekolah dan guru-gurunya. Ia juga tetap sabar menerimanya. Hari itu juga ia kembali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, di depan pintu kedua walinya menyambutnya dengan memukul dan memarahinya. Berita tentang dirinya sudah sampai di rumah sebelum ia tiba dan menjelaskan. Petrus sepertinya juga tidak diberi waktu dan kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya kepada wali dan keluarganya akan apa yang telah terjadi pada Diana dan dirinya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Yosep dan Maria mengambil keputusan untuk mengeluarkannya dari rumah mereka.

“Sekarang keluar dari rumah!”

“Iya, saya keluar.”

Petrus pun keluar dari rumah, keluar dari kehidupan kedua walinya. Ia tinggal bersama om Sebastian, di kos-kosan sempit dan kecil berdinding bebak, masih dalam lingkungan yang sama, tak jauh dari rumah walinya.

Sekian berjalannya waktu, PKL diselesaikan dan ujian sekolah juga telah selesai. Petrus dinyatakan lulus oleh rapat dewan guru dengan nilai yang lumayan tinggi nyaris sama dengan temannya yang paling cerdas. Ia tahu bahwa nilai tinggi itu bukan usahanya karena ia sadar kemampuannya tidak demikian sesuai dengan yang tertera pada secaraik kertas yang menyatakan nilai dan kelulusannya.

Kini ia sudah menamatkan studinya. Tak lupa ia, mendatangi guru-gurunya, meminta nasihat mereka dan berkunjung ke gua maria dan bertandang ke Gereja untuk berdoa. Ia tidak memikirkan pembelaan dirinya atas Diana yang hamil dari pacarnya Dedy. Ia ikhlas semuanya biar ia yang tanggung deritanya. Lilin bernyala dan untaian rosario didaraskannya untuk pemulihan dirinya dengan sikon yang dialaminya dan permohonan ampun serta sekali memohon berkat Tuhan untuk masa depannya.

Hari-hari setelah tamat dilakuinya dengan bekerja sebagai kuli bangunan untuk dapat mengambil ijazahnya karena itulah persyaratan dari sekolah bila hendak mengambil ijazah harus sudah lunas administrasinya. Keluar dari kantor sekolah, Petrus bertemu dengan teman-temannya di langit melalui jaringan seluler grup WA kelas XII. Mereka bersepakat mengadakan acara perpisahan. Dalam perpisahan yang digelar, terlihat ekspresi menangis akan kehilangan teman-teman seperjuangan. Ada yang bercerita rencana mengatur dan mempersiapkan diri menyambut masa depan mereka. Ada yang ingin kuliah, bekerja di kepal, masuk anggota TNI-POLRI dan menjadi guru.

Petrus berencana akan mengikuti tes TNI-AL di LANTAMAL VII Kupang. Tetapi keinginannya itu dihalang oleh om Sebastian, kakak dari ibunya.

“Kamu harus tetap bekerja buruh bangunan untuk menyambung hidupmu. Baik kalo kamu lulus tes, kalau tidak lulus? Kamu mau kerja apa, mau makan apa?”.

Spontan Petrus marah pada omnya, karena ini sudah menjadi cita-citanya sejak SD. “Bukankah sebaiknya kita coba dulu untuk tes? Om macam apa yang melemhkan mental anaknya!”.

Merasa diajari dan digurui oleh ponaannya yang tidak paham dengan arah pikirannya dan rencana indah untu ponaannya, akhirnya om Sebastian mengambil keputusan untuk mengusir Petrus keluar dari kosnya yang didiami mereka berdua. Ponaannya Petrus dianggap sudah melawan.

“Sekarang ini juga, kamu keluar dari kos!”.

Tanpa pikir panjang, tanpa menyela dan dalam diam ia tak menjawab. Ikhlas mungkin kata yang pas menerima keadaannya.

“Ia saya keluar, Om. Semua kebaikan Om tidak saya lupakan. Terima kasih Om sudah menolong saya. Saya pamit, Om”.

Setelah si keluar dari kos omnya, hidupnya serasa terasa berat sekali. Ia hampir menyerah tak kuat. Ia bingung mau tinggal di mana. Berjalan dalam keadaan hening duka dalam batin yang menangis, ia mengambil keputusan untuk tinggal di kos, walaupun harus membayar sendiri.

Saban harinya, ia selalu berusaha bekerja apa saja untuk memenuhi kehidupannya setiap harinya. Tak boleh menyerah dan tak boleh menjadi pengangguran. Jangan buat malu keluarga, adalah kata-kata motivasi bagi dirinya sendiri yang diulanginya saat hendak tidur malam. Ia tak hilang harapan. ia mencari guru motivatornya untuk membuka arah pikiran pencerahan bagi budinya. Sahabat kenalan juga dihubuginya, selain itu juga kakak-kakak alumninya menjadi tempat bertanya bagaimana bisa bekerja di kapal.

Dua windu berlalu. Datanglah berita gembira dari kapal tempatnya dahulu PKL. Ia ditawari untuk bekerja di sana. Kegirangan dan luapan emosinya terekspresi dari raut wajah dan kata-kata chating WA serta status yang dapat dibaca pada story WA-nya. Petrus bersujud, berdoa sambil menangis, berterima kasi kepada Tuhan yang telah membuka jalan baginya. Akhirnya Petrus berkerja di kapal Bintang Laut Express.

“Bagi orang benar Tuhan bercahaya laksana lampu di dalam gulita”, adalah kata-kata yang pernah didengar Petrus dari gurunya di kelas saat bersekolah. Dan sekarang, kata-kata itu terbukti. Masalahnya terdahulu dengan Diana diklarifikasi oleh pihak kapal, bermaaf-maafan dan saling support diantara mereka, para Cadet.

Karena hari itu adalah hari ketiga pembukaan puasa bagi para pelaut beragama Islam di kapalnya, maka kebiasaan baik di kapal itu dipraktikkan, bahwa pada sore harinya akan dimulai dengan kuliah tujuh menit bagi semua awak kapal yang sementara berlabuh, doa Angelus bagi yang Katolik dan dilanjutkan dengan buka puasa Bersama. Kegiatan ditutup dengan salat berjamaah bagi yang muslim.

Hari-hari baik dilalui Petrus dengan para sahabat pelaut di kapal yang menjaga jiwa corsa-corps pelaut dan moderasi beragama dengan budaya Flobamora di antara mereka.

“Tuhan, terima kasih untuk kasih setia-Mu. Amin”. Sepenggal doa terucap dari bibir hitamnya – karena kebanyakan merokok. Lalu, terdengar darasan Rosario dan Zikir seakan harmoni bersahut-sahutan. (Oleh Patrisius Leu, S.Fil., Guru Penulis SMKN 7 Kupang, Fasilitator YASPENSI)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini