Toleransi dalam Pelajaran Agama Katolik di Era Digital

0
158
Oleh Silvia Lake, S.Pd., Guru SMK Negeri 4 Kupang

TERPANGGIL menjadi seorang guru telah tumbuh dalam diri saya sejak berada di bangku kelas 2 SD. Motivasi awal saya menjadi seorang guru agama Katolik adalah kecintaan dan kepekaan saya pada iman Katolik itu sendiri. Pelajaran agama yang saya dapatkan di bangku SD senantiasa mendorong saya untuk terus mengejar cita-cita dan cinta pada profesi guru. Saya merasa terpanggil untuk membawa dan memberikan kebaikan juga berkat bagi sesama.

Pengalaman Menjadi Guru Agama Katolik

Saya pernah mengajar pelajaran agama Katolik di salah satu sekolah swasta Katolik di Kota Kupang. Empat tahun saya mengajar di sana, sejak awal tahun 2020 hingga Juli 2024. Di sekolah swasta Katolik, saya tidak hanya melayani siswa-siswi Katolik tetapi juga peserta didik dari agama lain. Ini tidaklah mudah, sebuah tantangan besar, dan saya sempat kebingungan. Bagaimana caranya memberikan pelajaran agama Katolik kepada siswa lain yang beda keyakinan dalam sikap toleransi? Tanyaku waktu itu.

Tantangan ini memacu andrenalin berpikir moderat tentang cara menyatukan keyakinan iman yang berbeda ini dalam pembelajaran. Saat action di kelas, usaha untuk membuat siswa seiman dan beda iman memahami materi iman Katolik dijelaskan berimbang, moderasi, menata lisan netral. Saya mesti mencerminkan seorang guru agama. Merangkul mereka semua dalam kegiatan rohani tanpa memandang agama, menjadikan mereka semua sebagai teman cerita di lingkungan sekolah adalah upaya agar peserta didik tidak merasa terasing tapi memiliki kedekatan emosional saat pembelajaran di lingkungan sekitar.

Alhasil sangat positif. Pada hari Jumat peserta didik yang beragama Islam diizinkan untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamanya. Ada juga peserta didik yang berkeyakinan lain sangat antusias mendaraskan doa-doa tertentu, misalnya Doa Angelus setiap jam 12 siang, menjadi pemimpin ibadat dalam ibadat mingguan di sekolah, bahkan kadang mereka sendiri yang meminta untuk menjadi petugas doa dan pemimpin doa. Hal ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena bisa mengajak dan merangkul mereka dengan penuh kasih tanpa mereka harus meninggalkan jejak keaslian iman mereka.

Guru Agama di Era Digital

Sebagai seorang guru agama Katolik di era digital, saya berenung bagaimana cara menghadirkan nilai-nilai iman yang relevan dan bermakna bagi siswa, dan bagaimana peran saya sebagai guru agama dalam membimbing siswa untuk menemukan makna hidup yang sejati di tengah derasnya arus informasi digital. Tantangannya semakin besar ketika mereka tumbuh dalam lingkungan yang begitu cepat berubah dan dipenuhi oleh informasi yang beragam, bahkan seringkali bertentangan.

Seorang guru agama tidak hanya sekadar menyampaikan ajaran-ajaran Gereja, tetapi juga menjadi teladan dan pendamping bagi mereka dalam perjalanan spiritualnya. Bagaimana cara mengajarkan ajaran-ajaran agama menjadi menarik dan relevan bagi generasi milenial di sekolah yang sangat akrab dengan teknologi? Mereka terbiasa dengan cara belajar yang cepat, interaktif, dan visual. Saya perlu terus berinovasi dalam metode pengajaran. Penggunaan media sosial, video, dan aplikasi pembelajaran dapat menjadi alat yang efektif untuk menjembatani kesenjangan antara dunia digital dan nilai-nilai rohani.

Saya menyadari pentingnya membangun hubungan harmonis dengan siswa di era digital, di mana interaksi sosial seringkali terjadi secara virtual, kehadiran fisik seorang guru menjadi semakin berarti. Dengan meluangkan waktu mendengarkan cerita dan berbagi pengalaman hidup, saya berharap dapat membangun ikatan yang mendalam dengan mereka. Di tengah upaya tersebut, saya juga merasa khawatir akan dampak negatif dari penggunaan teknologi yang berlebihan. Kecanduan gadget, informasi yang tidak benar, dan paparan konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral menjadi ancaman nyata bagi generasi muda. Pendidikan etika digital menjadi bagian penting dalam pengajaran agama.

Penutup

Seorang guru agama Katolik di era digital mesti mencerminkan sikap dan pribadi Yesus yang mengasihi tanpa memandang; mengajarkan sikap, karakter dan menanamkan rasa saling memiliki dan mengasihi tanpa membedakan; mengajarkan pentingnya toleransi di lingkungan sekolah dan masyarakat; menggunakan teknologi sebagai sarana bukan mendewakan teknologi; kreatif menggunakan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman di era milenial; menggunakan metode dan model pembelajaran yang sesuai dan menarik.

Berkarya menjadi guru agama Katolik di sekolah swasta Katolik menjadi bekal berarti bagi saya yang sekarang mengabdi di sekolah negeri. Ini mengajarkan tentang pentingnya kasih, kerendahan hati, ketulusan, kesabaran dan kreativitas. Saya terus termotivasi untuk belajar tanpa kenal lelah dan berusaha meningkatkan kualitas pengajaran menjadi lebih baik dengan sarana teknologi dan aplikasi pendidikan yang relevan. Selain itu saya juga harus menjadi teladan yang baik bagi siswa dalam menanamkan sikap toleransi beragama toleransi di era teknologi. (Editor: Patrisius Leu, S.Fil./rf-red-st)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini