Saat Siswa Hanya Diam dalam Diskusi Trigonometri

0
200
Oleh Ofir Hawila Bantaika, S.Pd., Guru Matematika SMAN Sabun, Kab. TTS, Prov. NTT

SEJAK tahun 2023 saat mulai mengajar di SMAN Sabun, permasalahan yang sering saya jumpai dalam pembelajaran matematika khususnya kelas X1 dengan jumlah siswa sebanyak 32 orang adalah kurangnya partisipasi aktif siswa dalam diskusi kelompok. Hal ini menjadi tantangan umum yang sering dihadapi oleh para pendidik, terutama dalam mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa seperti mata pelajaran matematika.

Dalam konteks materi trigonometri, permasalahan ini menjadi sangat krusial karena trigonometri merupakan materi yang melibatkan sinus, kosinus, dan tangen sering kali dianggap sebagai salah satu topik yang paling menantang dalam matematika. Bukan hanya karena rumusnya yang kompleks, tetapi juga karena pemahamannya yang abstrak.

Fenomena yang sering terjadi di ruang kelas X SMA Negeri Sabun adalah keheningan, terutama saat guru memulai sesi diskusi. Siswa yang biasanya aktif dan bersemangat tiba-tiba menjadi pendiam. Diskusi kelompok seharusnya menjadi wadah untuk berkolaborasi dimana setiap siswa dapat berkontribusi, namun yang terjadi hanyalah satu atau dua orang siswa saja yang dominan (aktif) dalam menyelesaikan semua pekerjaan sementara anggota kelompok yang lainnya hanya pasif. Pertanyaannya, mengapa kosinus dan tali busur yang seharusnya menjadi bagian dari diskusi justru berubah menjadi bisikan di antara siswa?

Dampak dari ketidakaktifan ini terhadap prestasi akademik atau kelas sangat signifikan. Siswa yang pasif cenderung memiliki pemahaman yang kurang terhadap konsep materi yang kita sampaikan. Mereka mungkin bisa menyalin jawaban yang benar dari  teman-temannya, tetapi mereka tidak benar-benar memahami proses berpikir atau konsep dibalik solusi tersebut. Akibatnya, ketika dihadapkan dengan soal-soal mandiri atau ujian mereka sering kali kesulitan dan mengalami penurunan nilai. Sehingga ketidakmampuan untuk berpartisipasi juga dapat meruntuhkan kepercayaan diri mereka, yang pada akhirnya membuat mereka semakin enggan untuk mencoba.

Strategi atau Pendekatan

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan pendekatan atau strategi yang terstruktur. Salah satu strategi yang dapat diterapkan yaitu dengan menggunakan strategi peran berputar. Vygotsky menekankan bahwa pembelajaran adalah proses sosial (interaksi) bukan penemuan mandiri. Dalam artian siswa mulai terlibat aktif dengan individu lain yang lebih terampil, yang membantu mereka memahami dan membangun pengetahuan baru.

Dalam metode ini, setiap anggota kelompok diberi peran spesifik yang harus mereka jalankan, dan peran tersebut dirotasi setiap kali ada tugas atau soal baru. Penjelasan yang pas dalam pembagian peran berputar ini juga sangat penting sehingga siswa memahami dengan jelas tugas apa yang harus dia kerjakan ketika mendapatkan peran tersebut misalnya (1) Penulis, bertanggung jawab mencatat semua langkah dan jawaban yang sudah di sepakati atau didiskusikan; (2) Pencetus ide, bertugas untuk memberikan ide awal atau cara untuk memulai penyelesaian soal tersebut; (3) Pemeriksa, bertugas meninjau kembali setiap langkah yang ditulis untuk memastikan tidak ada kesalahan; (4) Juru bicara, bertanggung jawab mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

Dengan adanya peran yang jelas dan berputar, maka tidak ada lagi ruang bagi siswa untuk menjadi pasif pada saat diskusi kelompok dikarenakan setiap individu dituntut untuk berkontribusi karena peran mereka saling bergantung satu dengan yang lain. Strategi ini juga memecah dominasi beberapa siswa dan mendorong semua anggota kelompok untuk berinteraksi secara setara serta ikut berpartisipasi aktif  dalam diskusi kelompok tersebut.

Perubahan yang Terjadi

Penerapan strategi ini menghasilkan perubahan yang nyata. Awalnya, siswa merasa canggung dengan peran barunya, tetapi seiring waktu mereka mulai merasa nyaman dan lebih semangat untuk berdiskusi. Keaktifan siswa secara keseluruhan meningkat drastis. Mereka tidak hanya menyelesaikan tugas matematika dengan lebih baik, tetapi juga mulai aktif bertanya dan berdebat secara konstruktif untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan soal dengan tepat.

Hasilnya dilihat dalam nilai tes formatif yang dilakukan di akhir materi trigonomteri, rata-rata (30 dari 32 siswa) nilai tes formatifnya meningkat (>70). Hal ini menunjukkan peningkatan pemahaman materi secara kolektif. Hal yang paling penting, siswa pasif yang sebelumnya menjadi lebih percaya diri dan berani mengutarakan pendapatnya.

Pesan yang dapat diambil dari pengalaman ini adalah bahwa keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar di kelas bukan hanya semata-mata masalah minat pribadi, melainkan juga hasil dari strategi pembelajaran yang kita terapkan. Mendorong kolaborasi yang efektif memerlukan lebih dari sekadar meminta siswa untuk bekerja sama, tetapi juga dengan memberikan struktur dan tanggung jawab yang jelas kepada setiap anggota kelompok. Dengan begitu kita dapat mengubah dinamika diskusi dari yang pasif menjadi aktif. Pengalaman ini mengajarkan kita bahwa solusi terbaik sering kali bukan tentang mengubah siswa, melainkan tentang mengubah cara kita memfasilitasi pembelajaran mereka. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini