Semenjak bulan September-Oktober-November-Desember 2021, kami yang bergabung dalam WA grup kompleks perumahan bernama “Gang Ye Community” agak khawatir, sebab orang yang kami percayai sebagai pemimpin tiba-tiba menghilang tanpa kabar yang jelas.
“Kita seperti anak ayam kehilangan induk,” begitu kata Om Boy, salah satu warga/tetangga kami menanggapi ketidakjelasan situasi tersebut, “Pa Guru sudah tidak ada kabar lagi….”
Orang yang disebut Pa Guru itu adalah salah satu tetangga kami yang berdomisili di Gang atau Blok Y, RSS Baumata. Nama aslinya, Pak Musa Nitbani.
Hampir sebagian besar orang yang tinggal di gang tersebut kehilangan nama aslinya, kemudian digantikan dengan nama profesi atau sebutan khusus. Seperti Pak Musa Nitbani itu, karena ia adalah seorang guru di SD GMIT Nauen, Poto, Kec. Fatuleu Barat, Kab. Kupang, maka kami panggil beliau dengan sapaan: Pa Guru.
Begitu pula yang lain. Misalnya, istri saya yang merupakan perawat di salah satu RS swasta di Kota Kupang, Pa Guru memanggilnya: Ibu Bidan. Kami iyakan saja, tidak ada niat sedikit pun untuk mengoreksi atau memprotesnya.
Ada juga variasi lain yang, bagi kami di Gang Y, terbilang sangat menarik dan tentu saja bikin ketawa. Tetangga kami yang aslinya dari Rote, bekerja di dealer mobil merek Nissan, Pa Guru “membaptisnya” dengan panggilan: To’o Nissan.
Masalah penamaan ini pada akhirnya membuat kami berpikir untuk mencarikan jalan keluarnya. Sebab tanpa kami disadari, banyak persoalan lain yang timbul gara-gara nama. Selain bisa menimbulkan ketersinggungan, hal yang paling sering kami alami adalah kepusingan ketika ada yang bertanya atau mencari alamat. Kami hanya tahu nama-nama tidak resmi tadi.
Puncak masalah itu terjadi ketika salah satu tetangga kami masuk rumah sakit. Seperti yang lain, kami belum tahu nama aslinya, tapi karena beliau dari Jawa, maka kami panggil dengan sebutan: Pakde.
Si Pakde ini hanya tinggal berdua dengan anaknya, istrinya sudah lama meninggal. Saat Pakde sakit, anaknya sedang bertugas di luar daerah. Pa Guru langsung berkoordinasi dengan beberapa tetangga, termasuk saya, lalu mengantar Pakde ke salah satu RS di Kota Kupang.
Setiba di UGD, kami menyerahkan KTP dan Kartu BPJS milik Pakde ke petugas. Sementara itu, Pakde berbaring di salah satu tempat tidur yang agak jauh dari meja petugas. Lalu kami menunggu.
Petugas di UGD memang beberapa kali memanggil keluarga pasien dengan nama yang sudah didaftar. Kami pikir itu untuk orang lain. Hingga akhirnya Pakde sendiri yang menoleh kiri-kanan, mencari kami yang berdiri agak terpencar biar tidak diusir petugas kalau berkerumun.
“Itu nama saya…,” kata Pakde dengan suara lemah.
Saya dan Pa Guru buru-buru ke meja petugas, meminta maaf karena kurang merespons. Sejak saat itulah, kami baru tahu nama aslinya Pakde.
***
Setelah kejadian itu, Pa Guru mendesak kami—beberapa orang yang sudah cukup akrab denganya—untuk merancang sebuah momen yang memungkinkan semua warga Gang Y bisa berkumpul. Kami setuju, dan bersepakat membuat acara Natal dan Tahun Baru bersama pada tahun 2019.
Tempat acaranya di halaman rumah Pa Guru. Kami beberapa keluarga yang menjadi inisiator awal bersepakat untuk mengumpulkan uang agar kegiatan itu bisa terlaksana. Uangnya dipakai membeli bahan-bahan makanan, lalu kami masak bersama. Pa Guru mengundang semua tetangga di Gang Y.
Waktu itu, 31 Desember 2019, menjadi titik awal kebersamaan kami di gang kecil itu. Memang tidak semua bisa hadir, tapi terbilang cukup mewakili. Kami berdoa, makan bersama, dan diakhiri dengan acara hiburan.
Sebelum berdoa, Pa Guru yang kami percayakan mengatur jalannya acara memberikan sedikit kata sambutan. Kesempatan itu digunakan Pa Guru untuk menyampaikan keresahannya selama ini dalam hidup bertetangga.
Perumahan di Gang Y itu dibangun sejak tahun 2016 hingga 2017. Ada yang sudah tinggal di sana sejak 2016 itu, ada yang masuk 2017, dan beberapa waktu kemudian.
Menurut Pa Guru, selama beberapa tahun yang sudah dilewati bersama, ada perasaan kurang enak karena belum mengenal nama satu sama lain dengan baik. Karena itu, Pa Guru mengajak semua warga yang hadir, lewat momen Natal dan Tahun Baru bersama, ke depannya harus lebih akrab.
Pa Guru menceritakan masalah nama. Ketika menyinggung soal To’o Nissan, semuanya yang hadir tertawa. “Tapi ini masalah serius, Bapak/Ibu…,” tekan Pa Guru.
Pa Guru juga mengingatkan tentang pentingnya saling memperhatikan, khususnya ketika ada yang sakit atau membutuhkan pertolongan segera. Pa Guru tidak mau terjadi seperti yang ia pernah dengar di TV, katanya ketika ada yang meninggal dunia, awalnya tidak ada tetangga yang tahu. Ketika sudah tercium bau busuk, barulah tetangga menyadari kalau orang terdekatnya sudah lama meninggal dunia.
“Saya orang Timor, Bapa/Ibu,” jelas Pa Guru lebih lanjut, “tapi kalau terjadi apa-apa dengan saya, saya punya keluarga dari TTS sana mungkin sampai di sini esok atau lusanya. Orang terdekat saya ada Bapak/Ibu, tetangga semuanya.”
Pa Guru juga mengingatkan tentang menghargai perbedaan. Orang yang tinggal di perumahan adalah pendatang dari berbagai daerah dengan suku, agama, pekerjaan, dan status sosial yang berbeda-beda. Meski demikian, harap Pa Guru, kiranya di Gang Y tidak melihat perbedaan itu sebagai penghalang untuk bersatu.
Malam itu, kami semua yang hadir mengamini apa yang disampaikan maupun yang diusulkan Pa Guru. Kesimpulannya: semua baik adanya dan memang harus didukung oleh semua orang.
Setelah itu, kami lakukan pertemuan lanjutan. Kami bersepakat, perkumpulan kecil di gang itu membutuhkan pengurus yang resmi. Secara aklamasi kami meminta Pa Guru menjadi ketua.
Pa Guru memulai tugasnya dengan mendata semua keluarga yang tinggal di Gang Y. Saat itu ada 19 KK yang bersedia memberikan data dan menyatakan keinginan bergabung. Data yang direkap tidak hanya kepala keluarga, tapi semua anggota keluarga yang berdomisili di sana.
Selain itu, Pa Guru bersama pengurus juga bersepakat melaksanakan program arisan keluarga. Satu hal yang sangat penting dari proses sederhana itu, kami akhirnya tahu nama lengkap dan nama panggilan asli setiap orang yang berada di lingkungan kami tinggal.
Setelah itu, kami pelan-pelan menyapa orang dengan menyebut nama aslinya. Tapi, ada kalanya kami tetap mempertahankan panggilan awal. Misalnya untuk Pa Guru, agak aneh rasanya kalau tiba-tiba kami harus memanggilnya Pak Musa. Jadi, beliau tetap kami panggil Pa Guru.
***
Semenjak COVID-19, Pa Guru lebih banyak tinggal di rumah Gang Y. Ia tidak lagi ke sekolahnya di Nuaen yang katanya sangat jauh itu, sebab aktivitas pembelajaran diliburkan sementara.
Saat itu saya juga kembali dari Surabaya dan melanjutkan kuliah secara daring dari Gang Y. Tetangga yang lain juga sama, mereka tidak lagi menjalankan aktivitas atau pekerjaan sebagaimana biasanya, sehingga hari-hari lebih banyak berada di Gang Y.
Ketika ada imbauan untuk menjaga jarak atau tidak boleh saling bertamu, kami sangat mematuhinya. Sebagai gantinya, kami duduk di muka rumah masing-masing, lalu saling berbagi cerita dengan suara yang agak diteriakkan.
Kebersamaan yang kami bangun sebelumnya terasa bermanfaat selama melewati masa-masa penuh khawatir gara-gara korona. Kami saling berbagi cerita, berbagai tips ramuan tradisional, berbagi informasi terbaru, dan saling menyemangati satu sama lain.
Pada akhir tahun 2020, gelombang kasus COVID-19 agak mereda. Tapi, Pa Guru dan beberapa tetangga tidak mau melanggar aturan. Kami tidak adakan acara tutup tahun bersama.
Meski begitu, kami yang berada dalam lingkaran satu dengan Pa Guru tetap adakan masak dan makan bersama. Kami ubah kegiatannya di siang hari, dan dilakukan di tempat terbuka; di halaman belakang rumah Pa Guru.
Ketika memasuki tahun 2021, kami mulai mempraktikkan apa yang disebut sebagai kenormalan baru. Kami sudah berinteraksi seperti biasa dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Ada banyak kegiatan yang kami lakukan bersama, salah satunya gotong-royong dengan tetangga yang sedang ada pekerjaan tertentu. Waktu itu kami bergotong royong menyelesaikan beberapa pengerjaan pengembangan rumah Pa Guru. Kami membangun pagar, membuat bak air, dan mendirikan teras rumah. Seluruh proyek itu selesai pada bulan Agustus 2021.
Setelah itu, Pa Guru jarang ada di rumahnya. Di sana hanya ada ponakan beliau yang berkuliah di Kupang. Setiap kami tanya, dia menjawab Pa Guru ada di rumah satunya yang berlokasi di Kelurahan Merdeka. Atau sedang ada di tempat tugas, di SD GMIT Nauen. Setiap kami telpon, nomornya tidak aktif.
Pa Guru tiba-tiba hilang kabar dari September-Desember 2021. Karena tidak bisa mengonfirmasi secara langsung, maka kami pun membuat asumsi masing-masing.
“Pa Guru kayaknya sudah bertobat,” ada yang berkata begitu.
“Pa Guru mungkin sedang bertapa,” tetangga lain menimpali.
Masih banyak perkiraan lainnya, hingga perayaan Natal kemarin, Pa Guru belum juga datang ke kompleks perumahan Gang Y seperti biasanya. Selain khawatir, kami juga bertanya-tanya, apakah bisa membuat acara tutup tahun bersama seperti biasanya atau tidak?
Sehari setelah perayaan Natal, Pa Guru tiba-tiba datang bersama istrinya. Kami senang sekali. Om Boy langsung berkomentar, “Kita punya induk yang hilang telah kembali.”
Setelah berbasa-basi sejenak, Pa Guru akhirnya mengajukan rencana acara tutup tahun bersama. Kami langsung setuju. Prosesnya masih seperti sebelumnya, hanya rumah tempat acara sengaja dipindah supaya setiap keluarga mendapat giliran. Tahun ini kami laksanakan di rumah Om Boy, di Gang Y, No.6.
Seperti biasa, sebelum doa dan makan bersama, kami beri kesempatan khusus buat Pa Guru untuk bicara. Tentang apa saja. Kami siap mendengarkan apa saja yang beliau sampaikan.
Tahun ini, Pa Guru mengajak kami semua lebih banyak bersyukur. Ada banyak alasan, salah satu yang paling ditekankan adalah bisa melewati pandemi COVID-19 dengan aman.
“Korona memang belum berakhir,” katanya pada malam 31 Desember 2021 kemarin, “tapi setidaknya kita telah sama-sama melewati masa yang paling sulit dan semuanya selamat. Kita juga sudah divaksin semuanya, semoga kita makin sehat.”
Pa Guru juga masih mengingatkan perihal pentingnya kebersamaan yang sudah dibina sejak berapa tahun terakhir. “Keluarga atau orang terdekat kita adalah tetangga,” Pa Guru mengulang lagi pesan itu.
Kita sudah menjalani beberapa hari tahun yang baru ini. Apakah Anda sekalian sudah punya modal yang kuat untuk menjelajahi hari-hari ke depan? Kalau saya, selain #JalanPagi, modal berikutnya adalah petuah-petuah Pa Guru. (Saverinus Suhardin/ rf-red-st)
Terimakasih, pak guru