Bila Anda berkeliling di Kota Kupang, Anda akan mulai sadar bahwa kota ini sedang mempercantik dirinya dalam ragam polesan. Jika Anda sempatkan diri mampir di destinasi Lasiana Beach, suguhan ikan bakar, kelapa muda, pisang gepeng, pesona sunshet matahari sore, dan pasir putihnya serta dialek khas melayu Kupang siap menjamu kedatangan Anda.
Kesan pertama tadi begitu menggoda tetapi belumlah lengkap. Ketika Anda mulai berlangkah ke arah Selatan kilometer duabelas pada Jalan Eltari IV menuju puncak bukit Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui, pengalaman selanjutnya sedang menunggu Anda. Dari puncak bukit, sebagian panorama pesisir pantai Lasiana dapat dipantau.
Sedang di lembah bukit, ada sebuah bangunan yang dulunya pernah ada dari pelepah berbahan bebak dan sudah roboh. Kini, dibangun permanen setelah perehaban berdiri kokoh persis di tepijalan. Dengan melintasi jalur dua arah yang berjarak tempuh sekitar 10 – 15 menit berjalan kaki atau 5 – 7 menit dengan kendaraan bermotor dari pantai Lasiana, tibalah Anda di bangunan tersebut. Sepanjang perjalanan, Anda akan ditemani barisan pohon Lontar (tuak).
Memasuki gedung yang dulunya reyot berukuran 7m x 12m yang sekarang sudang menjadi 15m x 40m pada lahan berukuran 30m x 60m, kesejukan udara dan suasana teduh menerima kehadiran Anda. Pesona matahari pun dapat dinikmati di sini. Munculnya fajar merekah dari celah-celah daun Lontar dan Gamal, teriknya mentari, kelembutan sang surya saat terbenam, dan keheningan malam bersama suara alam di bawah cahaya rembulan, menemani hadir Anda bila ingin ‘berlopo’ di sana. Keramahan dan keaslian alam menambah berkesannya kunjungan Anda.
Senyuman, keceriaan serta keramahan dari si empunya bangunan seakan mengucapkan: “Selamat datang. Andalah tamu kami yang terhormat.” Pintu depan dibuka dan Anda pun masuk ke dalam sekadar memenuhi undangan tuan rumah. Pada saat itu, Anda akan dijamu istimewa menikmati santapan Sabda dan Roti yang dipecah-pecahkan dalam jamuan Ekaristi Hari Minggu. Kekhusukan liturgi Anda terbantu oleh vokal koor Orang Muda Katolik yang sedang mekar-mekarnya bergiat yang seakan mengajak Anda sehati sesuara memuji Tuhan. Dahulunya yang ada hanyalah kor ibu-ibu WKRI, dan ibu-ibu relawan tanpa alat musik. Semakin lama bersama umat Beumopu, semakin Anda masuk mengalami dimensi sendi-sendi keberimanan mereka yang bercirikan katolik dalam balutan budaya Flobamorata.
Keindahan alam, keramahan, dan keceriaan umat itu dulunya pernah hilang bersamaan dengan kepingan-kepingan lapuk dinding bebak dan seng Kapela yang karat. Ketampanan nama kapela tidak sepadan tampilan fisiknya yang menunggu saatnya untuk roboh. Kondisi awali pada waktu itu menunjukkan minimnya dana dan minimnya perhatian serta partisipasi umat dalam kerasulan awam. Umat Allah di Stasi Beumopu memang kecil tetapi bukan yang terakhir dalam hal pelayanan karitatif dan pengaplikasian hidup injili.
Sejak pertama benih Injil ditaburkan di stasi ini, sejak saat itu pula terjadi banyak gejolak dalam pewartaan dan pelayanan iman. Tidak itu saja, penyerangan pun dilancarkan oleh kelompok perampok, sebab tanah tempat kapela ini berdiri adalah markas persembunyian mereka. Semakin umat dihambat, semakin mereka merambat, bagaikan benih yang tumbuh di atas tanah subur Sakramen Gereja. Sebagai umat beriman kristiani, mereka paham betul akan hak dan kewajibannya seperti yang diamanatkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 208-230 dan khususnya kanon 214 tentang tempat ibadat.
Embrio kapela ini mulai nampak sejak medio September 2001. Kala itu umat Katolik di Beumopu sekitar 31 kepala keluarga. Jarak bukanlah masalah bagi mereka yang adalah umat perdana. Setiap hari Minggu berlandaskan imannya yang kokoh, mereka berjalan kaki jauh ke arah selatan guna mengikuti perayaan Misa di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui atau pun pada hari itu berarak ke arah barat menuju Stasi Santo Andreas Lasiana. Kenyataan ini seolah menggugah semangat juang para perintis stasi untuk memikirkan adanya sebuah tempat peribadatan. Keempat serangkai perintis kala itu, Bapak Adrianus Djou Sewa, Bapak Petrus Anggut, dan dua tokoh yang sudah almarhum Bapak Chrisphianus P. Tellu bersama Bapak Ambrosius Sepe. Di atas Pundak merekalah perjalanan sejarah kapela ini ditorehkan. Beratnya salib dan tantangan telah mereka pikul dan lewati.
Rencana pendirian kapela diusulkan para founders bersama umat ke pihak paroki. Tiga alasan utamanya, luasnya wilayah pastoral kerja Paroki Santo Yosef Pekerja Penfui; pertambahan penduduk Katolik di Beumopu mencapai 80 KK dari 5 kelompok umat basis; dan jarak tempuh untuk beribadah di paroki atau stasi tetangga yang cukup jauh. Usulan ini disambut baik oleh pastor paroki. Di atas lahan seluas 2400m2, dibangunlah kapela sederhana berukuran 7m x 12m di tahun 2002. Bangunan dan tempat itu kemudian disepakati bernama Stasi Kapela Hati Kudus Yesus Beumopu-Lasiana.
Masa awal berdirinya bangunan kapela sebagai tempat ibadah merupakan masa yang tidak gampang. Semuanya serba kekurangan. Kemiskinan masih melingkupi sebagian besar umat. Kendati diterpa berbagai krisis yang sempat menggoyahkan sendi-sendi perekonomian dan keberimanan umat, tidaklah mematahkan iman umat untuk berliturgi di hari Minggu.
Akhirnya, tirai panjang kerinduan umat untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus (berekaristi) setiap hari Minggu terjawab. Pada bulan Februari di tanggal 22 dalam tahun 2002, gema pujian kepada Allah untuk pertama kalinya diserukan oleh umat dalam Misa Perdana di Kapela kecil itu, Hati Kudus Yesus Beumopo yang dipimpin oleh pastor Frans Tena, SVD. Umat Perdana secara rutin berkumpul, berdoa dan memuji Tuhan. Di luar Misa, dilanjutkan dengan berkumpul dalam arisan dan sharing iman dan pertemuan-pertemuan lainnya. Kebersatuan dari suku-suku Flobamorata yang telah berasimilasi menambah kekompakan di dalam komunitas kecil ini yang mulai bertumbuh dalam sabda.
Sejak berdirinya, telah ada sedikitnya dua puluhan imam yang setia melayani umat gembalaan. Para imam gembala bermitra bersama para awam, berpastoral di tengah umat dan di antara umat beriman. Di tangan para pekerja kebun anggur Allah ini, benih Sabda Allah telah ditaburkan dan tumbuh subur. Iman umat dibentuk melalui organisasi kategorial gereja semisal WKRI, THS-THM, Legio Mariae, OMK, Sekami dan juga majalah dinding stasi.
Suburnya Sabda Allah berkembang pesat hingga hari ini, nampak dalam kerukunan antarumat beragama, antar etnis yang ada di Beumopu dan sesama warga dari satu kelurahan yang sama di Lasiana. Buah rohani lainnya, bahwa Gedung kapela ini sering digunakan sebagai sarana pembinaan iman oleh Lembaga Pendidikan semisal SMPN 10 Kupang, SMAN 9 Kupang, SMK Pelayaran dan Akademi Maritim Kupang. Selain itu, umat di luar stasi pun sering bertandang sekedar berdoa, berliturgi, bersliturahmi dan pembinaan iman bersama. Suburnya benih Sabda menambah indahnya hidup dalam kasih sebagai saudara dalam moderasi beragama. Kita semua saudaraYesus, sebab dalam Dia kita bersaudara.
Umat Katolik di Beumopu memang the last but not least, yang terakhir terbentuk tapi bukan yang terkecil sumbangsihnya bagi pengembangan iman Gereja Lokal. Dari Kapela ini, telah menyuburkan panggilan hidup bakti bagi muda-mudinya supaya kelak mereka boleh juga menyuburkan benih sabda kasih bersama Yesus dalam diri para agen pastoral.
Para awam handal bermunculan dan terbilang sukses pada bidang kerjanya masing-masing. Karya kecil perintis pendahulu jadi karya agung di hari esok bagi pelanjut estafet kerasulan awam katolik. Apa pun yang terjadi ‘never say die’ menjadi tekad para beriman pelanjut sejarah iman di Beumopu. (*/rf-red-st)