Tidak ada puisi yang lahir hampa makna, tidak ada puisi yang hadir tanpa maksud. Pada hakikatnya, puisi lahir dari permenungan bahkan penerjemahan realitas dan emosi yang lengkap akan makna dan utuh dalam maksud. Upaya memahami, medalami, mencermati, bahkan melacak ketidakhampaan makna itu, menuntut kritikus sastra wajib menempatkan acuan yang menjadi titik pijak telaahnya. Salah satu pendekatan yang penelaah pilih untuk mengupas total tanda pada Rindu yang Kubawa karya R. Fahik dalam Senja Hitam dan Ayahku adalah semiotik.
Pada intinya, pendekatan ini merupakan usaha mengungkap keseluruhan tanda yang terkandung di dalam sajak sarat makna ini. Tulisan ini bertujuan melacak makna ikonitas, indeksitas, simbol, serta relevansi puisi dengan realitas kehidupan saat ini. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.
Semotik dalam Konsep sebagai Ilmu Tanda
Secara etimologis istilah semiotik berasal dari bahasa Yunani, “semeion” yang berarti tanda. Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi masyarakat yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979:16). Versi lain semiotik berasal dari kata “semiotikos” yang berarti penafsiran tanda-tanda (Zoest, 1993).
Secara terminologis, (Zoest,1996:5) mendefinisikan “semiotik sebagai ilmu tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengannya, termasuk tanda berfungsinya, hubungannya dengan tanda yang lain, pengirimnya dan penerimanya bagi mereka yang menggunakannya”. Hartako (1986:131) mengemukakan bahwa, “semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan proses tanda tersebut diartikan. Tanda tersebut bersifat representatif dan berhubungan dengan tanda-tanda lainnya, dan dengan barang yang dilambangkan, serta dengan orang yang memaknai tanda itu.”
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, maka definisi konseptual semiotik yang dijadikan titik pijak pada tulisan ini mengacu pada semiotik merupakan ilmu tentang tanda dan proses tanda itu diartikan baik dengan tanda-tanda lain, barang yang dilambangkan, serta orang yang memaknainya.
Sekilas tentang Senja Hitam dan Ayahku
Senja Hitam dan Ayahku (2020) merupakan antologi puisi kedua setelah setahun sebelumnya R. Fahik menerbitkan Rumah Kedamaian (2019). Senja Hitam dan Ayahku diterbitkan oleh Gerbang Media pada Juli 2020 dengan jumlah halaman 69 dan ukuran buku 14 x 21 cm. Dalam antologi ini, terdapat lima puluh enam puisi dengan judul dan jenis yang berbeda. Lima puluh enam puisi itu ditataletakkan berdasarkan waktu penciptaannya. Mulai November 2003 hingga Februari 2020.
Setelah berpetualang dengan luasnya makna dan berkelana dalam rumitnya maksud yang dibalut diksi dalam imajinasi dan fantasi, penelaah menemukan bahwa, terdapat lima jenis puisi dalam antologi Senja Hitam dan Ayahku. Kelima jenis puisi itu adalah (1) Narasi-Romansa (hlm, 1, 13, 15, 16, 28, 29, 30, 31, 32, 35, 36, 37, 52, 60); (2) Lirik-Ode (hlm, 2, 4, 7, 14, 20, 21, 25); (3) Lirik-Elegi (hlm, 3, 5, 12, 17, 19, 26, 45, 46, 48, 49, 50, 55, 61); (4) Deskripsi-Impresionistik (hlm, 6, 8, 9, 10, 11, 22, 23, 27, 44, 49, 50, 51, 54, 56, 57, 58, 59, 62) dan (5) Deskripsi-Satitre (hlm, 24, 34, 39, 42, 43). Berdasarkan jumlah kelima jenis puisi itu, berturut-turut adalah deskripsi-impresionistik sebanyak 17, narasi-romansa sebanyak 14, lirik-elegi sebanyak 12, lirik-ode 8, dan deskripsi-satire 5.
Rasa penasaran penelaah perpacu pada petualangan melacak makna dan maksud dari puisi-puisi narasi itu, berhasil mempertemukan dengan alasan mengapa antologi ini diterbitkan. Pada catatan penulis yang diberi topik “Senja dan Sesuatu yang Berharga” (hlm 2), secara puitis dengan permenungan yang dalam, penulis mempersembahkan karyanya sebagai bentuk syukur dan wujud doa untuk Sang Ayah yang setahun sebelumnya meninggalkan keluarga kecil harmonis mereka.
“…1 tahun meninggalnya Bapa, tidak dapat dirayakan secara lebih besar, tanpa Misa, tanpa undangan tercetak, tanpa baliho, tanpa banyak orang. Di rumah-di Malaka mungkin hanya akan ada doa bersama dalam keluarga …” (hlm 4) Penulis mempercayakan penanya untuk mencatat deretan kepedihan yang melanda dalam kalbu. Ia juga menjadikan puisi sebagai doa permohonan keselamatan kekal bagi arwah Sang Ayah.
Mengenal Rindu yang Kubawa
Penelaahsecara sengaja memilih puisi ini karena sarat makna dan padat tanda. Soal pilihan adalah selera dan selera tidak dapat disalahkan, de gustibus non est disputandum (selera tidak dapat diperdebatkan, kata Austin Warren dan Rene Wellek (2014: 164)
Rindu yang Kubawa
: Mother Teresa
Adalah keheningan malam
Yang membingkai sunyi-sepimu
Adalah doa yang mewujud anak sungai
Adalah cinta yang menjelma embun pagi
Membasahi padang
Menopang akar-akar yang rapuh
Dalam keindahan semesta
Tempat kau sembunyikan rahasia hatimu
Sebelum aku datang padamu
Dan kita bercerita lagi seperti hari-hari yang lalu
Ketika keheningan mempertemukan kita
Ketika doa-doa mengalirkan mimpi kita
Ketika cinta dalam diamnya
Menyibak kerapuhan kita
Dan ketika kutemukan damai bertaktha indah
Dalam bening bola matamu
Waingapu, 18 Agustus 2019 (hlm 57)
Judul puisi ini sekaligus mempertegas posisinya sebagai baris pertama. Judul hanya dapat dimaknai apabila tidak dilepaspisakan dengan baris-baris berikutnya. Jika judul ini ternyata diabaikan atau katakan saja ditiadakan pembaca, maka pembaca kehilangan arah untuk melacak tanda bermakna dalam puisi ini. Pembaca diperingatkan untuk membaca secara totalitas-sistematis mulai dari judul hingga diksi terakhir. Penulis secara cermat menempatkan otonomi makna bukan pada satuan baris, melainkan pada keseluruhan puisi ini. Tipografi puisi ini, seperti sengaja dikonstruksikan penulis agar tersirat dalam maknanya.
Tanda pada Rindu yang Kubawa
C. S. Pierce (dalam Aminuddin, 2021:125) mengklasifikasikan kehadiran semiotika dalam hubungannya dengan lambang menjadi tiga, yaitu (1) iconic, yakni bilamana lambang itu sedikit banyak menyerupai apa yang dilambangkan, seperti foto dari seseorang atau ilustrasi; (2) indecxical, yakni bila lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan dengan lambang yang lain, misalnya rokok dengan api, atau kumis dengan laki-laki; (3) symbolyc, yakni bila secara arbriter maupun konvensional lambang itu masih menunjuk pada referen tertentu dengan acuan makna yang berlainan.
A. Ikonitas
Setelah beberpa kali bercumbu mesra dengan Rindu yang Kubawa dalam sentuhan ikonitas, penelaah menemukan potret Rambu (puisi berantai rambu 2 sampai 9) sebagai rahasia terdalam sajak ini. Sesungguhnya, Rindu yang Kubawa tampil sebagai versi lain dari Rambu. Penulis sengaja menyembunyikan itu dengan mengemas puisi-puisinya menjadi berbeda dalam jenis. Rambu, bergenre Narasi-Romansa. Sedangkan, Rindu yang Kubawa, bergenre Deskripsi-Impresionistik.
Uniknya, penulis belum sempat meramu puisi-puisi itu agar berbeda rasa dan iramanya. Relasi antarpuisinya lengket dan menyatu. …”seperti buah-buah kerinduan yang pernah kau titipkan pada ruang jiwaku …” (Rambu 4, larik ke-2) “…Tempat kau sembunyikan rahasia hatimu/sebelum aku datang padamu// (Rindu yang Kubawa, larik ke-10 & 11).“…Aku merindukanmu//” (Rambu 5, baris terakhir) “…Adalah cinta yang menjelma embun pagi/membasahi padang/menopang akar-akar yang rapuh// (Rindu yang Kubawa, larik ke-5-7). “Kerinduan ini adalah buih-buih ombak yang mengais …” (Rambu 5, baris pertama) “…Ketika keheningan mempertemukan kita/ketika doa-doa mengalirkan mimpi kita/ketika cinta dalam diamnya menyibak kerapuhan kita//” (Rindu yang Kubawa, larik 13-16).
Rambu dan Rindu yang Kubawa seperti dua raga dalam satu jiwa. Penulis memosisikan pembaca untuk menemukan tanya dalam Rambu dan jawaban pada Rindu yang Kubawa. Dari kacamata ikonitas, Rambu tampil bagai pose dalam sebuah foto, sedangkan Rindu yang Kubawa laksana latar indah yang melengkapi pose itu.
B. Indeksitas
Setelah bercumbu mesra, penelaah memilih menyetubuhi Rindu yang Kubawa sebab bibirnya lembab dan tubuhnya hangat memikat hasrat. Aroma iconic-nya tajam dan dalam. Indeksitas itu, bahkan dimuculkan penulis sejak pada awal sajak itu dimulai. “Rindu yang kubawa/adalah keheningan malam yeng membingkai sunyi-sepimu//” Judul dan larik kedua-ketiga itu diramu resiprokal. Pertalian maknanya tidak bisa dijelaskan keutuhannya jika dicerai-beraikan.
Penulis seperti sama sekali tidak memberi ruang bagi pembaca untuk menitipkan imajinasi pada larik-larik awal itu. Hubungannya lekat dan lengket. Rusak, jika pembaca memaksakan diri untuk menyematkan secuil fantasinya.
“Rindu yang kubawa/adalah doa yang mewujud anak sungai/melintasi padang/memberi kehidupan//” Jika pada bagian pertama hubungannya bersifat resiprokal, maka pada bagian ini hubunggannya bersifat definisi-deskriptif. Penulis secara tersurat mendefinisikan rindu yang ia bawa adalah doa. Ia juga melengkapinya dengan mendeskripsikan doa itu sebagai anak sungai yang melintasi padang dalam memberi kehidupan. Seperti sedang menceritakan perjalan rindu yang menjelma manjadi doa kemudian bermuara sebagai pemberi kehidupan. Definisi-deskriptif ini menggambarkan penulis sebagai seseorang yang religius-filosisif.
“Rindu yang kubawa/adalah cinta yang menjelma embun pagi/membasahi padang/menopang akar-akar rapuh//” Sama seperti bagian kedua di atas. Bagian ini pun bersifat definisi-deskriptif. Perbedaannya, terletak pada kehadiran penulis yang sebelumnya religius-filosifis tetapi pada bagian ini, ia muncul sebagai Gibran dalam aliran romantismenya (Gibranisme). Penulis mengubah definisi rindunya menjadi cinta. Kemudian, ia mendeskripsikan cinta yang ia bawa merupakan jelmaan embun. Jelmaan embun itu membasahi padang dan menopang akar-akar yang rapuh. Penulis secara jelas, menggambarkan dirinya tidak sekadar mencintai tetapi bertanggung jawab total atas cinta yang ia bawa kepada “tuannya”.
“Rindu yang kubawa/adalah damai yang melebur//” Pada bagian ini, hubungannya jelas definitif. Penulis mendefinisikan bahwa rindu yang ia bawa adalah damai yang melebur. Penulis juga telah mengambalikan sosoknya dari sebelumnya Gibranisme menjadi religius-filosifis.
Dari sudut pandang indeksitas, penelaah menemukan hubungan yang yang diramu penulis pada sajak ini bersifat resiprokal, definisi-deskriptif, dan definitif. Ketiga hubungan ini mengasosikan penulis dalam dua sosok. Pertama, sebagai sosok religius-filososif; kedua, sebagai sosok Gibranisme. Jarang pada puisi dengan genre deskripsi-impresionistik, penulisnya menghadirkan pribadinya pada dua model berbeda tetapi bertalian.
C. Simbol
Pada umumnya simbol yang terdapat dalam teks sastra adalah simbol yang bersifat artistik. Bila simbol dalam bahasa sehari-hari itu bersifat natural atau dalam kondisi ordinary language, maka bahasa dalam teks sastra hadir dengan terlebih dahulu oleh motivasi subjektif pengarangnya, sehingga lebih banyak bersifat “arbriter” (Aminuddin, 2021:124).
C.S Pierce (dalam Aminuddin, 2021:125) lebih lanjut memberikan perbedaan makna lambang (sombol), yakni (1) denotation, bila lambang itu menjadi gambar dari sesuatu yang dilambangkan itu sendiri; (2) conotation, bila lambang itu masih mengasosiasikan adanya hubungan makna yang dikandung oleh lambang lain.
Penelaah hanya mengupas simbol secara konotasi. Sebab bagi penelaah, yang tersirat adalah yang paling luas makna dan kisah-kisahnya. Dalam Rindu yang Kubawa, konotasi-konotasi itu hadir sejak larik kedua pada sajak itu.
“… keheningan malam …” (larik ke-2). Malam identik dengan permenungan (pada sajak ini). Sedangkan ke-hening-an ‘membuat menjadi hening’ adalah tenang, kusuk, sunyi yang disengajakan penulis. Penulis menghadirkan keheningan malam sebagai simbol ‘peremungan yang kusuk’. Pertanyaannya adalah apa yang ia permenungkan secara kusuk? Pada larik kedua, penulis menghadirkan simbol lain sebagai jawabannya “…membingkai sunyi-sepimu” (larik ke-3). Membingkai merupakan simbol dari ‘menjaga dan melindungi’ tetapi pada konteks ini, penelaah menyebutnya ‘penjaga dan pelindung’. Simbol-simbol ini hadir sebagai silikon dari rindu yang ia bawa. Sehingga, dalam permenungan yang kusuk, ia adalah penjaga dan pelindung sunyi-sepimu.
“… menjelma embun pagi …” (larik ke-6). Embun pagi adalah simbol dari ‘kemurnian, ketulusan, dan kesetiaan’. Pada konteks ini, penulis sedang menegaskan kemurnian, ketulusan, dan kesetiaan, atau ketiganya dalam balutan embun pagi. Ia menerjemahkan cintanya dalam simbol embun pagi yang apabila dipahami maknaya terkandnung tiga wujud yang tidak bisa dicerai-beraikan. Betapa lihainya penulis menempatkan simbol dengan tanpa merusak keharmonisan struktur dan kedalaman maknanya.
Keterampilan seperti ini hanya mampu dilakukan oleh penulis yang sering menulis. Penulis yang peka terhadap realitas, baik secara emosional maupun rasional. Penulis yang menjadikan apa yang ia lihat sebagai raga tulisan, dan apa yang ia rasa sebagai jiwa tulisan. Sehingga, karyanya selalu utuh baik jiwa maupun raga. R. Fahik adalah penulis yang lengkap. Selain benar memilih simbol, ia juga tepat menempatkan simbol.
D. Relevansi Puisi dengan Realitas Kehidupan
Karya sastra pada fungsinya sebagai kontrol sosial-budaya, sosial-historis, narasi-edukatif, dan religiusitas. Tidak ada satu pun karya sastra yang menyimpang bahkan keluar dari koridor realitas kehidupan masyarakat yang ada. Sekalipun puisi-puisi Mbeling-nya Remi Sylado tetap jelas menggambarkan realitas kehidupan.
Dalam Rindu yang Kubawa, R. Fahik menggambarkan impresinya (kesan) baik secara deskripsi maupun simbolis dengan balutan romantisme juga religius-filosofisnya sebagai model atau cara seseorang dalam mencintai seseorang atau kelompok yang lain. Keterkaitan puisi ini dengan realitas kehidupan dapat diandaikan sebagai ‘Bapak-Mama Saksi’ dalam pernikahan pasangan keluarga baru. Puisi ini adalah model paling bermartabat dalam mencintai. Model ini lahir sebagai resepsi (penerimaan) dengan tanpa memunculkan persepsi (tanggapan) negatif.
Penutup
Setelah menelaah Rindu yang Kubawa, Karya R. Fahik dalam Senja Hitam dan Ayahku, secara semiotik puisi ini sarat akan ikonitas, indeksitas, dan simbol. Dari ikonitas, R. Fahik sedang menampilkan sajak andalannya Rambu dalam versi yang berbeda. Terbukti beberapa lariknya seperti gayung bersambut dengan Rindu yang Kubawa. Dari indeksitas, R. Fahik menghadirkannya secara definisi-deskriptif, religius-filosofis, dan definitif. Dari sombol, R. Fahik selain benar memilih simbol, ia juga tepat menempatkan simbol.
Relevansinya dengan realitas kehidupan sajak ini seperti ‘Bapak-Mama Saksi’ dalam pernikahan pasangan keluarga baru. Puisi ini adalah model paling bermartabat dalam mencintai. Puisi ini bersifat umum terbatas bagi penimkat sastra. Dapat dinikmati mulai anak usia SMP sampai pada orang-orang tua (berjiwa muda). R. Fahik dalam puisi ini, tampil begitu elegan.
Sumber Rujukan
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.
Dharmojo. 2005. Sistem Simbol dalam Munaba Waropen Papua. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
Djunaedi, Moha. 1992. Apresiasi Sastra Indonesia. Ujung Pandang: Putra Maspul.
Fahik, Robertus. 2020. Senja Hitam dan Ayahku (sebuah Antologi Puisi). Yogyakarta: Gerbang Media
Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.
Selden, Raman. 1993. Panduan Pembaca Teori Sastra. (diterjemahkan oleh Rahmat Djoko Pradono), Jogyakarta: Gajamada University Press.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Zoest, Van Aart dan Panuti Sudjiman. 1992. Serba Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Zoest, Van Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang dilakukan dengannya. Jakarta: Sumber Agung. Ass