Buku kelima Patrisius Leu berjudul “Nomen Est Omen” bukan sekadar sebuah catatan refleksi seorang guru penulis tetapi sebuah “kejutan introspeksi’ yang disengajakan penulis kepada siapa pun pembacanya. Pembaca seperti diajak untuk hening di hadapan cermin. Mengistrirahatkan kesibukannya, melepaskan segala beban yang berat di pundak dan yang rumit dipikiran. Kemudian, di hadapan cermin itu, dalam keadaan hening adalah ruang untuknya bertanya tentang “Siapakah aku?”
Pada setiap kenyataan, pertanyaan ‘Siapakah aku?’ menggiring manusia tampak sebagai makhluk yang begitu sibuk mencari makna. Ia tidak puas jika hidupnya tidak bermakna. Dengan demikian, ada ungkapan dalam bahasa Latin bahwa manusia adalah ‘homo significans’. Artinya, manusia tidak puas dengan sekadar ada dan sebatas hidup, karena sesungguhnya manusia membutuhkan makna hidup.
Ada beberapa ilmu filsafat yang berfungsi sebagai sahabat untuk menemami manusia dalam pencarian makna hidup. Salah satunya ialah eksistensialisme. Tujuannya, membongkar apa makna sebenarnya eksistensi seorang manusia sebagai makhluk yang tidak sekadar ada dan yang tidak sebatas hidup.
“Nomen Est Omen” adalah sebuah catatan reflektif-kontemplasi yang menjelaskan eksistensi seorang manusia melalui sebuah nama.
“Nama yang dikenakan pada kita, entah dari agama mana pun, dari bahasa apa pun selalu menunjukkan indentitas, karya, harapan, rasa syukur, optimisme, dan ungkapan iman. Dari sebuah nama, kita bisa mengenal siapa pribadi pemilik nama dan apa pesan Allah, alam, dan leluhur bagi kita yang mau diungkapkan lewat penyebutan nama itu”(hlm 3).
Apakah pendeskripsian tentang nama ini biasa? Tentu saja tidak. Pendeskripsian ini, lahir dari refleksi-kontemplasi Patrisius Leu dengan beberapa kolaborasi persepsi. Ada filsafat-eksistensialisme dikolaborasikan dengan teologi. Ada natural science yang dipadupadankan dengan humaniora.
Selain kolaborasi persepsi, Patrisius Leu mengahadirkan kejutan lagi dengan menyebut ‘metamorfosis nama’ atau proses perubahan nama.
“Namaku tidak mengalami metamorfosis seperti nama Abram menjadi Abraham, Saulus menjadi Paulus, Yakub menjadi Israel, atau pun Kefas menjadi Petrus” (hlm 9).
Pada bagian ini, saya memilih mengganti istilah ‘metamorfosis nama’ menjadi metatesis. Dalam ilmu kebahasaan, metatesis adalah proses perubahan dan pergantian fonem-fonem tertentu dari sebuah kata. Contoh: brantas menjadi bantras, jalur menjadi lajur, kerikil menjadi kelikir, almari (Portugis) menjadi lemari, arba (Arab) menjadi Rabu, dst (Verhaar, 2010: 86-87).
Keunikannya bukan terletak pada proses metatesisnya melainkan mengapa terjadi proses itu. Patrisius Leu melengkapi proses metatesis itu dengan menghadirkan penjelasan tentang mengapa nama itu berubah. Perubahan sebuah nama terjadi karena pemilik nama ingin menghadirkan sesuatu yang hidup dan berdampak dari namanya. Sesuatu yang hidup dan berdampak itu disebut Patrisius Leu antara lain:
“…. sebagai pemberi inspirasi, penggerak, pelatih, pemimpin, penyebar nilai-nilai luhur, dan pemberi teladan” (hlm 6-7).

Mengapa Cinta Ada di Antara Nama dan Pastoral?
Buku “Nomen Est Omen” berisi lima bab yang disebut penulis sebagai bagian. Halyang tidak biasa saya temukan selama membaca memahami isi buku ini adalah keunikan Patrisius Leu memosisikan bagian cinta berada di antara nama dan pastoral. Apakah ini sebuah kebetulan? Tentu tidak. Apakah ini cara penulis menggiring pembaca untuk menempatkan cinta sebagai asal-muasal nama dan pastoral sebagai dampak sebuah nama? Hal ini perlu ditelaah lebih dalam.
Setelah melewati pembacaan hermeneutika (membaca sambil menginterpretasi), saya menemukan beberapa penjelasan yang mengarah pada alasan dan tujuan mengapa cinta ada di antara nama dan pastoral. Kehadiran cinta itu seperti membaptis dirinya sebagai inti sekaligus fondasi. Sebab tanpa cinta, nama dan pastoral seperti sehabis hujan tanpa pelangi, ataupun setelah senja tanpa rembulan.
Kehadiran Cinta sebagai Alasan
Dalam KBBI, kata alasan berarti sesuatu yang dipakai untuk menguatkan pendapat. Atau dengan kata lain, alasan itu adalah dasar sebuah eksistensi. Kehadiran cinta sebagai alasan menjelaskan peran cinta sebagai penguat pendapat dan sebagai dasar eksistensi. Dalam hal ini adalah eksistensi sebuah nama. Sebagai penguat pendapat dan dasar eksistensi sebuah nama, cinta dikontemplasikan Patrisius Leu dalam wujud “inisiatif, aktif, kreatif, dan kariatif” dari pendeskripsian cinta adalah (hlm 23).
Cinta sebagai alasan berhasil menghadirkan eksistensi sebuah nama dalam wujud inisiatif, aktif, kreatif, dan kariatif. Keempat hal ini bersifat resiprokal atau timbal balik. Artinya bahwa, kreatif dan kariatif dapat dihasilkan oleh pemilik nama apabila ia inisitaif dan aktif. Kehadiran cinta seperti ini tidak sekadar membawa sebuah nama tampil jauh lebih elegan tetapi juga mengantarkan nama itu sempurna dalam giat pastoral. Betapa lengkap dan bijaknya seorang gembala dalam menjalankan tanggung jawab pastoral dengan inisiatif, aktif, kreatif, dan kariatif ini. Refleksi Patrisius Leu dalam hal menghadiran cinta sebagai alasan layak diberikan ‘tepuk tangan’dan pengakuan.
Kehadiran Cinta sebagai Tujuan
Jika sebuah alasan bergerak dari pertanyaan mengapa, maka tujuan lahir dari pertanyaan untuk apa. Pertanyaan untuk apa mengantarkan kita pada goal (apa yang mau dicapai). Patrisius Leu lagi-lagi mengubah peran cinta sebagai tujuan dengan wujud yang tak terduga. Sebagai tujuan, cinta hadir dengan peran (1) memberi lebih; (2) melayani seperti hamba; (3) sujud dalam budaya; dan (4) menyatu dengan alam.
Sehingga di antara nama dan pastoral, kehadiran cinta akan memberi lebih, melayani seperti hamba, sujud dalam budaya (menghargai dan menghormati), dan menyatu dengan alam. Betapa luar biasanya kehadiran cinta dalam bentuk-bentuk yang tidak sekadar menjadi sejuk tetapi juga menjadi teduh.
Kualitas Patrisius Leu dalam “Nomen Est Omen” menunjukkan kelenggapkannya dalam kontemplasi dan refleksi. Kisah-kisah inspirasi yang diramu dengan filsafat dan teologi seperti mengajak pembaca untuk berekreasi dengan dirinya. Sebab, pada saat yang bersamaan, pembaca digiring dengan pertanyaan siapa aku? juga dengan pertanyaan lain untuk apakah aku ini?
Proses kreatif Patrisius Leu dalam “Nomen Est Omen” sangat mahal harganya. Untuk itu, akan menjadi salah satu kerugian terbesar jika para pemilik nama di bawah kolong langit ini memilih untuk tidak menikmati gurih-renyah kontemplasi, refleksi, dan kejutan introspeksi dalam buku ini. Sebagai pembaca hermeneutika, saya menyarankan untuk membaca buku ini. Buku ini dapat dinikmati mulai dari peserta didik kelas menengah pertama sampai generasi setelahnya. (*)
Sumber Bacaan
Dalman, H. 2014. Keterampilan Menulis. Jakarta: Rajawali Pers
Leu, Patrisius. 2022. Nomen Est Omen: Refleksi Iman Seorang Guru Penulis. Yogyakarta:Gerbang Media Aksara
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cet II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press
Verhaar, J. W. M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Cet VII. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press