Rekor MURI Bukan Puncak, Tapi “Early Warning System”

0
90
Oleh Marianus Seong Ndewi, S.Pd., Gr., M.M., Guru Seni Budaya SMAN 4 Kupang, Ketua YASPENSI

Provinsi Nusa Tenggara Timur akhir-akhir ini gencar ‘mencetak’ Rekor Dunia MURI. Sebuah hal yang tidak biasa. Luar biasa; menjadi perbincangan seantero jagad negeri ini. Ada rekor 1000 sasando, rekor dari bidang tenun, ada rekor bidang sastra, juga bidang tari, dan masih banyak lainnya. Lalu, apakah pernah muncul pertanyaan; untuk apakah semua rekor dibuat? Kepentingan apa? Keperluan apa? Dampaknya? Manfaatnya?

Rekor MURI dan Pencapaian

Mengamati beragam ‘interaksi’ di dunia maya, tentang kebanggaan terhadap jati diri bangsa, terutama pencapaian terhadap rekor MURI, Masyarakat NTT bersukacita di dalam tiap geliat ‘postingan fyp’ ketika turut terlibat menjadi peserta kegiatan pencapaian rekor ataupun sebagai tim support. Gegap gempita sebagai euphoria, turut mencerahkan wajah pemerintah dengan ragam pencapaian rekor.

Rekor MURI (Museum Rekor-Dunia Indonesia) itu sendiri didirikan pada tahun 1990 oleh Jaya Suprana. Tujuannya adalah untuk mencatat dan mengabadikan prestasi luar biasa orang-orang Indonesia, baik individu maupun kelompok, dalam berbagai sisi dan bidang.

Ada beberapa alasan mengapa rekor MURI dibuat antara lain’ pertama, Penghargaan Terhadap Prestasi: MURI memberikan pengakuan kepada individu atau kelompok yang telah mencapai prestasi luar biasa, memberikan motivasi untuk terus berinovasi. Kedua, Promosi Budaya dan Kreativitas: Rekor-rekor ini sering kali berkaitan dengan budaya, seni, atau inovasi yang mencerminkan kekayaan dan keragaman Indonesia. Ketiga, Inspirasi bagi Masyarakat: Melalui rekor-rekor yang tercatat, MURI menginspirasi masyarakat untuk berusaha mencapai hal-hal yang dianggap luar biasa. Keempat, Dokumentasi Sejarah: MURI berperan dalam mendokumentasikan pencapaian sejarah bangsa, sehingga dapat dikenang oleh generasi mendatang.

Ketika kita membaca dan menimbang-menimang alasan pencapaian rekor, mungkin dapat kita simpulkan, bahwa semua hal yang membawa dampak baik, mesti diapresiasi sebagai sebuah ‘fondasi’ untuk Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).

Rekor MURI sebagai Apresiasi

Hemat penulis, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam ruang gerak dan karya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, menarik serangkaian ‘kesibukan’ rekor ini sebagai sebuah apresiasi luhur terhadap karya seni dan budaya di tanah NTT. Seni dan budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki sejumlah keunggulan yang mencerminkan kekayaan dan keberagaman daerah tersebut.

Ragam etnis, di mana NTT terdiri dari berbagai suku, seperti Suku Flores, Suku Sumba, dan Suku Timor, masing-masing dengan tradisi dan seni yang unik. Kain tenun ikat NTT juga sangat terkenal dengan corak dan warna yang khas. Teknik tenun ini diwariskan secara turun-temurun dan menjadi identitas budaya yang kuat. Ritual dan upacara adat, seperti Pasola di Sumba, menggabungkan unsur seni pertunjukan dan tradisi, menciptakan pengalaman budaya yang mendalam. Seni musik dan tarian daerah, seperti tari Caci, memperlihatkan ekspresi budaya yang dinamis dan kaya. Selain itu, NTT juga menghasilkan berbagai kerajinan tangan, termasuk ukiran kayu dan perhiasan tradisional yang mencerminkan estetika lokal.

Ketika ruang apresiasi tidak dibuka, kemungkinan terkuat adalah masyarakat NTT sendiri akan merasa asing akan budaya dan seni tradisi sendiri yang merupakan kekuatan paripurna untuk pembangunan daerah. Apresiasi ini juga mendorong kreativitas dan inovasi. Dengan menghargai tradisi, seniman dapat terinspirasi untuk menciptakan karya baru yang relevan dan menarik. Kesenian daerah menjadi identitas budaya yang memperkuat rasa kebersamaan dan kebanggaan komunitas, menciptakan ikatan sosial yang kokoh. Kesenian daerah juga dapat menarik wisatawan, meningkatkan ekonomi lokal melalui festival seni dan pertunjukan budaya. Juga dapat menciptakan peluang kerja bagi banyak orang yang terlibat dalam industri kreatif, mulai dari seniman hingga pengrajin. Untuk anak-anak sekolah, tradisi dan budaya daerah berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penyebaran pengetahuan, mengajarkan nilai-nilai budaya dan sejarah.

Rekor MURI Juga sebagai “Early Warning System”

Ketika euforia rekor MURI dinikmati sebagai puncak kejayaan, justru di satu pihak, bencana baru bisa saja terjadi. Rekor MURI sebagai ‘Early Warning System’ mencerminkan bahwa setiap pencapaian luar biasa sering kali diiringi oleh tantangan yang perlu diwaspadai. Ketika masyarakat merayakan keberhasilan, penting untuk menyadari bahwa euforia fana dan hampa tersebut bisa menjadi titik awal untuk mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin muncul. Misalnya, dalam dunia seni dan budaya, peningkatan popularitas dapat menyebabkan komersialisasi yang berlebihan, mengancam keaslian tradisi. Jika tidak diimbangi dengan pelestarian, banyak nilai-nilai budaya yang bisa hilang.

Di sisi lain, pencapaian dalam bidang ekonomi atau teknologi dapat memicu tekanan terhadap sumber daya alam. Dengan semakin meningkatnya permintaan, eksploitasi berlebihan bisa menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius. Rekor MURI juga bisa menggugah kesadaran akan pentingnya keberlanjutan. Dengan mencatat prestasi, diharapkan masyarakat bisa lebih kritis dan peka terhadap dampak dari setiap pencapaian, sehingga mendorong tindakan preventif yang menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian. Oleh karena itu, rekor-rekor yang dicatat tidak hanya menjadi simbol keberhasilan, tetapi juga panggilan untuk refleksi dan aksi; duc in altum. Masyarakat harus berupaya untuk terus mengawasi dampak dari setiap pencapaian, menjadikannya sebagai sistem peringatan dini untuk menghindari potensi bencana akal di masa depan.

Rekor MURI sebagai “Early Warning System” juga dapat diintegrasikan ke dalam konteks pendidikan di sekolah. Dengan mengedukasi siswa tentang pentingnya seni, budaya, dan prestasi, sekolah dapat menciptakan kesadaran yang lebih besar akan dampak dari setiap pencapaian. Pendidikan yang berfokus pada penghargaan terhadap seni dan budaya lokal dapat membantu siswa memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi. Ini tidak hanya membangun rasa identitas, tetapi juga mengajarkan mereka untuk menghargai keberagaman. Ketika siswa belajar tentang rekor-rekor yang dicatat, mereka dapat diajarkan untuk melihat lebih jauh dari sekadar angka, memahami konteks dan dampak sosial yang menyertainya.

Sekolah juga bisa mengintegrasikan konsep keberlanjutan dengan cara mengajarkan siswa tentang dampak lingkungan dari kemajuan. Misalnya, dalam pelajaran tentang inovasi teknologi, siswa bisa diajak berdiskusi mengenai bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendukung pelestarian lingkungan, bukan justru merusaknya. Selain itu, dengan melibatkan siswa dalam kegiatan seni dan budaya, mereka belajar untuk berkolaborasi dan berinovasi. Ketika mereka menciptakan karya seni atau melakukan pertunjukan, mereka dipaksa untuk berpikir kritis tentang bagaimana menciptakan sesuatu yang tidak hanya menarik, tetapi juga berkelanjutan.

Dengan cara ini, pendidikan di sekolah dapat menjadi platform untuk menyiapkan generasi yang peka terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka akan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya merayakan keberhasilan, tetapi juga siap untuk mengenali dan mengatasi tantangan yang mungkin muncul dari pencapaian tersebut. Secara keseluruhan, mengaitkan rekor MURI dengan pendidikan dapat menciptakan generasi yang tidak hanya berprestasi, tetapi juga bertanggung jawab terhadap warisan budaya dan lingkungan, menjadikan mereka agen perubahan yang positif di masyarakat.

Mari siap untuk rekor selanjutnya dengan terus memperkuat jati diri bangsa; Indonesia Raya mesti benar-benar Merdeka; dari dalam kampung-kampung, rumah-rumah adat, bahasa dan sastra kampung, dan senyum tulus di sudut-sudut keramahan. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini