Nasib Perda Literasi

0
268
Oleh Isidorus Lilijawa, Pegiat Literasi

Setahun yang lalu, Senin 15 Peburuari 2021, DPRD NTT bersama Pemerintah Provinsi NTT menciptakan sejarah dan babak baru bagi NTT dengan menyetujui penetapan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengembangan Budaya Literasi menjadi Peraturan Daerah (Perda). Ini perjuangan yang patut diapresiasi dan diberi tepuk salut. Secara “clear and clean” mau menegaskan bahwa pengembangan literasi di NTT sudah ada payung hukumnya. Tentu kerja-kerja pengembangan literasi akan semakin mudah dan memiliki prospek.

Setelah setahun kita punya Perda Pengembangan Literasi, mari kita bertanya: apakah Perda ini sudah punya efek operasional bagi tumbuh kembang literasi di NTT? Ataukah masih nyaman di lemari-lemari arsip? Apakah setelah ada Perda ini, literasi di NTT semakin bergairah dan menggeliat? Atau masih biasa-biasa saja. 

Sesungguhnya ada 6 literasi dasar yakni, literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi kebudayaan, literasi sains, literasi digital. Saya fokus dulu pada literasi baca tulis, yang juga menjadi muatan dasar Perda Literasi NTT. Mengingat penetapan Perda Pengembangan Budaya Literasi dapat menjadi salah satu koridor menuju masyarakat NTT yang cakap literasi, setidaknya literasi baca tulis.

Idealisme dari kehadiran Perda Literasi ini adalah semakin mendorong dan meningkatkan budaya baca dan tulis. Tentu pertama-tama sesuai kewenangan pemerintahan provinsi yakni meng-endorse kebijakan baca bagi ASN dan anak sekolah pada tingkatan kewenangan yaitu SMA, SMK (dan SLB). Selain itu, Perda ini menyasar juga satuan pendidikan, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan masyarakat. Perda juga memberi keluasan partispasi masyarakat dan stakeholder untuk ikut peran dalam mengembangkan budaya literasi.

Perda literasi ini mesti juga mendorong masyarakat untuk semakin giat dan aktif dalam Gerakan Literasi Daerah. Juga mendorong kabupaten dan kota se-NTT untuk membentuk Perda yang sama, yaitu Pengembangan Budaya Literasi untuk mengisi ruang kosong yang tidak atau belum di-cover oleh Perda Provinsi NTT karena alasan kewenangan.

Budaya Membaca

Dalam kenyataan, budaya membaca itu belum tumbuh dan mengakar di bumi NTT ini. Ada anggapan bahwa membeli buku dan membaca buku adalah urusan kaum intelektual, para akademisi dan mahasiswa dan bukan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat umum.  Persoalan yang selalu diangkat berkaitan dengan upaya membumikan budaya membaca adalah ketiadaan uang untuk membeli buku. Padahal alasan seperti ini seringkali terkesan dibuat-buat. Mengapa? Karena masyarakat kita masih bisa membelanjakan uangnya untuk hal-hal tidak begitu urgen seperti membeli rokok dan miras.

Coba kita periksa, berapa banyak orang yang mampir di perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah atau kampus setiap hari? Berapa jam seminggu dipakai untuk membaca buku? Berapa banyak uang dihabiskan untuk membeli buku-buku bacaan? Berapa banyak koleksi buku-buku bacaan kita? Apakah kita mempunyai perpustakaan pribadi?

Data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca. Kurangnya minat baca dalam masyarakat kita membuat minat menulis menjadi tidak tumbuh.  Tahun 2015, Perpustakaan Nasional dalam rilis hasil kajiannya, menempatkan minat baca masyarakat pada angka 25,1, kategori rendah. 

Menjadikan NTT Provinsi Literasi, tidak cukup hanya dengan mencetak Perda Literasi. Harus ada aksi-aksi literasi yang nyata, kerja-kerja kolaborasi riil di tengah seluruh masyarakat. Gerakan menjadikan NTT sebagai Provinsi Literasi mesti menjadi gerakan bersama pemerintah, swasta dan masyarakat. Literasi itu bukan soal wacana atau omong-omong semata. Setelah ada Perda Literasi, berapa banyak anggaran yang dialokasikan setiap tahun untuk urusan literasi, baik untuk sekolah-sekolah maupun Lembaga-lembaga pegiat literasi? Berapa banyak judul buku yang dibeli dan dibagikan ke sekolah-sekolah dan masyarakat? Berapa banyak aksi penyadaran dan sosialisasi tentang pentingnya literasi baca tulis?

Sejak tahun 2015 dalam Permendikbud 23 melalui kebijakan afirmatif khusus telah mendeklarasi gerakan literasi nasional. Setelah 5 tahun kemudian baru lahir Perda Literasi di NTT. Sampai saat ini belum ada satu pun kabupaten/kota yang punya Perda Literasi. Bagaimana mau bicara soal literasi di daerah jika Perda-nya belum ada. Bagaimana mau berharap ada anggaran literasi, sementara Perda belum ada. Agenda literasi pun masih dilakukan secara sporadis oleh kelompok-kelompok peduli literasi. Urusan literasi masih ramai di wacana. Kerja-kerja kolaborasi masih minim. Urusan literasi itu tanggung jawab pemerintah. Pihak non-pemerintah sifatnya membantu. Jangan dibalik, seolah-olah urusan literasi gaweannya LSM, Lembaga-lembaga peduli, lalu pemerintah hanya mendukung.

Kerja Kolaboratif

Menjadikan NTT Provinsi Literasi tidak cukup dengan gerakan-gerakan sporadis ini. Harus ada gerakan massif bersama. Semua bupati dan walikota dipanggil untuk membahas gerakan literasi. Lalu pulang dan berbuat. Mulai dengan membuat peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota tentang gerakan literasi. Mobil-mobil perpustakaan keliling dioperasikan hingga ke kampung-kampung. Jangan hanya jadi pajangan di kantor. APBD harus juga dipakai untuk membeli buku-buku dan dibagikan ke seluruh sekolah. Di taman-taman kota sudah mulai dipajang aneka buku sehingga para pengunjung bisa membaca di sana. Di sekolah setiap anak diwajibkan membaca sekian judul buku dan membuat intisari. Berlakukan jam nonton televisi di rumah. Mesti ada jam membaca buku.

Gerakan literasi itu nonsense tanpa literatur. Dua-duanya itu omong kosong jika tidak ada budaya membaca yang harus dihidupkan. Di NTT gerakan literasi sudah mulai. Namun mentalitas mumpuni untuk menumbuhkan budaya membaca belum bertumbuh. Masyarakat masih ‘doyan’ pada budaya nonton, masih terpikat pada televisi. Jarang kita temui orang membaca buku di rumah-rumah. Yang lazim adalah kaki-kaki yang terjulur dan mata yang fokus pada satu titik yaitu televisi dengan aneka sabda bahagianya. Perda Literasi harus responsif. Jangan berpuas diri karena Perda-nya sudah disahkan tetapi rumit diimplementasikan. Itu ibarat macan ompong.

Mari bergerak bersama. Sudah saatnya masyarakat NTT bangkit dan membumikan budaya literasi di bumi Flobamora. Pemerintah harus jadi garda terdepan. Kita merindu suatu saat nanti di taman-taman kota, di bawah rindang pepohonan, di teras-teras rumah, di halte, di terminal, di rumah-rumah, kita menjumpai orang-orang yang membaca buku karena mereka tahu, hanya melalui itu mereka membaca dunia. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini