Sebelum abad ke-19, pada umumnya puisi dipahami sebagai sesuatu yang diatur dalam garis berirama. Ada pula yang mendefinisikan puisi adalah subjek yang terdiri dari ritme atau verses. Pemahaman ini, lahir sebagai akibat dari pengaruh Aristoteles dalam “Poetics”. Sebab, puisi sebelum abad itu biasanya dianggap sebuah seni sastra dalam kategori normatif-retoris (dalam Liliweri, 2014: 403).
Menyelisik puisi secara historis, akan selalu mengantarkan pembaca pada temuan berupa proses kreatif, imajinasi, dan realitas yang berkualitas. “Membaca Puisi adalah Penyiksaan yang Menyenangkan” merupakan bentuk kontradiktif-perspektif. Pada satu sisi, membaca puisi adalah penyiksaan dan pada sisi lain hal itu terasa menyenangkan.
Marsel Robot (dalam Sehandi, dkk., 2021:114), menjelaskan bahwa mistik estetika sebuah puisi terasa ketika pembaca dilegokan dalam penyiksaan yang begitu menyenangkan. Sebab, bahasa puisi bukan sekadar alat ucap informasi (penggunaan bahasa secara inklusi), jauh lebih dalam dari itu, bahasa puisi mengendapkan makna lain yang disajikan secara khas. Membaca puisi berarti berusaha melintasi skandal lingual.
Ada makna lain yang diendapkan dan ada skandal lingual yang diciptakan menjadi tanda bahwa puisi adalah karya paling padat akan makna, paling lengkap akan maksud. Semakin singkat sebuah puisi, justru semakin luas makna juga maksud yang terkandung. Dalam sebuah puisi, satu kata dapat mewakili seribu pesan, satu larik dapat menggambarkan selaksa realitas, dan satu bait mampu menggerakan kelumpuhan batin pembaca yang menahun. Apalagi satu puisi.
Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi paling singat.
KALIAN
pun
(1999)
Apa yang diendapkan dalam puisi ini? Skandal lingual apa yang ia diciptakan?
Diksi “Kalian” sebagai judul, merujuk pada bentuk jamak orang ketiga. Sedangkan, “pun” dalam teori bahasa dikenal dengan sebutan klitik. Klitik tidak bermakna leksikal tetapi memiliki makna secara gramatikal. Artinya, klitik tidak bisa berdiri sendiri sebagai kata. Klitik selalu mengacu pada kata yang menjadi bagian tak terpisahkan. Misalnya, “Apapun yang ia katakan, selalu bernas”. Bentuk “pun” pada kata “apapun” merupakan klitik.
Skandal lingual pada puisi di atas, terletak pada kesengajaan Sutardji dalam memisakan klitik “pun” dari diksi “kalian”. Sehingga pembaca dipaksa untuk memahami “pun’tidak sebagai klitik tetapi sebagai sebuah realitas. Untuk menyelami kelengkapan maksud puisi ini, pembaca yang kritis-analitis dituntut mengahadirkan realitas lain yang tersirat. Sebab pose puisi “kalian pun (kalian juga)” merupakan bentuk respon atas penyataan sebelumnya.
Jika kamu mengatakan saya jahat, kalian pun (juga).
Jika kamu mengatakan saya tidak tahu diri, kalian pun (juga).
Jika kamu mengatakan hidupku penuh sandiwara, kalian pun (juga).
Pada hakikatnya, kalian pun (kalian juga) mengandung maksud reflektif-introspektif. Artinya, apa yang kamu katakan pada orang lain pada dasarnya adalah gambaran kepridianmu, cerminan perilakumu, bahkan potret kejiwaanmu. Inilah makna yang diendapkan Sutardji dalam puisi “Kalian”.
Membaca sebuah puisi, pembacanya selalu diajak agar dapat menjenguk hati dan pikiran (kesadaran manusia) baik orang lain maupun dirinya sendiri. Sebab, melalui puisinya, sang penyair menunjukkan kepada pembaca bagian terdalam hati manusia. Ia menjelaskan topeng yang dipakai orang dalam kehiudupan nyata atau skenario yang diperankan orang dalam menampilkan dirinya pada lingkungan masyarakat.
Kemampuan menggali makna yang tersembunyi dalam sebuah puisi tidak dapat dilakukan oleh setiap pembaca. Hanya pembaca kritis yang mampu menghubungkan pengalaman hidup sendiri dengan pengalaman yang dituangkan penyair dalam puisinya. Hanya pembaca analitis yang dapat mengupas realitas yang diendapkan penyair dalam puisinya. Pembaca kritis-analitis akan fokus pada bagaimana membaca muatan historis dan sosiopsikologi dalam sebuah puisi.
Membaca Muatan Historis dalam Puisi
Untuk memperjelas bagaiamana membaca muatan historis dalam puisi, penulis menghadirkan puisi Taufiq Ismail berikut ini.
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagai kakak yang ditembak mati
Siang tadi
(1966)
Jika pembaca tidak mengetahui latar belakang peristiwa historis yang manjadi alasan dan tujuan puisi itu diciptakan, mustahil menemukan kisah dan gagasan yang terkandung dalam puisi di atas. Pertanyaan yang pasti muncul adalah Apa yang dimaksud dengan “tiga anak kecil”, Salemba”? Mengapa mereka datang pada waktu sore hari? Mengapa seseorang “Kakak” ditembak mati? Apa keterkaitan tiga anak kecil dengan seseorang yang disapa kakak itu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas akan sangat jelas jika pembaca telah mengetahui latar belakang historis pada saat puisi itu ditulis.
Pada 1966, sistem pemerintahan Indonesia berubah dari Orde Lama menjadi Orde Baru. Terdapat tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang diperjuangkan mahasiswa UI sebagai pelopor masa Orde Baru saat itu. Perjuangan Orde Baru pada masa itu sangat dekat dengan maut. Mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan aksi harus berhadapan dengan sangkur dan peluru. Banyak di antara mereka terbunuh tetapi tidak mati sia-sia. Kematian mereka menjadi duka rakyat kecil, kehilangan mereka menjadi semangat bagi mahasiwa-mahasiwa lainnya.
Ketika pembaca mengetahui fakta historis seperti di atas, pembaca tidak akan menemukan kesulitan dalam menelaah kandungan gagasan maupun kisah yang terdapat pada puisi “Karangan Bunga”. “Tiga anak kecil” merupakan simbol dari tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang baru lahir dan mekar. “Salemba” merupakan markas mahasiswa UI yang juga tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Datang “waktu sore” merupakan lambang akan berakhirnya sesuatu, yakni masa Orde Lama. Seseorang yang disapa “kakak” adalah para mahasiswa yang terbunuh saat memperjuangkan tritura. Kemudian, tiga anak kecil dengan kakak merupakan perwujudan hubungan batiniah antarsesama pejuang aspirasi rakyat saat itu.
Berdasarkan uraian singkat di atas membuktikan bahwa, membaca historis dalam sebuah puisi tidak terbatas pada temuan aspek maknanya saja, tetapi jauh lebih dalam, pembaca diperkenalkan dengan simbol-simbol yang begitu elegan dalam menggambarkan realitas saat itu, misalnya tiga anak kecil (tritura), kakak, Salemba, sore itu. simbol-simbol itu, menunjukkan kualitas penyair dan syairnya.
Membaca Sosiopsikologi dalam Puisi
Salah satu unsur yang terkadung dalam puisi adalah kehidupan sosial-budaya serta penjiwaan penyair terhadapanya. Membaca sosiopsikologi melabuhkan pembaca pada tiga temuan, yaitu (1) mengetahui latar belakang kehidupan sosial masyarakat, baik secara indivual maupun kelompok yang mempengaruhi terwujudnya suatu gagasan dalam puisi; (2) melahirkan gagasan tentang kehidupan sosial masyarakat dan; (3) memahami sikap pengarang terhadap kehidupan sosial masyarakat yang dipaparkannya (Aminuddin, 2010: 187).
Pertanyannya adalah, Bagaimana membaca sosiopsikologi dalam sebuah puisi? Puisi berjudul “Abad 20” karya Subagio Sastrowardoyo akan menjadi jawaban atas pertanyaan penasaran itu.
Abad 20
Dalam pergulatan
Setiap muka mengandung penipuan
Dan kaca itu
Kuhancurkan wajah bening
Dalam seribu bingkah hitam
Sebab aku bukan anak Adam
Yang membayang ke langitb luka
Aku ini keturunan jiwa yang terpecah
Yang terhampar pada bimbang
Antara percaya dan harakiri
Langit itu kosong
Aku bungkam keheningan
Dalam jazz dan nikotin
(1990)
Maksud yang terkandung dalam puisi “Abad 20” adalah gambaran kehidupan manusia pada abad ke 20. Penyair memperlihatkan potret manusia ada dalam pergulatan, dalam perjuangan yang keras untuk kehidupannya. Perjuangan keras itu semacam melahirkan pandangan tujuan menghalakan cara. Salah satu tanda lahirnya pandangan itu adalah penipuan seperti diungkapkan penyair pada larik kedua puisinya.
Lalu, bagaimana membaca gambaran jiwa penyair dalam corak kehidupan sosial masyarakat abad 20? Penyair secara terampil menampilkan realitas kehidupan melalui simbol … di kaca/ kuhancurkan wajah bening/dalam seribu bingkah hitam/sebab aku bukan anak Adam/yang membayang ke langit luka//. Gambaran jiwa penyair tersurat pada keinginannya untuk menghancurkan dirinya sendiri. Sebab, ternyata dirinya juga dipenuhi seribu bingkah hitam ‘dosa’.
Partisipasinya dalam kehidupan yang seperti itu, menyadarkan penyair untuk merasa bahwa dirinya bukan lagi keturuan Adam, bukan lagi ciptaan Tuhan yang berpeluang menikmati ketenangan yang abadi. Namun, penyair merasa dirinya dipenuhi kebimbangan antara kebenaran dan penipuan. Penyair berada pada dilema kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang direkasaya tampilannya dalam jazz dan nikotin.
Membaca sosiopsikologi dalam sebuah puisi adalah mendikte kepribadian pembacanya sendiri. Sebab penjiwaan akan selalu terekam oleh mata sosial. Sedangkan mata sosial tidak pernah buta melihat kejiwaan siapa pun.
Membaca puisi adalah penyiksaan apabila pembaca tidak mampu membaca muatan historis dan sosiopsikologi dalam sebuah puisi. Membaca puisi itu menyenangkan sebab satu diksi mampu mengambarkan kelengkapan peristiwa kesejarahan, satu larik mampu melukiskan sosiopsikologi secara lengkap. Puisi adalah karya yang tidak kosong akan makna dan mengandung maksud tak terhingga. Bacalah puisi jika yang kamu impikan adalah bicaramu penuh isi.
Sumber Bacaan
Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Dalman, H. 2014. Keterampilan Menulis. Jakarta: Rajawali Pers
Motopo, M Habib. 1988. Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia dan Budaya. Surabaya: Usaha Nasional
Nurhayati Enung. 2019.Cipta Kreatif Karya Sastra. Bandung: Yrama Widya
Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sehandi, Yohanes, dkk. 2021. Antologi Esai dan Kritik Sastra NTT. Jakarta: Kosa Kata Kita