Salah satu karya penyair Umbu Landu Paranggi (1945 – 20221) yang berbicara tentang sosok Ibu adalah puisi berjudul “Ibunda Tercinta” (1965). Selain puisi tersebut, sosok Ibu pun dihadirkan Umbu dalam sejumlah karya puisinya, baik hadir sebagai judul puisi maupun hadir dalam baris-baris puisi. Hadirnya Ibu dalam puisi-puisi tersebut tentu menegaskan bahwa sosok yang satu ini memegang peran sentral dan istimewa dalam proses kreatif maupun dalam keutuhan hidup sang penyair.
Ibu adalah Segalanya
Puisi “Ibunda Tercinta” menguatkan pesan bahwa Ibu adalah segalanya. Di dalam diri seorang Ibu terhimpun sukaduka sekaligus sukacita kehidupan yang tergambar secara jelas tanpa kepalsuan.
perempuan tua itu senantiasa bernama
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas jata-kata puisi
dari ujung rambut hingga telapak kaki
Secara lengkap, sosok Ibu menghadirkan cerita dan teladan tentang pengorbanan, tentang rasa syukur, tentang keikhlasan, dan tentang pengampunan. Semuanya ditaburkan Ibu sepanjang jalan hidupnya tidak saja dalam melahirkan manusia namun sekaligus mengambil bagian penting dalam sejarah manusia.
perempuan tua itu senantiasa bernama
korban, terima kasih, restu, dan ampunan
rahimnya subur dengan tulus telah melahirkan
berpuluh peran, nasib, dan sejarah manusia
Dan akhirnya Ibu adalah sosok yang paling lengkap dalam menarasikan sekaligus menghayati tiga kata kunci kehidupan yakni, cinta, kasih, dan sayang. Tiga kata itulah yang menurut Umbu menjadi fondasi kokoh tempat setiap anak berdiri dengan kepala tegak menggapai puncak-puncak kemanusiaannya dengan hati dan juga janjinya.
perempuan tua itu senantiasa bernama
cinta kasih sayang, tiga kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hari dan janji
Itulah Ibu. Itulah perempuan tua, lambang keutuhan hidup. Duka derita, senyum abadi, korban, terima kasih, dan ampunan, cinta, kasih, dan sayang, semuanya hadir secara utuh di dalam dirinya. Sebuah keutuhan yang akan selalu dirindukan seorang anak manusia kapan dan di mana pun.
Ibu adalah Kerinduan
Dua tahun sebelum “Ibunda Tercinta” (1965) lahir, Umbu menulis sebuah puisi yang dipersembahkan secara khusus untuk sang Ibu. Puisi ini ditulisnya dalam perjalanan bersama Kapal Sangguana menuju Surabaya, Agustus 1963. Puisi tersebut berjudul “Selat Sumba” (kagem sungkem Inna Rambu Nai Jati tercinta), dimuat di Pelopor Yogya, 26 Juli 1964 hlm. 3, kolom 7 dan 8.
debur ombak untuk kesekian kalinya membuatku lagi terharu
gaib rahasianya menyentuh resah hatiku rindu
pulang dari libur di atas dek kapal yang kutumpangi
angin laut mengusap-usap tubuh gemetar jari-jari
terasa begitu kecil insan di tengah keluasan alam
makin kecil makin terpencil lagi dalam kesendirian
sebab Tuhan meniupkan juga napas ketakutan di samping keberanian
mama, diam-diam kini kurenungi hikmah kata-katamu yang terpendar
kupandangi ombak berkejaran, dari sana jauh datangnya
bergulung maju percik buihnya segar membasahi wajahku
kesan di sebalik ini mengganggu mata dan hati kembara
begitu dahsyatnya geram perjuangan itu, duhai gemetarku
debur ombak untuk kesekian kalinya membuatku lagi terharu
mengisah tangis dan nyanyiannya satu langkah perjuangan
kapal pun meluncur laju kugenggam saja liuk debur kerinduan
mama, di kota pengaduan ada yang tak sabar menantiku
Sebagai anak rantau yang jauh-jauh dari Sumba Timur mengadu nasib ke tanah Jawa (Yogyakarta), Umbu merindukan sang Ibu di tengah perjalanan pulang dari sebuah liburan di kampung halamannya. Kerinduan ini lahir dari sebuah kesadaran sebagai insan kecil di tengah luasnya kehidupan dan terkadang terpencil dalam kesendirian. Dan di saat-saat seperti itulah, Ibu hadir sebagai sosok penguat, setidaknya lewat hikmah kata-katanya yang terpendar menembus ruang dan waktu.
Saya teringat akan sebuah ucapan yang disampaikan Bung Karno pada tahun 1933, “Ada saatnya dalam hidupmu, engkau ingin sendiri saja bersama angin, menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata”. Barangkali bagi Umbu, saat sendiri bersama angin adalah saat sendiri bersama segala kenangan bersama Ibu. Angin itulah yang meniupkan kata-kata hikmah sang Ibu, membawanya ke relung hati terdalam setiap anak, membingkai segala rahasia kehidupan. Dan dengan itu, setiap akan akan mampu menggenggam liuk debur kerinduan, menuju seberang lautan, tempat masa depan menanti.
Doa Ibu Mengalir pada Kemarau Sabana
Kedekatan Umbu Landu Paranggi dengan sosok Ibu, juga hadir dalam dua puisi Umbu lainnya yakni, “Satu Musim”, dan “Sabana”. Di dalam puisi “Satu Musim”, Umbu menggambarkan Ibu sebagai sosok yang selalu hadir dalam diri anak-anaknya, tidak saja lewat tetesan air susunya, namun juga lewat doa-doa sucinya yang terus mengalir siang dan malam. Ini sebagaimana tersurat dalam penggalan puisi “Satu Musim” berikut ini.
…
ibu! di siang di malam terasa haram itu doa
badanmu kurus kian derita menari-nari
…
ibu! sekuat usia kurenggut napas cita
aku mesti kembali dengan buah janji dahulu
Bagi Umbu, kehadiran seorang Ibu lewat tetes air susu dan lewat aliran doa-doa sucinya tersebut menjadi bekal yang sangat berarti bagi seorang anak dalam perjalanannya mengarungi sabana kehidupan yang kerap menghadirkan musim kemarau. Dan di tengah sabana itulah, seorang anak berdamai dengan kesunyian. Semuanya karena kehadiran sang Ibu dalam harum napasnya di tengah sabana tandus, membelai mesra seorang gembala yang sedang berpacu, seorang anak yang sedang mengejar mimpinya.
…
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
…
Itulah sosok Ibu dalam beberapa puisi penyair Umbu Landu Paranggi. Ibu adalah segalanya, Ibu adalah lambang kerinduan seorang anak. Doa Ibu mengalir pada kemarau sabana, pada segala tempat, pada segala waktu, pada segala musim.
Siapa yang mengakui keutuhan Ibunya? Siapa yang tak merindukan Ibunya? Siapa yang mampu mengarungi tandus sabana kehidupan tanpa cinta, kasih, dan sayang seorang Ibu? Penyair Umbu Landu Paranggi telah membentangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus jawabannya pada syair-syair yang ditinggalkannya kepada kita. (Robertus Fahik)
———–
Tulisan ini merupakan salah satu esai dalam buku Umbu Sang Metiyem: Kumpulan Esai. Penerbit Gerbang Media Yogyakarta, 2023.
Dipublikasikan kembali di media SekolahTimur.com hari ini (6 April 2023) untuk mengenang 2 tahun kematian Umbu Landu Paranggi (6 April 2021). Semoga spirit Umbu selalu mengalir dalam diri generasi muda Indonesia khususnya NTT. Bahagia di surga, penyair kami.