Hotel Harper Kupang awal kisah menulis kata, seperti mengusik segenggam hikayat kerinduan pada tunas baru. Tuntas sudah, kegelapan kata dari para peretas kemiskinan kata. Entah karena peduli, atau sekadar menguji kualitas literasi. Ayunan kaki Kaka Christine, Kaka Robert, dan Bapak Marsel melangkah menuju Ruang Rote, semua tertegun.
Kebisingan kota Kupang membuat semua begitu percaya diri, dengan kualitas diri. Gaya bercerita penuh urutan data konkret, tata bahasa yang runyam hingga saltik jadi pemandangan indah. Segudang pengalaman Robert Fahik dilantunkan dalam sebuah refleksi “Masih Ada Waktu” karya Ebiet G. Ade. Tampilan slide kumpulan karya hebat, seperti memanggil kembali pada rel-rel kereta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) hingga Pentas Seni (PENSI) bagi pemulung kata berkedok amati, tiru dan modifikasi (ATM).
Arsitek kata Christine Weking, ikut nimbrung mengurai pemborosan kata hingga mengatur tata letak tanda titik. Semua terdiam. Kritikan pedas di balutan guyonan khas Dr. Marsel Robot, terasa menyiksa batin. Tetapi belajar mesti melalui lembah kelam terowongan menuju cahaya, meski hanya menikmati pantulan tanpa menemui sumbernya. Sesekali ada comelan, seperti ingin menepuk dada. Tapi toh, lagi-lagi Dr. Marsel Robot membungkam penuh kekesalan-kekesalan dengan bahasa ringan mendayu. Seperti berada dalam keranda usungan yang sunyi, berarak menuju pintu pemakaman sepi.
Rona wajah sumringah dengan pengalaman perjalanan yang panjang, lelah hingga bahagia. Meski mendapat umpatan sebagai para pemburu prestasi miskin inovasi. Rindu memanen pujian di balik nama besar dan titel, harus dihujam diksi-diksi menjurus umpatan. Seperti keranda usungan tanpa nyanyian bahagia, atau rapalan alfatihah, jenazah jiwa tidak literat diusung pergi. Rumit memang, bak memutar kemudi dengan haluan yang tak tentu pada pusaran arus Sawu, Watowoko, Mulut Kumbang, dan Pukuafu.
Dari kejauhan tampak remang lampu Harper Hotel, sebagai pertanda ada kehidupan. Di balik kamar yang sepi tangan-tangan mulai merenyuh kertas, melempar pada dinding hingga tong sampah. Pertanda proses installer baru saja dimulai, hingga membaca Matematika dari Songket, Menggunting Bullying Menuju Generasi Emas 2045. Usungan keranda tidak boleh sunyi, karena setiap kata adalah cita dan doa. Biarlah kisah ini menjadi panggilan para Lamafa untuk mengarungi laut, dengan tempuling bermetamorfosa menjadi pena yang mampu mengukir pelangi di bumi NTT hingga Nusantara.
Ketiga Alkemis sejati telah menemukan batuan yang tak berharga, kemudian memoles menjadi emas yang belum terang sinarnya, kadarnya masih harus diukur. Kegagapan literasi telah ditepuk dengan nuansa santai penuh rasa kekeluargaan. Pulanglah para pelukis kata, cahayamu belum benar bersinar. Buktikan bahwa keranda tak mesti harus diusung dalam sunyi. Berikan sedikit teriakan baleo, baleo, baleo hingga lautan kata terselami, dengan aroma wangian dan sedikit rasa asin yang kau teguk. Itu pertanda, bahwa keranda usungan yang sunyi, telah berganti dengan tebahan dada dan rasa hormat mengagumimu. (*)