
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada balita yakni tinggi badan balita lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Kondisi tubuh balita yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Padahal seperti kita ketahui, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah.
Stunting (tubuh pendek) pada balita merupakan manifestasi dari kekurangan zat gizi kronis, baik saat pre- maupun postnatal. Stunting merupakan hambatan pertumbuhan yang diakibatkan oleh kurangnya asupan gizi, selain kekurangan asupan zat gizi, juga adanya masalah kesehatan.
Keadaan stunting dipresentasikan dengan nilai z-score panjang badan atau tinggi badan. Masalah stunting memiliki dampak yang besar bagi masa depan balita. Stunting dapat mengurangi kelangsungan hidup balita, prestasi sekolah, dan produktivitas ekonomi.
Anak stunting saat dewasa akan berisiko menghasilkan sumber daya manusia yang kurang berkualitas. Dalam populasi yang sehat, kurang lebih 2,5% anak yang memiliki z-score <2 SD. Apabila melebihi 2,5% maka mengindikasikan adanya masalah pertumbuhan (Zogara Asweros dan Pantaleon Maria, 2020).
Prevalensi stunting di Indonesia berada pada kelompok high prevalence, sama halnya dengan negara Kamboja dan Myanmar. Dari 556 juta balita di negara berkembang 178 juta anak (32%) bertubuh pendek dan 19 juta anak sangat kurus (<-3SD) dan 3,5 juta anak meninggal setiap tahun.
Hasil Riskesdas 2018, prevalensi balita stunting di Indonesia adalah sebesar 30,8% terdiri dari 19,3% pendek dan 11,5% sangat pendek. Provinsi dengan prevalensi stunting terbesar adalah Nusa Tenggara Timur yaitu 42,6%. (Lobo Welmince, Talahatu Anna, dan Riwu Rut, 2019).
Dengan prevalensi stunting Nusa Tenggara Timur yaitu 42,6% menunjukkan bahwa kasus stunting pada balita di NTT tidak dapat di lihat dengan sebelah mata atau menganggap sepeleh dengan kasus stunting pada balita yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Pemerintah dan juga orang tua wajib berperan penting untuk mecegah dan menyelamatkan para genarasi penerus bangsa yang ada Di NTT agar dapat terhindar dari kasus gizi buruk yang seakan-akan menjadi warisan bagi bayi dan balita di NTT.
Untuk mencegah bertambahnya angka stunting di NTT pemerintah telah melakukan peresmian beberapa posyandu, contohnya peresmian posyandu di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kupang, Kabupaten TTS, dan Kabupaten TTU. Hal ini bertujuan untuk membantu para ibu hamil untuk mendapatkan imunasi dasar lengkap yang baik dan tentunya dapat mencegah calon bayi dari ancaman stunting atau gizi buruk.
Program ini bisa dikatakan berhasil karena memberikan manfaat yang bgtu besar kepada 346 jiwa ibu hamil, dan juga 2.017 baduta-balita, yang dapat menikmati pelayanan posyandu. Hal ini tentunya membantu menjaga nutrisi bagi balita melalui imunisasi beserta kegiatan-kegiatan posyandu lainnya yang dapat meningkatkan kualitas fisik seorang balita seperti diberikan makanan yang bergizi oleh posyandu.
Jika hal ini terus dikembangkan oleh pemerintah bukan tidak mungkin angka gizi buruk di NTT dapat menurun. Bahkan daerah ini dapat terbebas dari kasus stunting atau gizi buruk yang terjadi setiap tahun.
Sekalipun demikian, mencegah dan menurunkan kasus stunting di NTT tidak hanya mengandalkan kinerja pemerintah. Hal lainnya, dibutuhkan kepekaan orang tua terhadap kebutuhan anak mereka. Baik itu kebutuhan untuk makan dan minum serta kualitas atau kebersihan lingkungan tempat anak itu bermain.
Lingkungan yang bersih tentu dapat meningkatkan kesehatan dari balita tersebut. Minimnya perhatian dan pemahaman orang tua mengenai bahaya stunting atau gizi buruk kepada anak mereka menjadi faktor penentu anak tersebut sehat atau sakit.
Kasus stunting pada balita tidak saja diarahkan kepada masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, melainkan tidak jarang banyak balita dengan latar belakang orang tua yang berkecukupan tetapi tidak didukung pemahaman mengenai makanan yang sehat dan kebiasaan yang baik untuk balita, maka dapat terjadi gizi buruk pada balita tersebut.
Oleh karena itu kasus stunting pada balita ini perlu menjadi perhatian utama bagi orang tua dalam menyediakan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh balita tersebut. Hal lainnya ialah kebersihan lingkungan.
Stunting pada balita seakan menjadi momok bagi masyarkat NTT. Sebagai orang tua dalam menjaga balita dari gizi buruk perlu dilakukan pemberian imunisasi dasar lengkap dan juga menjaga pola makan dan memperhatikan jumlah nutrisi yang ada dalam makanan tersebut.
Selamatkan generasi “Flobamorata” yang akan menjadi tulang punggung bangsa yang sehat dan terbebas dari stunting. Jangan biarkan stunting sebagai warisan bagi balita Nusa Tenggara Timur, tetapi wariskanlah pola hidup sehat dan kekayaan alam yang melimpah untuk mereka nikmati. (*)