Meditasi Bersama Alam (Catatan Reflektif PFmuda Yaspensi “Hananu sebagai Eco Art”)

0
135
Oleh Patrisius Leu, S.Fil., Guru Penulis SMK Negeri 7 Kupang, Fasilitator Yaspensi.

Pengantar

Alam semesta adalah oikos dan kosmos manusia. Berada di hadapan realitas ini, timbullah dalam diri manusia rasa kagum, heran, bertanya, sangsi, ragu dan merasa terbatas untuk menyelami fenomena di hadapan alam semesta yang mahaluas itu. Rasa ingin tahunya kemudian mendorong manusia, para cerdik pandai, ilmuan dan terpelajar, sepanjang sejarah berusaha menjawabi teka-teki penuh misteri di alam semesta.

Mulailah mereka dari zaman Klasik hingga Postmodern sama-sama bergelut dengan eksperimen dan studi mendalam berusaha menguak tabir alam semesta hingga tersimpul hipotetis dan karya-karya monumental yang penting bagi keberlanjutan kehidupan manusia.

Konstruksi penalaran alam semesta berdasarkan ruang lingkup penalaran ilmiah yang telah dibangun sangat vital bagi kehidupan. Dari hal ini kita bukan saja memiliki pikiran yang sehat untuk menguasai dan memiliki pengetahuan tentang sifat dan kelakuan alam sekitar kita sehingga kita dapat mengelola alam yang kita huni secara bijaksana. Akhirnya, kita dapat menikmati keagungan Tuhan Pencipta alam semesta.

Penyerahan buku karya penulis kepada Kepala SMPTK/SMAK Kasih Karunia.

Petualangan Inteleltual Para Filsuf Alam

1. Zaman Yunani Kuno

Pemikiran kefilsafatan yang dibangun di Masa Yunani Kuno pertama-tama karena kekaguman para filsuf tentang keberaturan alam. Mereka ingin menemukan “arche” (prinsip, asas, asal usul) alam semesta; atas usahanya mereka dikenal sebagai “filsuf-filsuf alam”. Sebagai tonggak sejarah, muncullah ahli pikir bernama Thales (624-546 SM). Menurutnya, “arche” alam semesta adalah air. Semua hal berasal dan akan kembali menjadi air. Air adalah sumber kehidupan, tanpanya tidak ada kehidupan. Alam semesta ini laksana sebuah pulau yang terapung di atas air.

Apa yang telah dimulai oleh Thales dilanjutkan oleh Aristoteles (348-322 SM). Ia menyebut zat tunggal yang disebut Hule. Zat tunggal ini tergantung dari kondisinya, dapat berbentuk tanah, air, udara, atau api. Adanya transmutasi ini disebabkan oleh keadaan dingin, lembab, panas, dan kering. Atas dasar metode deduksi berupa pengamatan terhadap alam semesta, Aristoteles mengemukakan pendapatnya tentang geosentris atau homosentris. Bumi adalah pusat jagad raya, bulat dan diam seimbang tanpa tiang penyangga.

Pendapat Aristoteles ini kemudian diafirmasi Ptolomeus (772 M) yang menambahkan pula pendapatnya bahwa bintang-bintang dan benda langit menempel tetap pada langit serta berputar mengelilingi bumi sekali dalam 24 jam. Pemikiran yang dibangun pada Zaman Klasik ini masih bersifat subjektif. Segala sesuatu bersifat mitos dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, namun sudah ada usaha pergerakan budi ke arah rasional. Demikian catatan kritis untuk Zaman Kuno.

Terhadap pemikir zaman pertengahan kita dapat memberikan catatan kritis, bahwa pada masa ini pandangan terhadap alam semesta bersifat matematik-kuantitatif. Akal budi berperan kuat. Segala sesuatu yang di luar akal, yang tidak diamati, yang tidak dimengerti, adalah tidak ada. Dan segala yang bisa diindrai itulah yang ada.

2. Zaman para Filsuf Abad Modern

Segala sesuatu (kekuatan akal budi sebagai yang unggul sekalipun) tidak berdaya di hadapan kosmos yang begitu rumit sebab bersifat relatif. Keteraturan tidak bisa dijelaskan dengan “main dadu” matematika. Alam yang teratur bukan hanya karena matematika tetapi ada satu kebenaran dan ke sanalah semua ilmu dan filsafat tertuju. Kebenaran itu adalah Allah Pencipta. 

3. Zaman Pemikir Postmodern

Theilard de Chardin bersintese bahwa kita menerima evolusi sebagai cara ilmu pengetahuan menjelaskan asal usul tetapi evolusi tidak boleh mencampuradukkan dengan metode, cara penemuan yang bersifat filosofis. Metode penciptaan hanya bisa dijelaskan dalam aspek transendental. Evolusi (ilmu) bekerja dengan caranya sendiri yang filosofis, sedangkan penciptaan (oleh Allah) bekerja dengan caranya yang transendental, tetapi kedua-duanya sama-sama menuju satu kebenaran. Dan kebenaran yang paling sempurna adalah Sang Pencipta sebagai causa finalis.   

Cinta Lingkungan Melalui Karya Seni

1. Mencintai Alam melalui Kerja sebagai Karya

Alam semesta ini oleh Paus Johanes Paulus II dalam Sanctorum Aetrix 11 Juli 1980, mengkiaskannya sebagai Kitab Raksasa yang penuh keindahan; manusia perlu mengagumi keindahan alam ciptaan ini, dan menjadi tangan kanan Tuhan dalam melanjutkan karya penciptaan. Dalam melanjutkan karya penciptaan, manusia perlu menyadari keberadaan alam semesta ini yang ada dalam kebersamaan, sehingga keharmonisan antara satu dengan yang lain harus dipelihara.

Maksud memelihara alam ini, para ilmuan dan para terpelajar telah dan senantiasa berjuang menggeluti alam semesta itu dengan pelbagai teori, percobaan, dan dialetika yang dibangun guna menyelami akar terdalam dari realitas, bukan saja supaya diketahui sebagai pengetahuan ilmiah tetapi juga untuk mengarahkan manusia pada kodrat Pencipta, Pengada alam dan dengannya manusia memanusiakan kehidupannya secara lebih at home di Oikos semesta huniannya.

Manusia dapat menyuarakan cintanya akan lingkungan dengan merawat alam sekitarnya yang adalah sahabatnya. Kitab Suci membahasakan merawat alam dalam ungkapan kerja.

Kerja dalam Kitab Kejadian 1:26-29 berkaitan dengan alam mempunyai beberapa arti. Pertama, kerja merencanakan dan menciptakan menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, menurut citra-Nya sendiri. Ini berarti keberadaan Allah adalah contoh keberadaan manusia di bumi. Hanya manusialah yang mendapat tugas mencerminkan keberadaan Allah di dunia. Artinya, manusia harus bersikap terhadap makhluk ciptaan lain seperti Allah berlaku terhadap ciptaan, yaitu memelihara, merawat, dan mengembangkan ciptaan.

Kedua, bekerja berarti menguasai alam. Kuasa manusia terhadap alam tidak mutlak atau absolut tetapi partisipatif atau fakultatif, di mana kuasa manusia itu dapat diambil oleh Allah kapan saja. Kuasa terhadap alam bukan sewenang-wenang tetapi agar ia manusia memakai kuasanya itu untuk melindungi, mengatur, mengolah, merawat, memelihara, dan mengembangkan ciptaan secara bertanggungjawab, dan menyelamatkan ciptaan. Manusia menjadi co-cerator rekan sekerja Allah, sebagai penerus karya Allah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Manusia itu disebut citra sekerja Allah sejauh ia mirip dengan Allah pencipta-Nya, karenanya dalam bekerja ia gunakan akal budi, hati nurani, dan kehendak bebasnya secara bertanggungjawab menuju maksud penciptaan.

Ketiga, bahwa kreativitas dan inovatif berbuat sesuatu untuk hasilkan sesuatu, di mana kita menciptakan atau mengadakan atau menghasilkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Atau mendaur-ulang barang bekas menjadi barang baru yang berguna dan bernilai lebih. Dengan demikian, membebaskan dirinya dari keterikatan dengan alam untuk menguasai alam. Manusia bekerja secara bertanggungjawab, bukan saja untuk produktivitas tetapi juga untuk mencerminkan kepribadiannya. Kualitas kerja adalah gambaran diri pekerja.

Keempat, kita manusia pekerja dapat memberi kepercayaan, wewenang, dan mandat kepada orang lain untuk bekerja sesuai dengan bakat dan talentanya, sesuai uraian tugasnya, sesuai profesi dan statusnya. Kerja itu memberkati orang, menghargai orang lain, memberi pujian dan pengakuan kepada mereka yang bekerja secara profesional, seperti seniman, pendidik dan pengajar, tukang listrik dan pegawai pertamanan dan kehutanan yang setia berjuang.

Kelima, manusia adalah tuan atas kerja atau pekerjaan, dan bukan sebagai budak dari pekerjaannya. Manusia yang menguasai, mengatur, dan menjadwalkan waktunya dalam bekerja, dan karena itu waktunya yang lain dapat dipakai selain untuk melakukan kebaikan-kebaikan kecil tetapi juga untuk bersyukur kepada Tuhan dalam doa dan atau ekaristi. Kerja mengarahkan orang pada Tuhan, dan bukannya menjauhkannya dari Tuhan. Pekerjaannya itu menguduskan dan menyempurnakan hidupnya, karena manusia ikut dalam karya penciptaan Allah, termasuk memberikan kontribusi sosio religiusnya demi kemajuan bersama. Kerja yang bijaksana membuat manusia bahagia di bumi dan di akhirat.

Keenam, kerja tampak dalam Sabda (kata, dan ajaran) dan tindakan (karya). Kesamaan dan persamaan setiap pribadi manusia yang berjiwa dan secitra Allah tampak dalam kerjanya di dunia untuk pengudusan diri, kebahagiaan bersama, keselamatan dirinya, dan pemuliaan Tuhan.

2. Ber-“hananu” Eco Art sebagai Seni Mencintai Alam

Sebagai makhluk alam dan anak zaman yang hidup dalam keharmonisan jagad raya, pantaslah kita memanjatkan puji syukur kepada sang Pencipta Semesta Alam yang telah memberi kita kehidupan, bumi yang kita huni, dan alam semesta yang begitu kaya raya untuk dikelola menurut maksud dan rencana penciptaan-Nya. Allah adalah pencipta semesta dan kita ikut ambil bagian dalam karya penciptaan itu dengan menata kelola alam secara bertanggungjawab. Mengapa harus bersyukur? Sejak penciptaan, kehadiran manusia di bumi adalah suatu keterberian, suatu anugerah Allah baginya. Bahkan Allah telah mengangkatnya menjadi mahkota ciptaan dan memberinya kemampuan akal budi, hati nurani dan kehendak bebas. Tiga kecakapan ini dipakai secara bijaksana untuk belajar ‘menguasai’ bumi yang Tuhan percayakan kepadanya untuk diolah, dijaga, dirawat, dan dilestarikan.

Bumi yang kita huni ini yang tidak sepenuhnya bulat, tetapi agak pipih di kedua kutubnya dan berdiameternya 12.646 KM Gerak bumi berupa rotasi dan revolusi dapat mengakibatkan terjadinya gejala-gejala yang terjadi di bumi. Akibat dari perubahan posisi bumi terhadap matahari (revolusi) maka terbentuklah pergantian musim di bumi. Pada lapisan bumi yang berupa gas dinamakan atmosfer, terdiri dari troposfer terdapat segala kegiatan cuaca seperti awan, hujan, badai, petir, maupun lalu lintas udara. Karenanya kita yang berada di bumi wajib menghadirkan ruang terbuka hijau di sebuah daerah. Ruang terbuka hijau ini akan lebih lengkap bila diberi inovasi menjadi taman dan rekreasi. Hiburan dan edukatif, dua fungsi ini sebagai kolaborasi sempurna untuk melengkapi sebuah taman rekreasi di kota-kota berbeton dan yang sibuk dan terutama di sekolah-sekolah dalam kota.

Pada dasarnya eco art, merupakan pergerakan aktivitas yang dilakukan oleh seniman dengan memproduksi karya seni baik secara fisik dan non fisik bertujuan mengkritisi maupun mendukung kondisi sekaligus relasi antara manusia, alam, dan lingkungan sekitarnya. Sekolah dan perkantoran dapat dijadikan sasaran dari eco art. Misalnya menanam kelor, remapah-rempah, apotek hidup, pohon buah dan selain yang umumnya pohon bunga dan bunga hias.

Memang kita manusia menyadari akan determinisme diri di alam semesta. Walau begitu, kita dapat melampui determinisme itu dengan melakukan aksi-aksi/kampanye untuk menyuarakan cinta akan lingkungan selain melalu kerja dan berdoa, dapat juga dengan bernyanyi dan karakter.

Ber-“hananu” artinya berbahasa alam, berbahasa seperti alam yang murni dan asri, alami, segar dan benar. Seni untuk lingkungan dengan pendekatan bernyanyi menggunakan Bahasa alam, suara alam dan tradisi alam. Berhananu sambil menanam pohon, merawat, menikmati udara segar, berteman dengan binatang dan hidup berdampingan dengan alam dalam suara yang asri. Kecerdasan lingkungan untuk mengerti flora dan fauna dengan baik. Seorang kudus dari Italia bernama Santa Sesilia Perawan dan Martir, pelindung para paduan suara mengungkapkan: Hidup itu sebuah nyanyian, semakin hatimu baik, semakin merdulah hidupmu di hadapan Allah dan manusia. Mengafirmasi hal ini, manusia alam dalam diri Santo Fransiskus dari Asisi bernyanyi bersama alam demikian:

Tuhanku Mahamulia Mahakuasa lagi penyanyang,

segala pujian dan syukur hormat kepada-Mu,

segala berkat kepada-Mu saja diucap nama-Mu insan tiada pantas.

Pujian pada-Mu Tuhan karena sang surya,

saudara termulia bercahaya sinar siangnya terpancar sangat indah

dipancarkan dari Kau o Tuhan Bahasa dan lambang.

Pujian pada-Mu Tuhan karna langit langgah,

udara segar serta segala cuaca malang mujurnya kalian makhluk mengadu untungnya

karna saudara pwana terpujilah Dikau.

Pujian pada-Mu Tuhan karena bulan dan bintang,

yang Kaupasangkan utuh candra indah serta kartika menghias cakrawala

mewartakan kebesaran Allah nan Mahakuasa.

Pujian pada-Mu Tuhan karena laut limpah,

saudara budiman Samudra lawah beralap santun di ombak ria

membumbungkan lagu kepada Tuhan terpuji yang Mahakuasa.

Pujian kepada-Mu karena nyala api,

pawang musafir malam nan perkasa giat Sentosa siap di malam kelam

terpujilah agnyi suci tangkas dan perkasa.

Pujian kepada-Mu Tuhan karna anda maut,

dari-Nya tidak ada insan makhluk seluruh dunia alam nan fana

siap menghadapi maut nan berbahagia pawing alam baka.

Pujian pada-Mu Tuhan karna umat kudus,

yang menanggung derita dan bencana pada-Mu jaya penyabar menderita

kepada-Mu dikaruniakan mahkota abadi.

Pujian pada-Mu, o Tuhan Pengasih,

syukur pada-Mu, ya Allah Mahapenyayang. Amin.

3. Berdoa Bertitiktolak pada Alam

Setiap orang yang mengamati dan mengerti dunia sekitarnya dengan mata dan hati yang terbuka, akan menjadi sadar bagaimana seluruh alam itu merupakan suatu hadiah besar dari Allah yang menunjang hidup doa dan keberadaannya di dunia. Semakin kita menyadari Allah dalam alam dan memahami kesatuan kita dengan-Nya, maka kita semakin bahagia. Kebahagiaan itu menuntut kita mencintai Allah. Bentuk cinta manusia kepada Allah bisa diungkapkan melalui pujian yang disebut doa dengan inspirasi alam di sekitarnya, bisa melalui tulisan bahkan nyanyian.

Di dalam doa, terdapat pengalaman alamiah dan naluriah, pengalaman yang menyangkut dunia jasmani. Selain itu, ada juga imajinasi bebas, perasaan dan keinginan spontan. Semuanya merupakan humus vital, tanah subur untuk bertumbuhnya doa kita. Di dalam ‘humus’ itulah doa kita berakar, dan dari situlah oleh iman kepercayaan doa diarahkan kepada Allah. Allah tidak dapat dipikirkan, disapa, direfleksikan atau tidak dapat dikomunikasikan tanpa alam. Alam menampakkan keberadaan Allah. Allah melebur di dalam alam yang kita kenal, pohon-pohon, bunga-bungaan yang dihinggapi kupu-kupu, batu, bintang, laut, udara, cahaya, gedung, sabda, dan sebagainya. Melalui alam, Allah menyapa manusia dan manusia mendengar-Nya. Demikian sebaliknya, bila manusia berdoa melalui alam, ia menyapa Allah dan Allah mendengarnya.

Salah satu unsur pokok agar komunikasi dalam doa berbuah adalah kerelaan “mendengar” sambil berdiam diri di hadapan Allah dalam alam. Para bapa padang gurun, para pertapa, para santo dan santa adalah bukti bagaimana mereka mengalami kehadiran Allah melalui alam. Mereka tidak hidup dari roti saja, tetapi dengan kecerahan langit di waktu fajar, salju, gunung, hujan, terik matahari, riak air sungai, nyanyian burung-burung, desiran pucuk cemara dan tiupan angin. “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”, (Mzm 19:2).

Dengan memusatkan perhatian kita pada alam, kita mendengar Sang Pencipta yang berbicara kepada kita melalui alam ciptaan-Nya. Keagungan Tuhan dalam fenomena alam itu digambarkan misalnya angin besar dan kuat yang membelah gunung dan memecahkan bukit batu, tidak pula dalam gempa dan api. Dalam angin halus yang menyegarkan dan menghidupkan dalam bunyi angin sepoi-sepoi basa, Allah berbicara kepada Elia. Maka datanglah suara Tuhan kepadanya: “Apa kerjamu di sini, hai Elia?” Jawabnya, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah Semesta Alam (1 Raj 19:11-13).

Kesadaran akan kehadiran Allah itu ditingkatkan dan disempurnakan oleh sabda Wahyu. Di dalam doa, sabda itu mengartikan gejala alam yang tak kelihatan. Alam ciptaan bukanlah pantulan kegiatan dan reaksi manusia, melainkan jejak, citra, dan pantulan atau cerminan Allah. Karena itu, eksistensi ciptaan seluruhnya adalah jejak dan pantulan cinta yang Transendental itu yakni Allah Mahacinta.

4. Bermenung Menghadiri Gejala Alam Dunia

Dimensi alam memberi makna pada kata-kata yang kita ucapkan dalam doa. Kita berdoa, dengan memandang sebuah gejala alam, misalnya air, rumput, batu, bunga, cakrawala; ataupun gejala-gejala dunia lainnya seperti tangan, lukisan, lilin, kunci, dan lain-lain. Dalam doa, kita menghadiri gejala-gejala alamiah dan duniawi ini secara bermenung. Artinya, kita membiarkan gejala itu mengungkapkan kodratnya yang mendalam yang menunjuk pada yang Transenden. Transendensi Allah hanya bisa dialami secara tak langsung sebagai horizon secara implisit hadir di dalam setiap objeknya yang kita alami dalam alam. Dengan begitu, kita menghidupkan kembali jejak atau bekas yang ditinggalkan Allah Pencipta di dalam rupa-rupa ciptaan sebagai ‘tanda’ yang harus diartikan.

Penafsiran tanda-tanda tersebut terjadi dengan bantuan iman, khususnya kata-kata religius. Kata-kata religius yang diucapkan berulang-ulang mengarahkan gejala alam tadi kepada Tuhan, bukan sebagai perkataan religius yang kosong tetapi terisi dengan hal-hal yang dapat dialami. Perkataan religius yang dimaksud misalnya, Abba – Yesus dalam agama kristiani, Allahu Akbar bagi orang Islam, Budha Ami Taba, dan Om Swasti Astu bagi pemeluk agama Hindu. Beberapa kata religius ini dapat menolong kita untuk bermenung sejenak menghadiri gejala alam yang akhirnya mengantar permenungan kita kepada Allah melalui alam ciptaan-Nya.

Penutup

Manusia adalah makhluk sejarah yang meruang dan mewaktu di jagad raya ini. Sebagai makhluk alam, manusia sadar akan deterministis dirinya oleh alam raya yang mahaluas. Dalam keterbatasannya di hadapan alam semesta ini, ia menggunakan kesadaran budinya dengan bertanya dan mempersoalkan hakekat terdalam oikos alam semesta guna menemukan jawaban final. Usahanya itu telah dibangun melalui pelbagai cara mulai dari pengamatan indrawi, refleksi atas pengalamannya, teori-teori mengenai fenomena alam, eksperimen ilmiah hingga dialetika metode dan hipotesa dan berkesimpulan bahwa kosmos ini ada dalam harmoni keberaturan dan keterkaitan.

Alam ciptaan Allah sungguh baik adanya. Alam merupakan cerminan kasih Allah kepada manusia. Manusia tidak dapat berbuat lain selain mencintai semua ciptaan dan menghormatinya. Di sanalah ia dapat merasakan denyutan cinta Allah. Hubungan yang harmonis ini merupakan alasan konkret bagi manusia untuk memuji Allahnya. Pujian manusia kepada Allahnya sering diperlihatkan dalam tindakan doa. Di dalam doa, sikap yang tepat yang harus dibuat adalah memusatkan perhatian pada gejala alam, kemudian dengan pertolongan beberapa kata religius, mendengar – mengumpulkan – serta mengartikan gejala alam itu sebagai tanda yang berbicara tentang Allah.

Alam ciptaan di dunia ini merupakan lingkungan dimana hubungan kita dengan Allah dapat bertumbuh dan berkembang. Alam itu lingkungan hidup bagi doa kita. Marilah kita bermenung, berdoa, bekerja, berhananu sambal merawat alam sekitar kita dalam seni sebagai jalan merawat kehidupan di sekitar kita dalam lagu dan gerak tari dan literasi yang menggerakkan. Salam.

Sumber Bacaan:

Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius.

Darmodjo, dkk. 2022. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Universitas Terbuka.

Kia Duan, Frans. 2006. Ilmu Kealaman Dasar. Kupang: Universitas Nusa Cendana.

Komisi Kateketik KWI. 2004. Pusat Pendidikan Agama Katolik SMA Jilid III. Yogyakarta: Kanisius.

Siswanto, Joko. 2005. Orientasi Kosmologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tapin, Johanes. 2006. Kosmologi Kristiani (Manuskrip). Kupang: Universitas Katolik Widya Mandira, Fakultas Filsafat Agama Katolik.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini